Aku masih ingat tangisan, tawa dan senyum pertamanya. Aku juga masih ingat langkah pertamanya. Saat dia menari untuk pertama kali. Saat dia menangis karena tidak bisa juara kelas. Aku masih ingat semuanya.
Dan sekarang, semua kebahagiaan itu telah direngkuh paksa dariku.
Aku tidak memiliki apa-apa selain dia
Dialah alasanku untuk hidup sampai sekarang.
Tidak bolehkah aku menghukum perampas kebahagiaanku?
Ini adalah novel diluar percintaan pertama penulis, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
"Mati karena terlalu banyak makan? Apa polisi sudah gila?" gumam seorang laki-laki yang melihat berita lanjutan tentang kematian anak anggota dewan.
"Awalnya dicurigai mati karena diracun. Tapi ternyata, mati karena dipukuli oleh ayahnya sendiri. Begitu parah sampai saat makan, tersedak oleh darah yang ada di dalam perutnya. Lalu mati begitu saja" jelas kawan laki-laki yang sedang fokus menatap layar ponselnya.
"Racun?"
"Tidak ditemukan racun dimanapun. Takutnya ada di salah satu makanan yang dia makan. Karena dia juga pesan sashimi ikan kembung"
"Apa pihak restoran sudah ditanya?"
"Mereka tidak mengganti chef. Semua aman. Kemungkinan besar memang mati karena organ dalamnya hancur saat ditendang habis-habisan oleh ayahnya sendiri"
Laki-laki yang kini berusia dua puluh satu tahun itu berdiri dan meninggalkan kumpulan temannya di klub malam. Di tempat parkir dia menengadah dan melihat ke langit yang hitam.
"Satu mati karena sengatan lebah. Satu mati karena tersedak darah. Apa ini memang hanya kebetulan?" tanyanya dalam hati, mulai mencurigai kalau kedua kasus yang melibatkan rekannya sebagai korban tidak sesederhana seperti kelihatannya.
"Tuan muda, Ayah Anda memanggil" kata supir sekaligus pengawalnya.
"Mau apa dia?"
"Tentang masalah kuliah di luar negeri"
Padahal dia masih belum selesai berpikir. Laki-laki itu melempar gelas yang dibawanya dari klub malam ke aspal sampai terpecah berai. Dan masuk ke dalam mobil mewah milik keluarganya.
Ratna melihat berita yang tertulis di media sosial. Pemakaman anak anggota dewan. Danu Hoiro Pamungkas dilaksanakan secara tertutup. Tidak diliput oleh media manapun. Karena kecurigaan penyebab kematian tak pernah ditemukan.
"Kau pantas mati" katanya lalu meletakkan ponsel di atas lantai. Dia mengambil sebuah spidol merah dan membuat tanda silang besar di atas berkas pelaku kedua kejahatan terhadap Tia, putrinya.
"Tinggal satu lagi" katanya lalu menatap mata laki-laki yang ada di gambar ketiga.
Anak terakhir pengusaha kaya.
Hanya saja, Ratna belum menemukan metode yang ampuh dan tersembunyi untuk bisa membunuh pelaku ketiga yang menyebabkan putrinya meninggal itu.
Media sosial laki-laki itu sangat terkendali. Hanya memposting hobi dan perjalanan keluar negeri saja. Tidak ada celah bagi Ratna yang merupakan ibu tunggal biasa untuk masuk sama sekali. Selain informasi tentang hobi dan pendidikan laki-laki itu, Ratna sama sekali tidak tahu apapun.
Dia mendorong kertas ke bawah ranjang putrinya dan melihat wajah Tia yang tersenyum di foto.
"Sudah dua yang mama hukum. Apa kamu senang Nak? Mereka tidak mengucapkan kata maaf, tapi setidaknya mereka telah berada di alam yang sama denganmu sekarang." ujar Ratna lalu bangkit dari lantai.
Dan berjalan ke arah dapur untuk memasak.
"Satu lagi, maka semua akan berakhir" pikirnya sembari mengeluarkan alpukat dari dalam kulkas. Saat dia membelahnya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.
Malam-malam begini, siapa yang bertamu ke rumahnya? Polisi? Kenapa ke rumahnya? Apa mereka menemukan sesuatu?
Tidak mungkin, Ratna sudah memastikan wajahnya tidak terekam CCTV restoran sama sekali. Juga menghindari pertemuan dengan para karyawan restoran yang lain. Dan sisa racun yang ada di dalam gelas minum yang dia berikan pada anak laki-laki itu. Juga sudah dia musnahkan.
Perlahan Ratna melangkah ke pintu depan. Masih terdengar suara ketukan pintu yang berirama dan berjeda.
Berbekal pisau untuk membelah alpukat, dia membuka pintu perlahan. Dan menemukan seseorang yang tak pernah dia kira sebelumnya, akan berdiri di depan pintunya.
"Selamat malam Bu Ratna" sapa orang yang beberapa bulan itu telah menghilang seperti tertelan bumi.
"Selamat malam Bu Galih" balasnya.
"Apa Bu Ratna baik-baik saja?"
Baik? Apa dia pernah baik-baik saja setelah kematian putrinya? Apa pernah dia baik setelah orang yang dia percayai untuk menghukum pelaku kejahatan pada putrinya menghilang begitu saja? Tidak mengusahakan keadilan untuknya sama sekali? Apa pernah dia baik-baik saja setelah itu?
"Iya" jawabnya singkat.
"Saya boleh masuk?"
Ratna meletakkan pisau di atas meja dan mempersilahkan Bu Galih untuk masuk ke dalam rumah.
"Silahkan. Silahkan duduk, saya ambil minum dulu" ujarnya lalu kembali ke dapur.
Membuat teh dan berpikir keras tentang alasan Bu Galih datang ke rumahnya. Setelah teh jadi, dia kembali ke ruang tamu dan memperhatikan orang yang duduk tepat di hadapannya. Kali ini Bu Galih datang kemari tidak memakai seragam. Hanya memakai baju bebas. Apa kunjungan ke rumahnya bukan sebuah perjalanan dinas? Apa ini hanya kunjungan biasa?
"Saya hanya kemari untuk melihat keadaan Bu Ratna" kata Bu Galih memecah keributan dalam otak Ratna.
"Keadaan saya?"
"Iya. Saya khawatir pada keadaan Bu Ratna apalagi setelah beberapa berita yang muncul"
Ternyata Bu Galih mengikuti berita yang ada.
"Berita apa?" tanya Ratna seolah tidak tahu apapun.
"Bu Ratna tidak pernah membaca berita di media? Melihat televisi?"
"Saya lihat. Tapi kenapa harus khawatir pada saya?"
Sekali lagi, Ratna menampilkan keahliannya untuk pura-pura bodoh. Meski Bu Galih adalah seseorang yang pernah membantunya mengetahui siapa pembunuh putrinya yang sebenarnya. Bu Galih tetaplah seorang polisi yang aktif. Dia tidak boleh lengah dan termakan oleh keramahan Bu Galih.
"Saya ... Ehmm. Apa Bu Ratna tidak pernah melihat berkas yang saya berikan?"
Akhirnya. Benar perkiraan Ratna. Bu Galih datang kemari untuk memastikan apakah dia ada hubungannya dengan kematian dua pelaku kejahatan pada Tia.
"Berkas? Maksud Anda berkas kematian putri saya?"
"Iya"
"Apa yang saya dapat dari melihat foto jenazah putri saya sendiri? Apa menurut Bu Galih saya bisa melanjutkan hidup saat melihatnya terus menerus?" protesnya berusaha membuat Bu Galih menghilangkan kecurigaan padanya.
"Ohh, maaf. Saya tidak berpikir sampai kesana. Maafkan saya Bu Ratna. Lalu ... Apa saya boleh mengambil berkas itu lagi?"
Sial. Bagaimana ini? Berkas itu telah dilepas oleh Ratna di bagian pelaku.
"Saya sudah membakarnya" katanya tegas.
"Bu Ratna membakarnya?"
"Apa saya tidak boleh melakukannya? Kasus putri saya dianggap kecelakaan biasa. Walaupun sebenarnya bukan. Dan pelaku yang ada di dalam berkas itu, apakah ada yang dihukum?! Tidak ada. Saat saya pergi ke kantor polisi untuk mengusahakan peninjauan kembali, mereka mengatakan kalau kasus ini lemah. Lalu apa gunanya berkas itu untuk saya??"
Karena emosi yang tampak sangat asli itu, Bu Galih tidak lagi bicara. Hanya bisa menyesap teh yang disajikan dan tertunduk lesu. Mungkin merasa bersalah pada Ratna atau merasa gagal tidak bisa mengambil berkas itu kembali.
"Maaf. Harusnya saya tidak menanyakan tentang berkas itu dan menggali luka Bu Ratna lagi. Maafkan saya" ujar Bu Galih lalu berdiri.
Ratna melihat Bu Galih melangkah menuju pintu lalu berhenti dan berbalik.
"Seandainya saja Bu Ratna membutuhkan bantuan. Bantuan apapun. Jangan pernah ragu untuk menghubungi saya. Saya akan segera datang untuk membantu Bu Ratna" lanjut Bu Galih lalu pergi dari rumahnya.
Apa maksud polisi wanita itu? Bantuan? Apa yang bisa Ratna harapkan dari polisi yang bertekuk lutut pada uang dan kekuasaan itu? Dia membanting pintu dan menguncinya. Tidak lagi membiarkan orang-orang seperti itu mengganggu hidup dan rencananya.