Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meet Up
Pagi ini aku bersiap menemui Wulan seperti janjiku kemarin. Semoga bakal klien puas dengan desain yang akan ku serahkan. Usaha butik ini kami rintis dari nol, jatuh bangun, tertatih, merangkak, hingga akhirnya berdiri seperti saat ini pernah kami lalui. Lima tahun bukan waktu yang sebentar bagi kami. Aku mendirikan butik ini dengan modal nekat, aku mendesain, Wulan menjahit. Awalnya cukup sederhana, selain mendisain sendiri, kami juga menerima pesanan sesuai keinginan klien. Tak mengambil banyak untung, tujuan kami adalah memperkenalkan brand kami, Sunny Land, kepada customer, jika sudah dikenal, akan lebih mudah pikir kami.
Prosesnya memang bikin pusing, namun kini, kami bahkan mampu mempekerjakan orang lain, Alhamdulillah. Aku tiba di toko, setelah membalas beberapa pesan random seorang Firdaus Dwi yang ternyata sangat kekanakan, namun terkadang dewasa sesuai umurnya. Setelah drama tangisan semalam, aku memutuskan untuk mulai membuka lembaran baru, bersamanya. Entah, apa keputusan ini benar, namun aku akan mencobanya, seperti kata Vita, 'Jangan mendaftar untuk menyesal'. Tentu bukan Wulan jika tak membuat kehebohan, ia histeris ketika melihatku berada di depannya, menyerahkan sketsa desain untuk ditunjukkan pada klien nanti siang.
"Katanya di Busan, hih."
"Hahaha, siapa bilang? Kamu yang bikin kesimpulan sendiri ya!"
"Jangan-jangan kamu pulang karna takut mamasmu di gondol degem?!"
"Heleh, ambil aja sih kalo bisa!"
"Ga bakal bisa, si Firdaus bucin akut," sahut seseorang dibelakang kami, aku menoleh, tampak suami Wulan dan wajah menyebalkannya itu berdiri dengan songong.
"Kebiasaan, kalo masuk salam dulu kek, Yang!" Wulan tampak jengkel.
"Ehehe, maaf Sayang. Semedi dimana lu heh? Sekarang baru nongol." ia menyentil keningku.
Setengah kesal aku balas mencubit lengannya, "Sakit, kambing! Aku lagi dipingit, pan bentar lagi nikah sama Byan," sindirku, ia malah cengengesan sembari menggaruk tengkuknya, kebiasaan kala ia malu. "Gausah sok malu lu! Udah biasa sih malu-maluin. Dasar tukang pancing! Untung istri kamu temenku, kalo nggak udah ilang sebelah itu waras!" omelku.
"Ye maaf, aku kira ga bakal runyam. Padahal kan udah biasa becandaan kaya gitu, mungkin hari itu si Emr lagi dapet, anggap aja gitu."
"Malesin banget kalian tuh, udah pada tua masih ngamukan."
"Lah kamu, udah tua pundungan, pake minggat segala."
Plak!!!
Belum sempat ku balas ucapannya, tangan Wulan sudah mendarat sempurna di punggung Ojik, aku meringis, suaranya keras, apa kabar punggung?! Fauzi hanya bisa mengaduh.
"Bukannya minta maaf, malah nyalahin. Ara bukan minggat, tapi dia udah lama punya rencana buat pergi, kalian juga keterlaluan, padahal sudah tau Byan sama Rahma jalan udah lama, masih aja nuduh yang nggak-nggak! Kalo aku jadi Ara, udah tak patahin itu tangan!" Wulan memukul meja, ia memang bar bar, apalagi ia adalah mantan atlit taekwondo ban satu. Aku hanya tertawa, Ojik terkejut, pun dengan dua orang yang baru masuk di ruangan ini.
"Buseeehhh, ternyata galaknya makin menjadi si Wulan tuh," celetuk Ian yang dibalas delikan maut dari Wulan. "Yeuhh, kenapa bini kalian pada bar-bar semua sih, belum lagi ntar kalo Maya gabung, beuh" keluhnya.
"Kalo kamu bener, ga bakal ya istrimu tuh ngajak perang. Apalagi kalo ngomong ga pake mikir dulu, ya jangan salahin kami kalo ngebales dengan cara kami." Aku menimpali.
"Araaaa, gue kangen." Ian berlari memelukku, punya sepupu kok ya ga beres gini. Aku melepaskan diri, di ujung sana, terlihat Amri yang menundukkan pandangannya.
"Heh, kamu ngapa nunduk-nunduk?! Nyari koin?! Ga ada!" semprotku, ia menangkupkan kedua tangannya didepanku.
"Maafin aku, Raa. Aku ga sadar, ga maksud buat ngomong gitu. Ah aku ga mau nyari alasan lagi, intinya aku minta maaf."
"Udah?" tanyaku menahan tawa. "Ga papa, aku juga minta maaf, mungkin banyak tingkahku yang bikin kalian ga suka atau ga nyaman. Kalo aku ada salah, tolong ingetin ya??"
"Ini dia ga kerasukan kan? Kok beda?" Ian menatap Ojik.
"Mungkin dapet wangsit setelah semedi beberapa hari," jawab Ojik yang ditatap.
"Kalian tuh ya, Ara lagi serius kalian malah ngebanyol, dasar emang!" Wulan menggeplak punggung Ian.
"Sakeeettt Ulaaaaannn" teriaknya. Aku tertawa, bertemu mereka mengembalikan mood yang sempat berantakan. Aku teringat Hoon dan Hera, memutuskan untuk pulang. Mereka ingin menemui Rindu, pun denganku.
"Aku balik duluan yak, nyambung lagi besok deh."
"Aku baru dateng ya, Juleha! Udah pulang aja," protes Ian diamini yang lain.
"Tau nih, Firdaus aja belum dateng udah kabor aja."
"Nyebelin banget emang si Fauzi Ilham ini, gue lagi ada tamu dirumah. Ntar aja ngumpulnya, Ryan kapan pulang?"
"Kamu udah ketemu Firdaus belum? Kasian itu bujang satu, kalo lo ga mau ntar dia gue kenalin ke sodaranya Maya!"
Aku mendelik kesal ke arah Ian, "Lambemu ki lho! ribut nemenn. Iye kenalin bae lah, biar puas kalian tuh!"
"Ga yakin si Daus mau, lha Mbak Wena yang tiap hari nyamperin aja ga digubris," sahut Amri. Siapa pula itu Wena.
"Wena? Dosen pertanian? Tahu darimana?" sela Ian.
"Lu kenal? Adek gue kan mahasiswanya si Firdaus, dan ternyata doi idola mahasiswa, ramah, ga pelit nilai, kalo bimbingan ga pernah php, cara ngajarnya juga bisa diterima semua. Pokoknya dosenku idolaku, makanya pada kepo sama kehidupan pribadinya. Artes kampos kawan kita tuh," lanjut Amri.
"Ngga kenal, cuma tahu. Dia adik temen kerja gue, pernah denger Tasya cerita kalo adiknya suka sama temen dosennya. Tapi parah sih, segitu populernya si Daus?"
"Dokter ternyata ada waktu buat ngegibah ya Lan," ujarku pada Wulan yang dijawab anggukan olehnya.
"Kalo cemburu tuh bilang aja sih, Ra. Asal kamu tau aja kalo si Dwi laku di pasaran kalo emang kamu ga mau."
"Tega bener mau jual temen." Ojik bersuara setelah dari tadi sibuk dengan ponsel dan menjadi pendengar yang baik. "Kalian boleh aja ngasi dia pilihan, tapi ya gausah dipaksa. Lagian baru juga minta maaf udah nyari perkara baru lagi! Udah gausah bahas itu lagi deh, biarin semuanya berjalan apa adanya. Kalo mereka berjodoh, Alhamdulillah, kalo nggak ya jangan marah ke Ara juga. Jodoh, maut, bahkan daun gugur pun sudah ada yang menentukan."
"Jangan mojokin Ara, aku tau kalian ga ada maksud, tapi cukuplah, aku tahu, walau Ara keliatan ga peduli dan cuek sama omong kosong kita, dia ini tipe orang yang bakal terus mikirin perkataan orang lain, apalagi kita ini bukan sekedar orang lain. Sedikit banyak perkataan dan tindakan kita pasti membuatnya berpikir. Buat kamu, Ra, bukan tugas kamu buat bikin seneng semua orang, jalani hidupmu dengan hal yang bikin kamu bahagia. Aku sama Ulan janji bakal tetep ada apapun kondisimu," ujar Ojik panjang lebar, aku terharu, entah apa yang merasuki lelaki didepanku ini. Aku memeluk istrinya, Fauzi ini adalah musuh utamaku diantara mereka berlima, selalu mendebatkan hal yang bisa diperdebatkan, ternyata ia bisa sebijak ini.
"Kemarin aku nonton live IG si Hera, walaupun remang, aku tahu itu kamu. Denger suara dan ekspresi kamu, aku jadi tahu, banyak beban yang kamu bawa sendiri. Aku ga maksa kamu buat cerita, tapi yang aku mau bilang, ada aku, ada anak-anak, seberat apapun, kalo kamu udah ga sanggup, aku sama yang lain siap buat kamu bagiin beban. Berbagi ngga bikin kamu jadi lemah kok, Ra," sambungnya.
"Thanks, Jik. Belum saatnya, aku ngerasa belum waktunya. Biarin aku berdamai dengan diri sendiri dulu ya." Aku menepuk pelan pundaknya. "Aku pamit, di rumah ada Hera, nyambung ntar aja. Hari ini aku ada janji sama beberapa orang. Lan, kamu bisa handle dulu yang hari ini? Ntar kalo ada apa-apa telpon aja, aku ada janji sih ini."
Setelah berpamitan dan basa basi sebentar, aku kembali ke rumah. Menemui dua orang yang tengah menungguku.
...🍀🍀🍀...
"Eonni... igeos-eun eotton gayo? Ibeon jumal-e hakkyo hwaldong-i isseo-yo!!"* teriak Hera ketika melihatku. Aku terbengong, namun seketika tertawa.
"Ppali jib-e wa!"** seruku "Ini sudah hari jumat dan kamu tahu? Penerbangan langsung dari sini ke Incheon tak setiap hari ada. Cek aplikasi, kalo ga ada kalian berangkat dari Denpasar!" tukasku.
"Hari ini ada, besok ga ada. Dan ga ada yang langsung. Transit di Jakarta delapan jam kurang. Kamu sih, kalo ada kegiatan jangan ngajakin main! Tahu sendiri, aku kalo diajakin mau aja," omel Hoon pada keponakannya.
"Namanya lupa, aku keinget juga gara-gara buka ktalk. Di grub lagi rame ngebahas itu."
"Sudah, yang jam berapa pesawatnya? Mumpung masih pagi kalian siap-siap aja. Kalian sudah makan?"
"Sudah, ayam gepreknya mantap!" Hoon mengancungkan jempolnya. "Ambil yang jam 14.50, cuma ada dua penerbangan, jam 9.40 ga bakal keburu. Ini aja udah jam 9.34"
Aku mengangguk, mengabarkan pada Mas Uwik tentang masalah mereka, beruntung hari ini jadwalnya hanya sampai pukul 10.00. Aku membantu Hera membereskan kembali kopernya. Ada rasa geli sekaligus kasihan, niat mau liburan, eh di prank jadwal sekolah. Kami berkumpul di ruang tamu, mengingatkan kedua tamuku ini dengan barang bawaan mereka, tak lupa tanda pengenal, passport dan segala penunjangnya, agar di letakkan di tas berbeda untuk memudahkan mereka ketika di imigrasi nanti.
Tepat pukul 10.25, Mas Uwik datang, kali ini ia sudah menanggalkan setelan formalnya. 'Di liat-liat, ini laki cakep juga ya' pikirku. 'Subhanalloh sempat-sempatnya'. Kami berangkat menuju bandara setelah memastikan tak ada barang mereka yang tertinggal. Sepanjang jalan Hera mengeluh tentang liburannya yang gagal hingga membuat Hoon dongkol.
"Ara, mending kamu ajakin dia nyanyi kek, ngobrol kek, alihin dari topik liburan gagal ini," pinta Hoon padaku.
"Santai sih, namanya juga kecewa. Lagian juga kalian salah season kalo mau liburan bulan ini. Hujan terus. Tahun depan bulan 4 udah bagus cuacanya, balik lagi deh pas bulan itu," tanggapku.
"Ga tahu deh kapan lagi bakal balik, si Hera taun depan udah mulai persiapan SAT, mungkin pas lagi ada wedding misalnya."
"Wedding siapa? Kamu punya kenalan lain?" tanyaku.
"Ya kalian berdua, ga niat buat jadi official?" sambar Hera. Aku melirik Mas Uwik dari kaca depan, ia tersenyum.
"Doakan, semoga di segerakan," jawabnya pendek.
"Kayanya blog ga bakal ada curhatan nelangsa lagi nih Oom," sindir Hera.
"Yaiyalah, udah terang benderang gitu masa mau galau lagi," sambung Jihoon.
"Gue gibeng benjol lu bedua," sungutku kesal.
"Blog apa?" tanya Mas Dwi.
"Ada blog temenku, Bang, isinya sambat semua. Heran aja, dia suka sama seseorang, tapi ga nyadar juga kalo dia suka. Galauuu terus." Hoon melirikku.
Mas Dwi tampak mulai paham, terbukti dengan seringainya yang berbeda. Aku mengalihkan topik tatkala mendengarnya bertanya pada Hoon tentang alamat blog yang dimaksud.
"Hera, kemarin kamu live IG ya pas malem dipantai?"
"Iya, responnya bagus banget, malah ditanya kapan live lagi. Hahaha... Padahal banyak yang gatau arti dari lagunya."
"Padahal gelap, sempat-sempatnya."
"Eh ngelive lagi yuk, abis pada nanyain kakak terus sih, hadiah perpisahan."
"Yekalii di dalem mobil."
"Di parkiran bandara, mau? Atau hanggar pesawat?"
"Yaa salaam, besok aja kapan-kapan, kan bisa join live nya," tolakku.
"Yaudah deh, janji tapi ya?"
"Iya, Kang Hera. Ini juga dah nyampe, kalian nyampe juga langsung masuk. Udah waktunya check in ini!" Aku melihat jam yang melingkar di tanganku.
"Eonni, joh-eun haru bonaejusyeoseo kamsahabnida"*** Hera membungkukkan badan untuk berterima kasih.
"Ara ya... gomawo,"**** sambung Hoon.
Aku menatap punggung keduanya dan membalas lambaian tangan mereka ketika akan masuk counter check in. Aku menatap lelaki yang tengah bersandar di tiang dibelakangku. Seketika canggung menyergap, harusnya pengakuan semalam tak perlu terjadi, sekarang, bagaimana aku bisa mencairkan kekakuan yang akan terjadi satu jam kedepan?! Entahlah. Sekarang mending cepat ke masjid, udah hampir masuk waktu sholat jumat.
...🍀🍀...
*Eonni... igeos-eun eotton gayo? Ibeon jumal-e hakkyo hwaldong-i isseo-yo!!
(Kak, gimana ni? Aku ada kegiatan sekolah hari minggu ini)
**Ppali jibe-wa!
(Cepat pulang sana!)
*** Eonni, joh-eun haru bonaejusyeoseo kamsahabnida
(Kak, terima kasih untuk hari menyenangkannya)
**** Ara ya... Gomawo
(Terima kasih, Ara)