Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Pilihan Arbi.
Aku semakin tegang saat langkah Arbian memangkas jarak antara kami.
"Kamu Rania," selidiknya menatapku dari ujung rambut hingga ke kaki. Keningnya mengernyit mungkin merasa aneh dan tak percaya melihat penampilanku saat ini. Aku mendengus dan itu sudah cukup baginya sebagai jawaban.
"Rania, maafkan aku." tiba-tiba saja Arbian hendak memelukku seraya minta maaf. Aku mundur satu langkah. Kulihat kedua bola mata Gladys melotot tak percaya.Ah, ingin sekali kubalas pelukan itu hanya untuk memanas-manasi Gladys.
"Arbi, apa-apaan kamu mau meluk Rania!" bentaknya. Dibalas teriakan orang yang berkerumun.
"Rania adalah istriku!" sahut Arbi tegas.
"Trus aku ini apa!"
"Kamu 'kan pelakor! Huuuuu ...." seperti dikomando kerumunan itu kembali bersorak. Gladys menghentakkan kakinya antara kesal campur malu.
"Arbi! Kamu harus milih salah satu dari kami. Aku atau Rania!" ancam Gladys. Dia menatap angkuh ke arahku, senyum tipis penuh kemenangan tersimpul disudut bibirnya. Dengan penuh percaya diri Gladys menghampiri kami.
"Pilih aku atau dia, Arbi." ulangnya lagi penuh penekanan. Arbi menatap kami silih berganti lantas berucap.
"Maaf Gladys, aku pilih Rania." Arbi akhirnya menjatuhkan pilihan. Suara riuh bergema seiring pernyataan Arbi. Sama halnya seperti Gladys aku juga kaget mendengar ucapan Arbi.
"Mampus lo, dasar pelakor tidak tau diri."
"Rasain, sombongnya kebangetan, tuh." Terdengar beberapa komentar dari kerumunan.
Aku mundur beberapa langkah, lalu menerobos kerumunan untuk pergi meninggalkan tempat itu.
"Kamu salah omong 'kan, Bi. Kamu pasti bohong. Kamu bilang akulah satu-satunya dihatimu." lamat-lamat masih kudengar suara Gladys. Arbi pasti tengah kerepotan menenangkan Gladys. Buktinya dia tidak menyadari kepergianku. Kalau dia mengabaikan Gladys pastinya Arbi tengah mengejarku saat ini.
Sudahlah, aku sama sekali tidak berharap kalau Arbi memilihku. Tadi itu hanya sandiwaranya. Sama seperti yang kami lakukan selama ini.
Sesampainya di rumah Bastian, aku menarik nafas lega. Bergegas aku masuk kedalam kamar Bastian untuk menyimpan barang belanjaanku. Syukurlah Bastian tidak di rumah. Pastinya dia akan kaget melihatku memakai kemeja dan jins nya tanpa izin.
Tidak berapa lama aku dengar suara mobil memasuki pekarangan rumah, Bastian. Aku menunggu beberapa saat untuk memastikan siapa yang datang. Sepertinya suara mobil itu tidak asing bagiku.
Tidak ada suara pintu dibuka. Hanya ketukan perlahan beberapa kali. Aku tetap diam tidak berani keluar kamar. Untunglah Bi Sumi juga sudah pulang ke rumah.
Tiba-tiba terdengar suara memanggil nama Bastian. Aku tidak berani menyahut. Eits! Tunggu suara itu juga seolah tidak asing bagiku. Itu suara Arbian. Bagaimana dia secepat itu datang kemari. Padahal barusan kami bertemu di pusat perbelanjaan? Apakah dia mengikutiku tadi? Ataukah hanya kebetulan kemari untuk bertemu Bastian? Sejuta tanya berkecamuk dibenakku. Aku menjadi tegang. Jika seandainya Arbian mengetahui keberadaanku disini.
Mungkin karena tidak ada sahutan, Arbian pergi. Perlahan aku keluar dari kamar dan mengintip dari balik gordin. Masih sempat aku melihat sosok Arbi masuk ke dalam mobil dan perlahan menghilang di tikungan.
Aku menarik nafas lega melihat kepergian Arbian. Hampir saja aku ketahuan berada di rumah ini. Aku heran bagaimana secepat itu Arbian mendatangi rumah ini. Bukankah dia kutinggalkan bersama Gladys tadi. Apakah begitu aku pergi, Arbi juga segera menyusul? Trus bagaimana dengan Gladys. Dia tinggal begitu sajakah? Jika begitu, sebenarnya apa sih maunya Arbi.
Dia menikahiku tapi tidak bisa melupakan Gladys. Disaat mertua menginginkan cucu dia malah mecoba men*da*ku. Yang membuatku pergi dari rumah. Dan tadi dihadapan orang banyak dia malah memilihku ketimbang Gladys, yang selama ini membersamainya. Aku benar-benar bingung dengan sifatnya yang plin plan.
***
Pagi ini aku masuk kerja setelah beberapa hari cuti tepatnya menghilang. Aku tidak berani memberitahu keberadaanku saat ini pada siapapun. Termasuk pada Uly rekan kerjaku. Pada atasanku aku minta izin beberapa hari karena ada urusan mendadak.
"Rania!" aku dikejutkan suara Uly yang tiba-tiba muncul dari belakangku.
"Duh, Uly, ngagetin aja kamu ini." seruku serta memegangi dada karena kaget.
"Darimana saja kamu, Ra. Beberapa ini Arbi selalu kemari mencarimu. Kalian berantam ya? Sampai minggat dari rumah." cecar Uly.
"Stop! Satu-satu Neng pertayaannya." seruku menyela cecaran tanya Uly.
"Abis kamu sih, ditelepon gak aktif. Ngirim pesanpun gak masuk-masuk. Siapa yang gak cemas. Trus hari ini muncul tiba-tiba." protes Uly.
"Sorry, maafin aku ya, karena sudah buat kamu khawatir."
"Kamu ada masalah apa lagi sama, Arbi. Saat mencarimu dia begitu tertekan. Kok bisa-bisanya kamu minggat dari rumah, Ra?" Uly menatapku penuh seksama.
Aku menunduk, entah dari mana mau memulai cerita. Situasinya juga kurang pas karena ini di kantor. Beberapa rekan sudah mulai berdatangan.
"Nanti saja kita cerita saat senggang," ucapku. Uly mengangguk setuju.
"Iya, aku ingin dengar semuanya." Uly kembali ke mejanya. Aku membuka beberapa berkas di atas meja kerjaku. Beberapa hari tidak masuk, berkas sudah menumpuk di mejaku.
Aku memeriksa beberapa berkas yang menunggu koreksi dariku, sebelum diserahkan pada pimpinan. Untunglah berkas-berkas itu sudah dikerjakan dengan baik. Hanya beberapa yang perlu diperbaiki dan aku tambah sedikit dan direvisi ulang. Sehingga menjelang istirahat tugasku sudah selesai.
"Wao! Sudah siap saja semua kamu kerjakan, Ra. Pastasanlah kamu kesayangan, Bos." Uly berdecak kagum melihat cara kerjaku. Aku hanya memoyongkan bibir mendengar pujiannya itu.
"Ih, dipuji malah ngeledek."
"Kita mau kemana sih?" tanyaku pada Uly karena tempat yang kami tuju sepertinya asing bagiku.
"Tenang sajalah, Ra. Ada kafe yang baru buka. tempatnya sangat nyaman buat kita cerita sampe malam."
"Memangnya kita mau sampe malam disana? 'Kan harus balik lagi ke kantor."
"Iya sih, tapi aku sudah minta izin sama Bos tadi. Kalau kita mau bolos."
"Astaga, mau bolos tapi minta izin. Emang boleh?"
"Bolehlah kalau itu tentang anak emas, Bos."
"Ngaco kamu. Siapa juga yang jadi anak emas, aku?" delikku pada Uly. Ada-ada saja omongannya. Ngelantur.
"Buktinya si Bos ngasih izin lo, Ra. Saat aku bilang mau ngajak kamu makan siang di luar. Bahkan ngasih si merah lagi buat traktir kamu."
"Eh, ngomong apaan sih. Kamu jual aku sama si Bos, ya!" beliakku pura-pura marah.
"Emang bisa dibeli?" goda Uly. Aku mencelos.
Memang, pimpinan kami sangat perhatian pada bawahannya.Tapi tidak jugalah aku menjadi anak buah emasnya. Walau kuakui beliau sangat baik padaku. Menurutku itu masih wajar karena aku juga kalau bekerja tidak pernah asal-asalan.
Aku selalu berusaha bekerja sebaik mungkin. Karena tidak ingin dipecat karena tidak becus bekerja. Kalau akhirnya si Bos menjadikan aku anak buah emasnya, itu hanyalah bonus. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor