keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Terjebak di pesantren
Setelah segala percakapan selesai, Gus Zidan berpamitan kepada Kyai Mansur dan Nyai Khadijah. Tatapannya kembali ke arah Aza yang tampak masih penuh dengan keraguan dan kecemasan.
"Mazaya Farha Kaina, jaga diri baik-baik di sini. Aku akan sering datang untuk memastikan semuanya baik-baik saja," ucap Gus Zidan dengan nada penuh ketenangan.
Aza mengangguk perlahan, meski hatinya masih bergolak. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Setelah Gus Zidan pergi, meninggalkannya bersama Nyai Khadijah, rasanya ada campuran antara lega dan takut yang menghantam pikirannya.
Bu Nyai tersenyum lembut, menggandeng Aza. "Ayo, Nak. Kita ke pesantren. Saya akan memperkenalkanmu dengan para santri."
Saat mereka mulai melangkah keluar rumah, Aza dengan cepat menoleh ke arah Nyai Khadijah dan berkata, "Bu Nyai, tolong... jangan bilang siapa saya sebenarnya. Saya nggak mau mereka tahu kalau saya istri Gus Zidan."
Nyai Khadijah terkejut sejenak, tapi kemudian tersenyum hangat. "Baiklah, Nak. Saya tidak akan mengatakan apa pun. Kamu hanya akan dikenal sebagai Mazaya Farha Kaina, santri baru di pesantren ini."
Aza menghela napas lega. Setidaknya, dengan begitu, dia bisa memulai tanpa beban besar dari statusnya sebagai istri Gus Zidan. Meski hatinya masih penuh kekhawatiran, ada secercah harapan bahwa di pesantren ini, dia mungkin bisa menemukan sesuatu yang baru—sesuatu yang bisa mengubah hidupnya.
Di tempat lain, Gus Zidan yang sudah kembali ke mobilnya menatap nyalang pada pesantren, ada sesuatu yang besar yang membebani hatinya saat ia meninggalkan Aza di sana. Wahyu pun menyadari perasaan gundah Gus zidan.
"Kenapa Gus Zidan tidak membawa nona Aza ke rumah Abah yai saja?" tanya Wahyu kemudian.
Gus Zidan menggelengkan kepalanya, "Aku tidak mau membuat Aza merasa sungkan. Jika di rumah Abah, dia pasti tidak akan leluasa seperti di pesantren, lagi pula ini hanya sementara sampai renovasi rumah selesai."
"Baiklah, saya mengerti gus."
"Oh iya, baju yang untuk Aza, sudah kamu siapkan kan?"
"Sudah Gus, tadi langsung di terus di kamar nona Aza."
"Baguslah."
"Lalu bagaimana dengan tas nona Aza?" tanya Wahyu sambil melirik tas milik Aza yang berada di sampingnya.
"Berikan padaku. Aku akan membawanya ke rumah abah."
"Baik gus."
***
Sesampainya di sebuah kamar pesantren yang sederhana namun bersih, Nyai Khadijah mengetuk pintu pelan sebelum membukanya. Di dalam, ada beberapa santri yang sedang duduk dan berbincang santai di atas kasur masing-masing. Begitu melihat Nyai Khadijah dan Aza, mereka segera berdiri dan menyambut dengan penuh hormat.
"Assalamu'alaikum, Bu Nyai," sapa mereka serentak.
"Wa'alaikumussalam, anak-anak. Ini Mazaya Farha Kaina, panggilannya Aza, santri baru yang akan tinggal bersama kalian," kata Nyai Khadijah sambil tersenyum ke arah Aza.
Aza, yang merasa sedikit gugup, mengangguk sopan dan berusaha tersenyum. Beberapa santri langsung mendekat dengan ramah.
"Selamat datang, Aza! Aku Nisa," salah satu santri memperkenalkan diri dengan senyum lebar, diikuti oleh santri lainnya.
"Aku Rahma."
"Nama aku Laila."
Satu per satu mereka memperkenalkan diri, membuat Aza merasa sedikit lebih nyaman. Namun, di balik senyum Aza, ada sedikit kegelisahan. Ia masih belum tahu bagaimana caranya menyembunyikan identitasnya sebagai istri Gus Zidan dari para santri lain.
"Kamar ini akan menjadi tempat tinggalmu," ujar Nyai Khadijah, menunjuk ke salah satu tempat tidur yang sudah disiapkan. "Mereka ini akan menjadi teman-temanmu di sini. Semoga kamu cepat beradaptasi, ya, Aza."
Aza mengangguk, meski hatinya masih berkecamuk. Di tengah segala kegelisahan, dia tahu bahwa hidup barunya di pesantren ini baru saja dimulai.
Setelah Bu Nyai Khadijah meninggalkan kamar, suasana kembali sedikit lebih santai. Nisa, santri yang paling ramah di antara mereka, mendekati Aza dan mulai memperkenalkan beberapa aturan serta kebiasaan di pesantren.
"Oh iya, tadi ada baju-baju kamu sudah diletakkan di dalam lemari." ucap Nisa sembari menunjuk ke lemari yang ada di samping jendela.
Aza malah mengerutkan keningnya bingung, "Baju?" dengan cepat Aza mendekati lemari dan membukanya, tapi baju-baju itu bukan baju lamanya, tampaknya baju itu masih baru semua bahkan peralatan sholat, mandi dan juga skincare.
Apa ini kerjaan Gus Zidan? gumamnya dalam hati.
"Apa ada masalah?" tanya Nisa saat melihat ekspresi kaget dari Aza. Dan Aza pun segera menoleh menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Tidak ada. Oh iya, bagaimana aturan di pesantren ini?" tanya Aza mencoba mengalihkan pembicaraan. Lagi pula memang dia harus tahu sedikit banyak aturan di pesantren agar tidak banyak melakukan kesalahan.
"Kamu harus bangun sebelum Subuh, karena ada pengajian pagi setelah sholat berjamaah. Lalu, kita juga punya jadwal belajar Al-Qur’an setiap hari," jelas Nisa sambil menunjukkan jadwal yang tertempel di dinding. "Dan biasanya, kalau ada waktu luang, kita juga membantu Bu Nyai di dapur atau mengurus kebun kecil di sini."
Aza mendengarkan dengan seksama, meski dalam hati masih ada penolakan. Hidup di pesantren dengan aturan ketat seperti ini bukanlah hal yang pernah ia bayangkan. Tapi, setidaknya Nisa dan teman-temannya tampak baik dan tidak mencurigai apa pun.
"Ngomong-ngomong, kamu dari mana, Aza?" tanya Rahma tiba-tiba, memecah pikiran Aza. Santri lainnya ikut mendengarkan dengan penasaran.
Aza menelan ludah, berpikir cepat. Ia tidak bisa memberi tahu yang sebenarnya. "Aku... aku dari Blitar," jawabnya singkat, berharap mereka tidak bertanya lebih lanjut.
"Wow, gimana di sana? Aku dengar dari paman aku di sana udaranya sangat sejuk." Siti menimpali. "Kalau dengar cerita dari paman aku yang di Blitar jadi pengen ke sana."
Aza hanya tersenyum tipis, tak ingin memperpanjang topik asal usulnya. Ia tahu harus sangat berhati-hati dalam memilih kata-kata, agar tidak ada yang curiga bahwa ia sebenarnya adalah istri Gus Zidan, Sebisa mungkin, ia harus menjalani hari-harinya dengan tenang dan tanpa menimbulkan perhatian.
"Semoga kamu betah ya di sini, tenang aja semua teman-teman di sini baik kok." ucap Laila menambahkan.
"Ya, semoga," balas Aza, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Namun, dalam hatinya, Aza tahu bahwa menjaga rahasia ini tidak akan semudah yang ia bayangkan.
Setelah suasana sedikit mencair, Rahma tiba-tiba menurunkan suaranya dan mendekat ke Aza. "Oh iya, ada satu hal lagi yang harus kamu tahu kalau mau hidup tenang di sini," katanya dengan nada serius.
Aza mengerutkan kening, penasaran. "Apa itu?"
Nisa dan Laila juga ikut mendekat, membuat suasana di kamar menjadi lebih tegang. "Ada seorang santri senior di sini. Namanya Mbak Farah. Dia itu... gimana ya, mendominasi. Semua orang segan sama dia. Kalau kamu sampai salah langkah dan bikin dia marah, siap-siap saja. Kehidupan di sini bakal jadi sulit."
Aza merasa tubuhnya menegang mendengar penjelasan itu. "Kok bisa? Kenapa orang takut sama dia?" tanyanya dengan ragu.
"Dia punya pengaruh besar di antara santri, terutama karena dia dekat dengan Bu Nyai. Mbak Farah dianggap santri teladan, tapi kalau di luar pengawasan para ustazah, dia bisa sangat galak dan tidak segan-segan menegur kita dengan cara yang keras," tambah Nisa dengan nada hati-hati, seolah takut ada yang mendengar.
Rahma mengangguk. "Betul. Kalau kamu mau tenang, sebaiknya hindari konflik sama dia. Jangan terlalu menarik perhatian atau menentangnya."
Aza menelan ludah, perasaan waspada mulai muncul. Ia memang sudah merasa sulit beradaptasi di pesantren, dan kini ada ancaman dari sosok santri senior yang bisa membuatnya lebih sulit lagi.
"Baiklah, aku akan ingat itu," balas Aza, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi di dalam hatinya, ia merasa bahwa hal ini justru membuat tinggal di pesantren menjadi lebih menantang dari yang ia bayangkan.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....