Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedang Sakit
"Dek, terima kasih ya." Ucap Fahmi berbisik didekat daun telinga milik Ayana.
Ayana tampak lemas, namun gairahnya belum kunjung surut.
Maklum saja, mereka pengantin baru. Sama-sama baru perdana merasakan surga dunia seperti yang disebut oleh banyak orang.
Malam itu, menjadi malam yang sangat panjang bagi Ayana dan Fahmi. Sepasang pengantin baru yang menikmati indahnya kebersamaan.
Entah sudah berapa ronde, sehingga ketika menjelang subuh keduanya tampak lemas dan tidak berdaya.
"MasyaAllah, cantik sekali Isteriku ini. Beruntung aku bisa mendapatkan kamu, sayang." Gumam Fahmi ketika melihat Ayana masih tidur nyenyak tidak berdaya akibat gempuran dari Fahmi.
Fahmi beranjak dari tempat tidurnya, ia segera membersihkan tubuhnya.
Karena setelahnya akan melaksanakan sholat subuh.
Setelah tubuhnya sudah bersih dan wangi, ia segera membangunkan Isterinya yang masih terlelap.
"Sayang, Dek bangun. Sudah mau subuh. Kamu segera mandi ya. Nanti kita sholat berjama'ah." Perintah Fahmi kepada Ayana yang baru saja membuka matanya, sedikit mengerjapkan matanya Ayana langsung duduk dan membaca do'a ketika bangun tidur.
Ayana tersenyum kepada Fahmi.
"Aku mandi dulu ya, Mas." Izin Ayana kepada suaminya.
"Baik, Isteriku." Jawab lembut Fahmi.
"Awww sakit, Mas." Rengek Ayana dengan berjalan pelan sedikit meregang. Karena dibagian area int*mnya masih terasa sangat sakit.
"Sabar ya, Sayang. Maaf atas ulah suamimu ini. Habisnya kamu legit sekali sih Dek, hehehee.." Fahmi meledek Ayana.
***
"Ayana, kenapa wajah kamu pucat seperti itu, Nak? Apakah kamu sedang sakit?" Tanya Bu Fatimah kepada Ayana yang keluar dari kamar tidurnya.
Bu Fatimah langsung berjalan mendekati Ayana dan menyentuh dahi Ayana yang memang sedikit panas.
"Tidak apa Ibu, sepertinya aku hanya kurang tidur saja." Jawab Ayana dengan senyuman khasnya.
"Maklum Bu, pengantin baru. Ibu kayak tidak tahu saja." Celetuk Zidan yang berjalan mengambil segelas air pada dispenser.
Ayana sedikit menunduk karena malu.
Wajahnya tampak memerah layaknya kepiting rebus.
"Tunggu sebentar ya, Nak! Ibu ambilkan obat dulu." Ucap Bu Fatimah yang berlalu dan meninggalkan Ayana berdua dengan Zidan di dapur.
"Kamu apa kabar, Ay?" Tanya Zidan yang sudah sangat lama sekali tidak mengobrol dengan Ayana.
Namun ketika dirinya dipertemukan kembali, dengan berbesar hati ia harus menelan pil pahit bahwa ia harus menjadi kakak ipar dari Ayana. Bukan untuk menjadi seorang suami bagi Ayana.
"Alhamdulillah baik, Kak." Jawab Ayana dengan senyumannya.
"Sudah lama ya kita tidak bertemu. Eh sekalinya bertemu kamu dipinang adikku sendiri. Padahal aku yang ingin..... " Ucapan Zidan terhenti karena kedatangan sang Ibu.
"Nak, minum paracetamol dulu ya. Kamu sepertinya lemas sekali." Perintah Bu Fatimah.
Mendapat perintah dari sang Ibu Mertua, Ayana langsung menuruti perintahnya.
"Baik, Bu." Ayana menerima obat dari sang Ibu Mertua dan segera meminumnya.
"Ya sudah kamu beristirahat saja ya Nak dikamar." Perintah Bu Fatimah kembali.
"Tapi Bu, aku ingin membantu Ibu memasak." Sahut Ayana dengan nada lembutnya.
"Tidak usah, Nak. Kamu istirahat saja." Pinta Bu Fatimah.
"Baik, Bu. Maaf kali ini Ayana belum bisa membantu Ibu memasak." Jawab Ayana, yang langsung beranjak dari tempat duduknya.
Namun ketika ia sudah berdiri, pandangannya tiba - tiba gelap, ia seperti melayang-layang dan pada akhirnya Ayana ambruk jatuh ke lantai.
"Ya Allah." Teriak Bu Fatimah.
"Ayana!" Disusul teriakan Zidan.
"Zidan, tolong angkat Ayana dan bawa ke kamar sekarang!" Perintah sang Ibu.
"Tapi, Bu?" Zidan menyadari bahwa dirinya dan Ayana bukan mahrom. Ia tidak berani untuk menyentuh Ayana walau hanya membopongnya saja.
"Cepat, Zidan! Anak laki-laki dirumah ini hanya kamu. Ibu tidak kuat membopongnya. Ini darurat, Zidan. Kasihan Ayana." Bu Fatimah sangat paham apa maksud Zidan mengapa Zidan tidak langsung mengangkat tubuh Ayana.
Zidan masih diam mematung.
"Astaghfirullah, Cepat Zidan!" Sentak Ibunya.
"Baik, Bu." Jawab Zidan.
Dengan segera Zidan mengangkat tubuh Ayana dan membopongnya masuk kedalam kamarnya.
(Ayana kamu kenapa? Jangan sakit Ayana. Aku sangat rindu dengan kamu, kamu tumbuh dengan sempurna. Kamu manis sekali. Izinkan aku menggendongmu ya Ay, sebelumnya aku minta maaf karena telah menyentuhmu, karena ini dalam keadaan darurat)
Zidan membaringkan Ayana di ranjangnya.
Bu Fatimah langsung datang dan memberikan kompres pada dahi Ayana serta minyak angin pada hidung Ayana supaya lekas sadarkan diri.
Terlihat Ayana membuka matanya perlahan dan menyentuh pucuk kepalanya yang terasa sangat sakit sekali.
"Jangan terlalu banyak bergerak, Ay. Nanti sakitnya jadi semakin bertambah." Ucap Zidan.
"Kamu sudah sadar, Nak? minum dulu ya!" Perintah Bu Fatimah sambil menegakkan kepala Ayana.
"Zidan, Fahmi terbang berapa hari?" Tanya sang Ibu menoleh ke arah Zidan.
"Tiga hari, Bu." Jawab Zidan yang langsung berdiri menjauh karena sudah ada sang Ibu didekatnya.
"Kalau Ayana sampai nanti sore tidak kunjung reda, langsung kita bawa ke Rumah Sakit ya, Zid. Ibu khawatir Ayana kenapa-kenapa." Ucap Bu Fatimah.
"InsyaAllah tidak apa-apa, Bu. Kita terus berdo'a untuk kesembuhan Ayana." Sahut Zidan.
Ayana kembali memejamkan matanya. Tampaknya efek dari obat yang telah ia minum sudah bereaksi.
"Ya sudah, Ibu ke dapur dulu ingin membuatkan bubur untuk Ayana. Tolong jaga Ayana selama Fahmi sedang terbang seperti amanat Kyai Akbar dan Umi Farida. Kamu juga harus menjaga anak ini." Perintah sang Ibu.
"Tapi, Bu?" Cegah Zidan menarik tangan Sang Ibu.
"Sudah kamu ini jangan kebanyakan tapi-tapian." Sungut sang Ibu sembari menepis tangan Zidan.
Zidan terdiam dan hanya bisa menuruti perintah dari Sang Ibu.
Bu Fatimah berlalu meninggalkan Zidan dan Ayana di dalam kamar.
Zidan duduk di sofa yang sedikit jauh dari ranjang. Biar bagaimanapun Zidan harus tetap menjaga jarak.
Sembari memainkan ponselnya, tanpa seizin Ayana. Zidan memotret wajah Ayana yang cantik dan manis ketika sedang terlelap.
(Andai dirimu tahu Ayana, betapa aku menyayangimu sedari dulu. Mungkin akulah yang akan menjadi suamimu sekarang)
Ucap Zidan dalam hati, ketika ia memandangi foto Ayana.
"Astaghfirullahalazim, apa-apaan sih aku?" Gumam Zidan menggaruk kepalanya yang sebenernya tidak gatal.
***
"Zidan, nampak nya belum ada perubahan pada diri Ayana. Tubuhnya semakin demam. Kita bawa Ayana ke Rumah Sakit sekarang!" Perintah Bu Fatimah pada Zidan.
Zidan yang sedang membaca beberapa ayat dari kitab Shimtudurror, langsung beranjak mendekati Ibunya.
"Ibu bersiap-siap dulu ya, Zid." Ucap sang Ibu yang sudah sangat panik dan khawatir dengan keadaan Ayana.
"Kita harus bilang ke Fahmi tidak Bu?" Tanya Zidan pada Ibunya.
"Jangan! Nanti dia menjadi tidak konsentrasi membawa pesawatnya. Tunggu sampai Fahmi selesai baru kamu bisa kabari Fahmi." Cegah sang Ibu.
"Baik Bu."
Bu Fatimah berlalu meninggalkan Zidan dan Ayana untuk bersiap-siap mengganti pakaian dan membawa beberapa barang yang diperlukan saat di Rumah Sakit.
"Ay, Ayana. Ayanaaa.." Panggil Zidan pada Ayana.
Namun rupanya Ayana belum bisa dibangunkan.
"Zaaa, Zazaaaa.. Bangun Zaaa." Panggil Zidan pada Ayana dengan sebutan Zaza yang tidak lain adalah nama panggilan akrab mereka ketika masih di Pesantren. Sebuah penggalan nama Ayana, yang bernama lengkap Ayana Zahira.
Tidak lama kemudian Ayana segera membuka matanya karena sudah sangat lama sekali ia tidak mendengar panggilan masa kecilnya, hanya Zidan lah yang memanggilnya dengan sebutan Zaza.
"Kak Zizid. Kamu yang memanggilku tadi ya?" Ayana bertanya dengan nada lirih karena kondisi tubuhnya yang sangat lemah.
Zidan mengangguk.
"Kamu harus dibawa ke Rumah Sakit, Za. Kondisi kamu semakin turun. Nanti Fahmi sedih kalau tahu kamu sampai sakit begini." Titah Zidan.
"Tidak perlu, Kak. Aku masih kuat kok." Sahut Ayana yang tidak ingin di bawa ke Rumah Sakit.
"Yakin kuat? Coba bangun! Lalu berdiri!" Perintah Zidan.
Ayana mengangguk pelan.
Ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur nya namun sangatlah sulit.
Perlahan-lahan ia mencoba menegakkan kepalanya namun malah semakin mual dan terasa melayang-layang.
Zidan sengaja memperhatikan Ayana yang tetap pada pendiriannya untuk tetap di rumah saja.
Ayana terus mencoba untuk bangun. Ketika ia berhasil duduk, ia mencoba kembali untuk bisa berdiri.
Namun saat kakinya ingin ditegakkan, tiba-tiba tubuhnya lemas tidak berdaya.
Seketika Zidan langsung meraih tubuh Ayana, kini tepat tubuh Ayana berada dalam pelukan Zidan.
Zidan dan Ayana saling berpandangan, ada cerita dibalik kedua bola mata mereka. Kedua mata mereka saling berbicara dan saling menahan kerinduan yang mendalam. Membuka kembali memory ketika keduanya masih di Pesantren.
"Zaaa." Ucap Zidan lirih dengan terus memandang manik mata Ayana.
Ayana sangat lemas, kalau dirinya kuat ia sudah melepas pelukan Zidan. Namun apa daya, tubuhnya seperti tidak memiliki tulang.
"Kepalaku pusing banget, Kak Zizid. Aku tidak kuat Kak." Ucap Ayana terbata-bata.
"Mau aku gendong atau ingin dipapah saja?" Tanya Zidan kembali.
"Dipapah saja, Kak." Pinta Ayana.
Zidan akhirnya memapah Ayana. Dengan terpaksa Zidan dan Ayana harus saling bersentuhan, karena sangat sulit Zidan memapah jika tidak melingkarkan tangannya pada pinggang Ayana. Sedangkan tangan yang satunya memegang tangan Ayana yang tengah merangkul pada pundaknya, namun tetap terhalangi oleh pakaian panjang Ayana.
Keduanya berjalan pelan menuju pintu kamar.
"Maaf ya, Za. Aku harus seperti ini ke kamu." Ucap Zidan lirih.
"Tidak apa kak, darurat." Jawab Ayana.
"Bagaimana, Zid? Aduh kok Ayana malah dipapah? Nanti tubuhnya akan semakin lemas. Kapan akan sampai ke mobil kalau seperti ini? Kamu gendong Ayananya, Zid. Cepat!" Perintah sang Ibu yang tiba-tiba datang dengan membawa beberapa tas jinjing berisikan pakaian.
Zidan langsung menoleh ke arah Ayana. Ayana mengangguk pelan tanda menyetujuinya.
"Maaf ya. Aku izin menggendong kamu." Ucap Zidan yang langsung membopong tubuh Ayana.
Ayana yang telah berada dalam bopongan Zidan, terus menatap lekat wajah Zidan.
(Kak, sudah setampan ini kamu sekarang. Aku yang dulu mengagumimu karena kebaikanmu. Kamu yang dulu selalu menolongku, selalu ada ketika aku membutuhkanmu, bahkan sampai saat ini pun. Disaat aku membutuhkan pertolongan, kamu dengan siaga menolongku. Mengapa kita dipertemukan kembali dengan kondisi yang sangat berbeda?)
Batin Ayana terus berbicara.
Zidan yang merasa sedang diperhatikan Ayana, langsung melirik ke arah manik mata Ayana.
"Ayana dibelakang saja dengan Ibu ya." Pinta Bu Fatimah.
Zidan langsung menurunkan Ayana pada barisan tengah.
Ayana menyandarkan tubuhnya, dan disusul lah Bu Fatimah duduk disebelahnya.
Zidan langsung duduk dibagian kemudi dan segera melajukan mobilnya.
"Cepat sedikit mengemudinya, Zidan!"