"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 23
Maka, ketika orang-orang itu membawanya ke sebuah kamar dan mendudukkan Ariella di sebuah kursi, gadis itu duduk lemas tak berdaya.
Carlton berjalan mendekatinya.
"Bekerjasamalah, Ariella. Akuilah bahwa kau tidak berdaya, bahwa kau lemah, bahwa kau membutuhkanku."
Ariella membuka mulut.
"Kenapa kau melakukan ini?" Ariella akhirnya bertanya, suaranya hampir seperti bisikan. "Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
Carlton menatapnya dalam-dalam, matanya menembus jiwa Ariella.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu."
Beberapa waktu sebelumnya.
Klaim
Carlton sedang kencan buta. Dan gadis yang bersamanya malam ini adalah putri seorang pengusaha.
Ini kencan kedua, dan gadis itu agak kesal pada kencan pertama mereka karena Carlton tidak membawanya ke hotel atau apartemennya.
Malam ini, gadis bernama Cheries itu memakai gaun berwarna silver, dengan tali spaghetti menghiasi bahunya seperti sehelai benang di kulitnya yang halus.
Di luar gaun itu, Cheries menambahkan mantel bulu putih, bibirnya dipoles dengan warna merah membara, begitu berani dan menggoda.
Carlton suka gadis pemberani, meskipun tentu saja bukan hanya secara penampilan fisik saja, tetapi secara karakter, dan menurutnya. Cheries lumayan.
"Jadi, kau suka makan malam ini?"
"Lumayan, Mr. Rutherford. Hanya saja ada satu kekurangan."
"Oh, ya?"
"Kau kurang romantis," katanya.
"Kalau kau mencarinya padaku, kau tidak akan menemukannya."
Bagaimana cara Carlton menjelaskannya?
Sejak awal ia tidak benar-benar berminat soal perjodohan keduanya ini, dan ada satu dua hal yang membuatnya agak malas menyentuh wanita-wanita itu.
Contohnya saja saat ini. Setelah makan malam usai.
Carlton sendiri yang mengemudikan mobilnya sementara si gadis duduk di sisi kursi kemudi.
Gadis itu tampak senang ketika mereka pergi, dan dia berusaha keras agar terlihat menggoda di depan Carlton sejak mereka bertemu yang kedua kali. Rupanya gadis itu bertekad agar Carlton berakhir di ranjang bersamanya malam ini.
Sayangnya, selama hampir sebulan terakhir.
Carlton tidak berminat lagi menyentuh wanita-wanita itu. Ia hanya sibuk memikirkan satu orang, gadis berambut merah yang rasa bibirnya masih tertinggal di lidahnya.
"Gaya apa yang kau sukai, Mr. Rutherford?"
"Misionaris."
Mata gadis itu berbinar.
"Benarkah? Kupikir kau akan suka yang lain."
Carlton mengarahkan mobilnya ke apartemen.
"Kau berharap aku suka mengikat?"
"Mungkin."
Cheries mencuri pandang ke arah Carlton.
Rahangnya yang tegas, sorot matanya yang dingin, dan tubuhnya yang tegap membuat Carlton terlihat begitu sempurna, begitu tampan dan jantan, tetapi Cheries tahu ada tembok besar yang dibangun pria itu di sekitarnya. Sesuatu yang membuat Carlton sulit didekati.
"Jadi, kau benar-benar tidak suka hal romantis, Mr. Rutherford?"
"Kau tahu jawabannya."
Cheries mencondongkan tubuhnya, mencoba menciptakan kedekatan yang lebih intim.
"Aku tidak keberatan, tetapi kau bahkan tidak menciumku."
Carlton menoleh sekilas, melihat wajah gadis itu yang penuh harap. Bibir merah membara Cheries melengkungkan senyum menggoda, dan Carlton bisa mencium aroma parfum mahal yang menyelimuti tubuhnya.
"Aku sedang mengemudi, kecuali kau berani bertaruh kita akan selamat sampai tujuan."
Cheries menarik napas panjang, mencoba menahan rasa kesalnya. Ia tidak biasa diperlakukan seperti ini. Sebagai putri seorang pengusaha suskses, Cheries terbiasa menjadi pusat perhatian, dikejar dan dimanjakan oleh pria-pria yang menginginkannya. Namun Carlton berbeda. Dia tidak tunduk pada pesona Cheries, dan itu justru membuatnya semakin penasaran.
"Apa kau selalu seperti ini pada semua wanita?"
tanya Cheries dengan nada tajam.
"Aku tidak suka basa-basi."
"Acuh tak acuh. Tidak peduli. Seolah-olah aku tidak ada di sini."
Cheries membuang muka ke luar jendela, menatap lampu-lampu kota yang berpendar di malam hari. Ia menggigit bibir bawahnya, merasa frustasi.
"Kau tahu, banyak pria di luar sana yang rela melakukan apa saja untukku."
Carlton mengangkat alisnya. "Dan kau memilih untuk berada di sini, bersamaku, yang jelas-jelas tidak seperti mereka. Kenapa?"
Cheries tidak menjawab. Ia membenci fakta bahwa Carlton benar. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia mau mengikuti kencan kedua ini, padahal pria di sebelahnya tidak menunjukkan tanda-tanda ketertarikan sedikit pun.
Mungkin karena Carlton adalah pria yang mirip seperti teka-teki yang sulit ditebak, dan itu membuatnya tertarik untuk terus mencoba.
Mobil memasuki kawasan apartemen, sebuah gedung tinggi dengan desain modern di depan sana terlihat begitu megah. Carlton membawa mereka ke lahan parkir, di sana tidak terlihat siapa pun.
Hanya mobil-mobil mewah yang berjejer tanpa penghuni.
Carlton mematikan mesin dan berbalik menatap Cheries.
"Kita sudah sampai," katanya datar.
Cheries menatapnya dengan alis terangkat."Apa kau akan masuk?"
Carlton menyandarkan tubuhnya ke jok dan mengamati gadis itu.
"Kalau kau mengizinkan?"
Cheries melepaskan sabuk pengaman, dan secara otomatis membuka mulutnya saat Carlton mendekat. Ciuman pria itu tegas, tepat sasaran, tanpa tanggung-tanggung, begitu dalam dan keras. Cheries tidak pernah dicium seperti itu oleh pria mana pun, vang ahli dan sangat mendominasi.