(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POSITIF
Di dalam sebuah ruangan, seorang pria terlihat sedang memaki-maki beberapa bawahannya. Pak Arman, baru saja mengetahui tentang keputusan Dokter Marchel yang menjadi tenaga medis relawan untuk sebuah daerah pelosok yang terjangkit wabah berbahaya.
"Kenapa kalian izinkan Dokter Marchel yang pergi ke sana? Memangnya tidak ada dokter lain yang bisa?" tanya Pak Arman dengan suara nyaris membentak.
Seorang wanita yang menjadi kepala rumah sakit tempat Marchel bekerja akhirnya memberanikan diri mengangkat kepalanya. "Maaf, Pak... Tapi Dokter Marchel sendiri yang mengajukan permohonan. Kami setuju karena di sana juga kekurangan tenaga medis." Wanita itu masih merasa bingung, mengapa kemarahan Pak Arman sampai meledak-ledak hanya karena Dokter Marchel pergi.
"Aku tidak mau tahu. Perintahkan Dokter Marchel untuk segera kembali!" bentak Pak Arman.
"Tapi daerah itu sedang diisolasi, Pak. Semua jalan ditutup. Tidak ada warga yang boleh keluar dari sana. Daerah itu juga sangat terpencil dan tidak ada jaringan telekomunikasi," sahut salah seorang pria.
Pak Arman memejamkan matanya kasar, raut wajahnya terlihat menggeram. "Aku tidak mau tahu! Bawa Dokter Marchel kembali. Atau kalian semua aku pecat!"
Ketiga orang yang semuanya merupakan petinggi rumah sakit itu sampai gemetaran mendengar ancaman Pak Arman. Tentu saja, memecat mereka bukan sesuatu yang sulit bagi pria paruh baya itu. Sebagai wakil pemilik Darmawan Group, memecat bawahannya semudah membalikkan telapak tangan.
Pak Arman meninggalkan ruangan itu dengan wajah terlihat sangat kesal. Kepergiannya keluar negeri untuk mengurus beberapa perusahaan Darmawan Group yang berada di luar negeri membuatnya tertinggal banyak informasi.
"Bagaimana mungkin Rey bisa seceroboh ini dan tidak memberitahuku hal penting seperti ini?" gumam Pak Arman.
Pria itu mengeluarkan benda pipih berwarna hitam dari saku jasnya, hendak menghubungi anak lelakinya. Namun, setelah mencoba beberapa kali, panggilan itu tak juga terhubung.
Pak Arman, sudah mulai frustrasi, memikirkan nasib seorang gadis yang selama dua belas tahun disembunyikan keberadaannya.
"Bagaimana dengan Qiandra? Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi."
****
Sheila masih terbaring di dalam sebuah ruangan dengan mata terpejam. Sedangkan Rayhan duduk menunggu di depan ruang UKS, tanpa mempedulikan ponselnya yang sudah puluhan kali bergetar di saku jaketnya.
Dua orang wanita yang merupakan petugas kesehatan di sekolah itu baru saja selesai memeriksanya. Kedua wanita itu terlihat cukup menegang, seperti terjadi sesuatu yang serius.
"Bagaimana anak ini bisa hamil? Dia masih pelajar dan belum menikah," bisik salah seorang dari mereka.
"Apa kau yakin dia hamil?"
"Aku yakin tidak salah."
"Berarti kita harus melaporkannya pada kepala sekolah. Ini aib untuk sekolah kita. Kalau ketahuan ada siswa yang hamil di luar nikah, sekolah ini akan mendapat pandangan buruk dari masyarakat."
"Ya, tentu saja. Ini aib besar. Nama baik sekolah akan tercoreng."
"Aku akan ke ruangan kepala sekolah untuk memberitahunya. Begitu anak ini terbangun, lakukan tes urine padanya untuk memastikan." Wanita itu memberikan alat tes kehamilan pada temannya itu, agar saat Sheila terbangun, segera dilakukan tes urine.
Beberapa menit kemudian, Sheila akhirnya terbangun. Gadis polos itu masih belum menyadari apa yang terjadi.
"Kau sudah bangun, Nak?" tanya wanita itu.
"Iya, Bu! Maafkan aku sudah membuat repot. Aku akan kembali ke kelas." Sheila menyibakkan selimut tipis yang menutupi tubuhnya, lalu turun dari pembaringan itu.
"Sebentar! Kau masih harus diperiksa." Wanita itu memberikan wadah kecil kepada Sheila. "Pergilah ke kamar mandi, dan taruh urinemu di wadah ini!"
Sheila menatap wanita itu bingung, "Tapi untuk apa, Bu? Itu kan kotor."
"Ini untuk pemeriksaan. Dan jangan kembali dulu ke kelas. Karena kita harus bicara."
Sheila akhirnya masuk ke kamar mandi, mengikuti arahan dari wanita itu. Sementara Rayhan masih menunggu di depan ruangan.
Di dalam sana, wanita yang bertugas di ruang UKS baru saja selesai melakukan tes urine. Dan benar dugaan mereka, terdapat dua garis merah pada alat tes itu, yang menandakan Sheila benar-benar sedang hamil.
Wanita itu kemudian mendekat pada Sheila dan duduk di sampingnya. "Namamu Sheila, kan?" tanya wanita itu.
"Iya, Bu..."
Wanita itu mengusap rambut gadis polos itu, merasa ragu untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya.
"Boleh ibu tanya sesuatu?"
Walaupun bingung, Sheila masih mengangguk, "Boleh, Bu."
"Sheila, bagaimana ini bisa terjadi padamu, Nak? Siapa yang melakukannya?"
Sheila masih dengan raut wajah bingungnya. "Memangnya aku kenapa, Bu?"
"Apa kau belum tahu?" tanya wanita itu membuat Sheila menggelengkan kepalanya. "Kau sedang hamil."
Seketika kedua mata Sheila dipenuhi cairan bening. Sendi-sendinya terasa lemas, dan tubuhnya gemetaran. Hanya air mata yang berjatuhan membasahi wajah tirusnya.
"Tapi, Bu ..."
"Alat tes ini tidak mungkin salah. Katakan pada ibu, bagaimana kau bisa mengalami ini? Siapa yang melakukannya?"
Sheila masih belum dapat menjawab. Keterkejutannya mengalahkan segalanya. Memikirkan Marchel yang sudah sebulan pergi tanpa bisa dihubungi. Kini, Sheila tidak tahu harus bagaimana menghadapi semua sendirian. Pikirannya tertuju pada pihak sekolah yang sudah pasti akan mengeluarkannya dari sekolah.
"Tenang dulu, Sheila! Ayo kita cari jalan keluar bersama. Cerita kan pada ibu saja," bujuk wanita itu ketika Sheila terus menangis.
"Bu ... Aku takut." Isakan demi isakan terus terdengar.
"Jangan takut, Nak! Ibu akan membantumu. Sekarang ceritakan semuanya pada ibu."
Belum sempat Sheila menjawab, tiba-tiba semuanya menjadi gelap, waktu seakan terhenti. Sheila kembali tak sadarkan diri. Beruntung, ada petugas UKS yang segera menangkap tubuhnya.
Rayhan yang berada di luar kelas kembali terkejut manakala mendengar suara teriakan dari dalam ruangan itu. Ia buru-buru masuk ke ruangan itu dan terkejut mendapati Sheila terbaring di lantai.
"Rayhan, bantu ibu menggendongnya ke tempat tidur!" pinta wanita itu.
Rayhan pun segera menggendong Sheila dan membaringkannya di tempat tidur. Ia terlihat sangat khawatir. "Ada apa dengan Sheila, Bu? Apa dia sakit?"
Wanita itu belum sanggup menjawab, namun tatapannya pada Rayhan penuh dengan kecurigaan. Sudah menduga-duga dalam hati.
Apa jangan-jangan Rayhan yang menghamili Sheila. Hanya anak culun ini satu-satunya siswa di sekolah ini yang dekat dengan Rayhan, kan? batin wanita itu.
"Bu...?" panggil Rayhan membuyarkan lamunan wanita itu.
"Sheila tidak apa-apa. Sekarang kembalilah ke kelas," jawab wanita itu gelagapan.
Rayhan akan keluar dari ruangan itu, ketika matanya menangkap sesuatu di lantai. Laki-laki itu meraih benda berwarna biru putih itu, keningnya mengerut ketika mendapati dua garis merah di sana.
Sesaat kemudian, Rayhan melirik Sheila yang masih terbaring tak sadarkan diri. Pikirannya sudah melayang kemana-mana.
"Bu, ini apa?" tanya Rayhan pada wanita itu.
Dengan segera, wanita itu merebut alat tes kehamilan itu dari tangan Rayhan. "Bukan apa-apa! Cepat kembali ke kelas."
Rayhan diam mematung sejenak, sambil melirik Sheila, sebelum akhirnya memilih keluar dari ruangan itu.
Apa jangan-jangan Sheila hamil? Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah Sheila pernah bilang Dokter Marchel tidak pernah menyentuhnya? Aku harus segera memberitahu ayah tentang ini. dalam batin Rayhan.
****