Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Nasehat Sari Yang Syarat Makna
“Dzolim sekali suamimu,” Sari berkata dengan geram setelah Ajeng mengakhiri ceritanya.
“Aku sudah berusaha memaklumi semuanya Sar,” ujar Ajeng lesu, “Aku ridho walau pun mas Bisma tidak seperti suami kebanyakan.”
“Lebih baik berpisah. Secara hukum agama memang telah jatuh talak dan kalian tidak bisa berkumpul lagi,” Sari menjelaskan secara gamblang.
“Aku malu dengan keluarga di kampung Sar,” lirih Ajeng yang kini sudah mulai tenang dari isaknya.
“Apa selamanya kamu mau hidup tersiksa dalam penikahan yang tidak sehat?” Sari menatapnya dengan gemas.
“Aku tidak ingin orang kampung menertawakan kegagalan rumah tanggaku,” Ajeng berterus terang akan alasannya mencoba bertahan.
“Ha ha ha ...” Sari tertawa miris, “Tampaknya kamu perlu dibangunkan dari mimpi buruk yang bernama pernikahan.”
“Bukankah Allah membenci perceraian?” Ajeng berusaha keukeuh dengan pendapat pribadinya.
“Dengar bu Ajeng yang terhormat!” Sari mulai gemas dengan pemikiran lelet Ajeng dengan kehidupan rumah tangganya yang tidak sehat.
“Sar .... “ Ajeng sadar dengan keseriusan Sari.
“Pernikahan merupakan sunah Rasulullah. Di dalamnya diharapkan tercapainya keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an surah ar-Rum ayat 21 :
‘Wa min Aayaatihiii an khalaqa lakum min anfusikum azwaajal litaskunuuu ilaihaa wa ja’ala bainakum mawad datanw wa rahmah; inna fii zaalika la Aayaatil liqawminy yatafakkaruun.’
Yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Ajeng terdiam mendengar ucapan Sari yang memang sangat benar. Tapi logikanya masih menolak untuk menerima semua yang dipaparkan Sari.
“Apakah rumah tangga yang Bisma telah bersumpah atas nama Allah di hadapan semua saksi telah memberikan sakinah yang artinya tenang atau tenteram, mawadah artinya cinta kasih, dan warahmah yang berarti rahmat berjalan dalam rumah tangga kalian ?” tantang Sari.
Ajeng tak bersuara mendengar Sari yang terus menyampaikan semua kebenaran yang masih berperang dalam otaknya untuk memilah.
“Jadi kalimat sakinah mawadah warahmah ini sesuai dengan apa yang ada di dalam ayat 21 Surat Ar-Rum tersebut. Allah telah menciptakan manusia untuk saling berpasangan. Antara istri dan suami untuk mendapatkan ketenangan, ketenteraman, dan saling mencurahkan kasih sayang.”
Ajeng semakin tergugu dengan penjelasan panjang lebar dan tausiyah yang disampaikan Sari padanya.
Melihat Ajeng yang mulai manggut-manggut mendengar perkataannya, Sari semakin bersemangat untuk membuka hati dan pemikiran Ajeng yang tertutup akan rasa gengsi jika harus berpisah dengan suami tajirnya.
“Kamu tau Jeng,” sapaan Sari kembali normal, karena ia yakin Ajeng mulai bisa mengontrol kesedihannya, “Pernikahan itu adalah ibadah seumur hidup yang kita jalani. Setiap pekerjaan yang kita lakukan akan mendatangkan kebaikan yang bernilai pahala di sisi Allah.”
“Mas Bisma salatnya tepat waktu dan tidak pernah lalai .... “ Ajeng mengingat tentang kebiasaan ayahnya Lala.
Itulah yang membuatnya kagum saat pertama kali bertemu Bisma yang tidak pernah melewatkan waktu begitu panggilan azan tiba. Tidak seperti rekan kerjanya yang mengerjakan tetapi terkadang di akhir waktu. Bahkan ada yang lalai dan tidak mempedulikan seruan azan.
“Heleh ... “ Sari menggumam, “Banyak yang salat, tapi lalai dalam tanggung jawab lain. Dalam agama kita begitu pernikahan terjadi, pasangan suami istri harus bekerja sama dalam menciptakan baiti jannati. Artinya menciptakan tempat tinggal yang layaknya surga.
Tak harus rumah yang megah atau mewah, tetapi yang paling penting bahwa rumah yang dihuni membawa kebahagiaan dan keberkahan. Dengan demikian, penghuni yang bertempat tinggal dalam rumah tersebut pun mendapatkan kebaikan dan tidak hanya di dunia bahkan di akhirat nantinya.”
Ajeng terpekur menyadari kebenaran semua perkataan Sari. Ia tidak bisa mengelak bahwa semua yang diucapkan Sari tidak tercipta dalam rumah tangganya bersama Bisma.
“Lebih bagus suami dzolim-mu itu melepasmu sekarang. Jika kamu bersikukuh mempertahankan rumah tanggamu dengan segala usaha yang telah kamu lakukan, tapi tidak membuat Bisma berubah, dia yang akan berdosa. Kamu selamanya akan menyiksa diri dalam pernikahan yang tidak sehat.”
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” kini Ajeng mulai pasrah setelah logikanya mulai berjalan.
“Bukankah suami tajirmu telah menjatuhkan talak? Apalagi yang kamu tunggu? Buktikan bahwa kamu mampu berdiri di atas kakimu sendiri,” Sari berkata dengan berapi-api.
“Yah, aku telah menjadi janda sekarang .... “ Ajeng berkata dengan getir.
“Jendes tajir melintir. Jangan lupa itu,” Sari berkata dengan senyumnya yang mengembang.
“Jangan meledek,” Ajeng mencibirkan bibirnya mendengar candaan Sari.
“Emang lo pantas disebut janda merana?” pancing Sari yang akhirnya membuat wajah sendu Ajeng langsung berubah.
Ia tak terima dibilang janda merana. Teman sekantornya saja satu pun tidak ada yang tau kondisi rumah tangganya yang sudah tercerai berai. Walau ia sadar kinerjanya sangat menurun akhir-akhir ini.
Ia tidak memiliki semangat dalam bekerja. Pikirannya terporsir akan nasib yang bakal ia jalani bersama buah hatinya di masa depan. Dengan bekerja ia berharap beban pikirannya akan berkurang. Walau kenyataannya setiap kembali ke rumah, hatinya kembali hampa.
“Gimana bisnismu di Malang?” pancing Sari, “Ku dengar udah mulai bangun kost-kost an serta laundry?”
“Alhamdulillah udah mulai lancar,” Ajeng berkata lesu, “Aku masih kekurangan sedikit modal.... “
“Apa kamu gak memiliki tabungan lain?” kejar Sari.
“Ada sih. Tapi itu tabungan Lala yang dikirim bulanan ayahnya,” Ajeng mengingat jumlah nominal yang lumayan besar.
“Kuras aja. Kan memang itu mampunya mantan suamimu memberikan nominal tanpa seri,” Sari berkata penuh semangat.
“Lha ustadzah Sari matre juga .... “ Ajeng menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya yang telah berhasil membangunkan dari mimpi terburuknya.
“Ini untuk kebaikanmu dan Lala di masa depan. Aku yakin, kamu bisa produktif jika fokus pada satu hal. Tinggalkan hal yang membuat langkah buntu. Dan fokus dengan yang lain, yang membuat kita bisa dihargai,” sambung Sari serius.
“Omonganmu masuk akal sekarang,” Ajeng kini manggut-manggut.
“Bukankah dari dulu aku selalu benar, dan kamu yang paling pintar?” Sari tersenyum puas melihat Ajeng mulai ceria kembali.
“Sudah selesai curhatnya?” ustadz Zakri yang membawa troli berisi full belanjaan kini tiba di hadapan mereka.
“Maaf ustadz, saya mengganggu waktu istrinya,” Ajeng merasa sungkan melihat lelaki kharismatik yang kini memandang sahabatnya lekat.
“Hati-hati naksir ustadzku,” canda Sari, “Aku sih ga masalah nambah adik madu seperti bu Ajeng ini...”
“Hus!” ustadz Zakri menggelengkan kepala mendengar ucapan istrinya.
“Astaghfirullahaladjim .... “ mata Ajeng membulat seketika.
“Aduh!” Sari menjerit kecil ketika jemarinya dicubit Ajeng dengan bibir mengerucut memperoloknya, “Mentang-mentang jendes melendes. Upsss!”
“Umi... “ ustadz Zakri terkejut mendengar ucapan istrinya, “Gak baik ngomong seperti itu umii .... “
“Betul ustadz,” Ajeng menganggukkan kepala membenarkan ucapan sahabatnya, “Terima kasih atas waktu yang ustadz berikan untuk kami berdua. Terima kasih Sar. Kamu audara perempuan terbaik yang ku miliki saat ini.”
Sari membalas pelukan Ajeng sambil mengusap punggungnya untuk menamba kekuatan pada teman seperjuangannya saat SMP hingga SMA. Ia merasa puas melihat Ajeng yang kini mulai tampa bersemangat.
Wajah sendunya segar kembali. Seperti Ajeng yang ia kenal. Perempuan penuh vitalitas dan menampilkan kesempurnaan saat dipandang.
“Semoga kamu mendapat pengganti yang lebih baik,” ujar Sari menatapnya lekat, “Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar kesanggupan seorang hamba. Dan bersyukurlah kita, karena Allah menguji dan akan meninggikan derajat hamba-Nya yang mampu menjalani dan tetap istiqomah dalam mencari keridhaan Allah.”
“Terima kasih Sar,” mata Ajeng kembali berkaca-kaca mendengar ucapan Sari sebelum keduanya berpisah.
“Tetap semangat!” Sari mengacungkan tangannya ke arah Ajeng dengan senyum terkembang.
“Assalamu’alaikum,” ustadz Zakri pamit sambil menggandeng istrinya berlalu dari hadapan Ajeng.
Sepeninggal Sari dan suaminya, Ajeng bangkit dari kursi. Ia merasakan sesak yang membuatnya susah untuk bernafas menghilang perlahan. Beban di pundak yang membuatnya sulit untuk melangkahpun mulai terasa ringan.
Ia bersyukur memiliki Sari yang hadir dalam waktu dan kondisi terburuknya. Ucapan dan nasehat Sari telah membuka mata hati dan pikirannya. Ia tidak boleh jatuh dan terbelenggu atas pesona Bisma yang membuatnya buta.
Dengan langkah enteng Ajeng berjalan kembali menuju parkiran untuk kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, gema azan Magrib mengalun membuatnya mempercepat mobil untuk segera mengadukan segala permasalahan dan jalan yang akan ia ambil pada sang empunya kehidupan.
***Maaf ya\, kecapean persiapan hingga hari raya\, otor flu berat. Tapi otor tetap usahakan up tiap hari. Selamat membaca ya ...***