Widuri memilih kabur dari rumah, pergi jauh dari keluarga kakeknya yang tiba tiba menjodohkannya dengan sesosok pria yang bahkan tidak dia kenal.
Akibat perbuatannya itu sang kakek murka, tidak hanya menarik uang sakunya yang fantastis, sang kakek juga memblokir kartu kredit, mobil bahkan kartu kartu sakti penunjang hidup dan modal foya foya yang selama ini Widuri nikmati.
Akankah Widuri menyerah ataukah bersikeras pada pendiriannya yang justru membuatnya semakin terjerumus masalah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaa_Zee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.18
"Sudahlah, jangan banyak alasan lagi Widi. Kalau kau tidak mau melakukannya lebih baik kau pergi dan kabar kematianku nanti yang akan kau dengar!" ancam Handoko dengan suara lirih.
"Kek....," Widuri ikut melirih, lalu menghela nafas panjang.
"Saat aku mati nanti, jangan harap kau bisa datang dan menyentuh mayatku!"
Handoko mengancamnya dengan kata-kata yang mengerikan, tidak hanya Widuri yang terbeliak kaget. Daniel yang berdiri tak jauh pun merasakan yang sama.
"Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Daniel, bawa anak ini keluar. Aku tidak mau melihatnya lagi!" titahnya memalingkan wajah namun tangannya menunjuk Widuri.
Daniel segera melangkah maju dan menggenggam tangan Handoko, dia juga melirik Widuri yang tertunduk lesu tanpa bisa bicara.
"Kakek tidak boleh gegabah, aku akan bicara pada Widi lebih dulu. Dan aku pastikan Widi mau melakukannya," tukas Daniel, hatinya yang lembut tidak tega pada sang kakek dan juga Widuri.
"Tidak perlu. Bawa dia keluar!" Titik bening dipelupuk mata Widuri turun perlahan, dia bangkit saat Daniel menuntun tangannya dan hanya mengikuti dari belakang.
Daniel membawanya keluar dari ruangan, berjalan ke arah kursi yang tidak jauh dari sana.
"Daniel, kenapa kau bicara seperti itu? Kau tahu apa alasan aku menolaknya." ucap Widuri menghentakkan tangannya. Dia enggan duduk, menatap Daniel yang sudah lebih dulu mendaratkan bokongnya.
"Widi, kita tidak bisa melawan keinginan Kakek. Dia punya banyak cara agar kau tidak bisa menolak, aku mohon. Lakukan ini demi kakek, menikahlah dengan Reno sesuai keinginan Kakek,"
Widuri terus menatap Daniel dengan nanar sementara otaknya berfikir dengan keras. Bisa-bisanya Daniel bicara semudah itu tanpa memikirkan perasaannya.
"Kau bahkan belum pernah bertemu dengan Reno." cicit Daniel dengan mendongakan kepala ke arahnya, tangan terulur menggenggam jemari Widuri.
"Duduklah," katanya lagi.
Widuri duduk dengan kepala tertunduk, sementara Daniel menggeser bokong hingga menghadap ke arahnya. Tangan kanan kirinya masih menggenggam jemari sementara yang kanan terulur menghapus jejak air mata di pipi sepupunya itu. "Setidaknya buatlah kakek senang, agar kau tidak mengalami kesulitan seperti sekarang ini. Kau bisa menjalani hidupmu sesuai keinginanmu dan aku akan pastikan Reno juga tidak akan menyulitkanmu. Hmm?"
Widuri menegakkan kepala, kembali menatap dua mata berbinar miliknya, "Daniel. Kau sadar apa yang baru saja kau katakan?"
Daniel mengangguk, jemari Widuri digenggamnya lebih erat. "Kau hanya perlu menikah diatas kertas, dan semua akan kakek kembalikan seperti semula. Kau juga tidak perlu berurusan dengan rentenir lagi!"
Widuri memejamkan kedua matanya saat mengingat kata rentenir yang diucapkan Daniel. Rentenir itu adalah Marcel. Marcel... Itu rentenir... Astaga, celaka, urusan dengan pria itu juga belum selesai.
"Aku harus pergi!" ucap Widuri dengan cepat melepaskan genggaman tangan.
"Widi...?" lirih Daniel menahan pergelangan tangannya karena belum mendapat jawaban.
Widuri menghela nafas seraya menatap kedua manik sendu Daniel. Pria itu memang lemah lembut dari dulu, perasaannya sangat sensitif dan Widuri selalu tidak tega.
"Baiklah, kau atur pertemuan. Aku ingin bertemu dengan Reno lebih dulu!"
Daniel mengangguk, menarik kepala Widuri dan memeluknya erat. "Terima kasih Widi, aku akan pastikan semua akan berjalan dengan baik."
Widuri akhirnya mengangguk kecil, dia tidak punya pilihan selain menerima ide dari Daniel. fikirannya kini terganggu setelah melihat kondisi sang kakek yang tentu saja akan semakin lemah jika ia kembali memberontak.
Setidaknya dia harus mengalah untuk saat ini sampai kakeknya kembali sehat, setelah itu baru ia bisa berfikir lagi. Dan untuk saat ini ide Daniel lah yang terbaik.
"Aku juga akan mengurus rentenir itu, aku sudah menyuruh sekretaris kakek untuk mengurus hutang-hutangmu." kata Daniel kembali.
"Jangan... maksudku tidak perlu, biar aku urus sendiri!" jawabnya cepat, "Itu tidak seperti yang kau bayangkan, sudahlah aku pergi dulu," katanya lagi.
Widuri berlalu pergi, pun dengan Daniel yang bersikeras dengan mengikutinya dari belakang. Pria itu bersikap gentle karena ingin membuktikan ucapannya dan membuat Handoko semakin mempercayai, dia juga ingin memastikan keinginan Handoko terlaksana agar semuanya berjalan baik.
Dari arah lain Marcel terlihat berjalan dengan telefon yang menempel di telinga kanannya, tampaknya kesibukannya bertambah semenjak ia pergi. Hingga ketiganya kembali bertemu ditengah-tengah.
"Ada apalagi ini. Bukankah Widuri sudah mengatakan padamu untuk menunggunya?" sentak Daniel saat baru saja melihat tengah berjalan ke arahnya. "Aku ingin tahu sebanyak apa hutang-hutang Widi padamu sampai kau terus membuntuti seperti seorang penguntit!" katanya lagi.
Rahang Marcel terlihat mengeras, jelas dia tidak terima disebut penguntit, ia datang jauh jauh hanya ingin... Ingin apa astaga, Marcel malu sendiri jadinya. Padahal ia bisa saja menyuruh orang atau siapapun untuk mengurus hal ini.
"Heh ... Urusanku dengan Widi mu itu! Bukan denganmu!" jawab Marcel penuh penekanan.
"Kau salah besar, segala sesuatu yang berkaitan dengan Widi-ku akan menjadi urusanku!" Daniel berkacak pinggang, memperlihatkan otot lengan dan dadanya yang bidang.
Pria itu menatap Marcel, pun dengan Marcel yang tidak ingin kalah hingga tatapan keduanya beradu tajam saling intervensi.
"Marcel sudahlah, Daniel kau juga!" tukas Widuri pada keduanya.
Namun keduanya tidak menggubris, Daniel justru bergerak ke depan Widuri dan menghalanginya dari pandangan Marcel, seolah menantang pria itu tepat dihadapannya.
"Memangnya kau siapa?" Daniel mendorong bahu Marcel.
"Kau yang siapa. Minggir! Jalan ini bukan jalan nenek moyangmu!" jawab Marcel sengit.
"Astaga, Daniel sudahlah. Kau juga, lebih baik kau pergi. Aku akan segera kembali dan mengurus semuanya sampai selesai. Aku tidak akan kabur! Aku janji...." kata Widuri memisahkan keduanya dengan mendorong dada mereka ke arah berlainan.
Terlihat Ferdy berjalan dari kejauhan, ia mengernyit saat melihat keduanya, segera ia mempercepat langkahnya saat melihat kedua pria tengah berargumen sengit dan Widuri berada ditengah tengah.
Wajahnya terlihat panik, seolah dikejar setan pada siang bolong dengan nafas yang hampir tinggal setengahnya.
Ingin ia berteriak kencang, memanggil atasannya yang tengah ribut bersama Daniel dan mencegah sesuatu yang lebih memalukan lagi. Sesuatu yang akan membuat Marcel tercengang.
"Pak?" ucapnya dengan nafas terengah-engah.
Dua iris mata Daniel membola saat Ferdy menghampiri, secarik kertas yang dipegang tangan Ferdy ia rebut. Lalu pria itu kembali melirik Marcel.
"Apa kau benar-benar seorang penguntit?" tanya Daniel mendorong bahu Ferdy dan merebut kertas ditangannya. "Apa ini?"
"Lebih baik kita pergi sebelum semuanya tambah kacau," gumam Ferdy.
Kali ini Ferdy mengambil resiko yang besar, ia harus membawa Marcel keluar dari gedung rumah sakit sebelum pria itu bertindak semakin jauh dan mempermalukan dirinya.
"Ayo Pak!" ajaknya lagi menarik Marcel.
Namun emosi Marcel kembali meluap, ia tidak bisa dicegah dengan mudah.
"Aku akan pergi setelah aku memukulnya!"
cus lah update k. yg banyak