Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yudha dan Naima
Matahari menyelinap melalui celah-celah jendela yang tidak tertutup gorden, menyentuh wajah Yudha yang lembab kebiruan. Yudha mengejap, silau, saat cahaya menerobos pupil matanya. Refleks, ia meletakkan satu lengannya di kedua mata, menghalau cahaya matahari yang datang, berharap bisa menutup realitas yang membelenggunya.
Rasa sakit menyergap tubuhnya, rahang, punggung, dan kaki terasa ngilu akibat kejadian semalam. Setiap gerak tubuhnya seperti terikat rasa sakit yang tak kunjung pergi.
Yudha menghela napas panjang, bisikan lelahnya seakan mengisi ruang di sekitar. Semakin hari, bukan hanya tubuhnya yang kelelahan, tetapi jiwanya juga semakin tertekan. Rasa sakit fisik seolah menjadi pengingat atas luka yang lebih dalam—luka batin yang perlahan menggerogoti dirinya.
Yudha bersiap, membersihkan dirinya di kamar mandi. Baju yang semalam dia kenakan masih melekat di tubuhnya, terasa berat dan kotor, bercampur dengan debu dan bau keringat. Air dingin menyentuh kulitnya, tetapi tidak mampu meredakan rasa lelah dan nyeri yang menguasai tubuhnya.
Ingatannya kembali pada kejadian tadi malam. Wajah-wajah kasar para preman jalanan itu muncul dalam pikirannya, lengkap dengan ejekan dan tawa mereka. Dia tahu, menantang mereka adalah tindakan gila—jumlah mereka jauh lebih banyak. Tapi apa pedulinya? Kekesalan yang mengendap sejak insiden di gerbong kereta kemarin membuat amarahnya meluap tak terkendali. Dia butuh pelepasan, dan mereka kebetulan menjadi sasarannya.
Namun sekarang, rasa puas itu telah sirna, digantikan oleh rasa sakit di sekujur tubuhnya. Rahangnya masih ngilu akibat pukulan, dan kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah hukuman atas keputusannya semalam. Tapi apa itu cukup? batinnya bertanya. Mungkin, tidak ada yang benar-benar bisa menenangkan amarah dan rasa kecewanya saat ini.
Selesai membersihkan diri, Yudha menatap wajahnya di cermin. Memar di sudut bibir dan lebam di bawah matanya menjadi pengingat dari malam yang penuh kekacauan itu. Dia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Menghadap ayah.
Namun, di benaknya, ada satu pikiran yang mengganggu. Bagaimana kalau ayah tahu apa yang sebenarnya terjadi tadi malam?
Yudha melirik ke arah pintu kamar, mendapati seorang gadis dengan rambut panjang terurai berdiri di sana. Ia mengenakan dress selutut yang terlihat santai namun tetap elegan. Tatapannya jenaka, seperti menertawakan situasi yang dialami Yudha.
Yasmin, saudara angkat Yudha, menatapnya dengan seringai kecil yang penuh arti. Gadis itu selalu punya cara untuk membuat situasi terasa lebih rumit dari yang sebenarnya. Ayahnya, seorang anggota dewan yang penuh ambisi, mengadopsi Yudha beberapa tahun lalu—bukan karena alasan kasih sayang, tetapi untuk membangun citra baik di mata masyarakat. Sebuah langkah politik yang penuh perhitungan.
“Gue nggak tahu lo bisa bertindak di luar kendali gitu,” ucap gadis itu, nadanya setengah mengejek.
Yudha mengangkat sebelah alis, tatapannya dingin. “Apa yang lo omongin?”
“Serius?” Gadis itu menyandarkan tubuhnya di ambang pintu, tangannya terlipat. “Kejadian lo di gerbong kereta itu udah menyebar di media sosial. Video Lo sama cewek itu.” Dia tersenyum tipis. “Tunggu aja sampai ayah tahu. Gue jamin, dia bakal murka. Lo merusak imagenya.”
Wajah Yudha mengeras. Amarah dan kecemasan mulai membuncah dalam dirinya. “Video?” gumamnya, nyaris tidak percaya.
“Yup.” Gadis itu mengangguk santai, dengan senyum kecil di sudut bibirnya. “Cewek ini marah karena gagal nikah dengan anak angkat dewan kota. Judul yang cukup menarik, bukan?”
Yudha menatap gadis itu tajam, rasa tidak percaya memenuhi pikirannya. “Apa maksud lo?”
“Berita lo sudah viral, Yud.” Gadis itu melangkah masuk, menyandarkan dirinya di meja kecil di dekat pintu. “Bukan cuma soal keributan di kereta. Orang-orang lebih tertarik sama latar belakang lo. Anak angkat mantan dewan kota, terlihat ‘bermasalah’ di depan publik. Plus, lo ribut sama cewek. Drama yang sempurna untuk media gosip.”
Yudha mengepalkan tangan, napasnya semakin berat. “Siapa yang sebarin?”
Gadis itu mengangkat bahu santai. “Mungkin salah satu penumpang yang iseng ngerekam. Atau mungkin wartawan yang kebetulan ada di sana. Siapa yang tahu? Yang jelas, sekarang semua orang tahu siapa Yudha.”
Tatapan Yudha semakin tajam, amarah perlahan mendidih di dalam dirinya. “Ini semua omong kosong.”
“Ya, tapi sayangnya, omong kosong ini bakal sampai ke telinga ayah,” ujar gadis itu sambil terkekeh kecil. “Dan lo tahu kan, dia nggak suka omong kosong.”
Yudha menghela napas berat, melepaskan tekanan yang mengganjal di dadanya. Dia tahu betul, setiap kali berurusan dengan Naima, dia selalu kehilangan kendali. Gadis itu seperti titik lemah yang selalu berhasil memporak-porandakan ketenangannya, meski Naima sendiri mungkin tidak menyadarinya.
Yudha ingat hari itu dengan jelas, sebuah potongan kenangan yang terus menghantuinya. Seseorang berseragam menghardiknya tanpa ampun, menarik tubuh kecilnya dengan paksa ke arah sebuah pikap tua yang berkarat. Ia mencoba melawan, berontak sekuat tenaga, tapi tangan petugas itu terlalu kuat, terlalu tegas.
Di dalam pikap, anak-anak seusianya sudah duduk berdesakan. Wajah mereka kusut, pakaian lusuh, penuh noda yang sama seperti dirinya. Beberapa dari mereka menatap kosong ke depan, sementara yang lain hanya menunduk dalam diam, seolah pasrah pada nasib.
“Cepat naik!” bentak petugas itu, suara kerasnya memantul di udara siang yang terik.
Yudha terpaksa memanjat ke bak pikap, kakinya gemetar karena lelah dan takut. Saat ia duduk di pojok, punggungnya menempel pada dinding besi yang panas menyengat, ia merasa seperti terjebak di dalam oven. Mobil itu sumpek, bau keringat bercampur debu memenuhi udara sempit di sekitarnya.
Peluh mengalir deras di dahinya, menetes hingga ke leher. Ia mengusapnya dengan punggung tangan, tapi percuma—keringat baru segera menggantikannya. Pandangannya tertuju pada jalanan berdebu di luar. Matahari yang menyala kejam di atas kepala menambah penderitaan yang seolah tiada akhir.
Mobil akhirnya menepi di depan sebuah bangunan besar dengan papan nama bertuliskan "Kantor Polisi". Para bocah jalanan digiring turun satu per satu, seperti sekumpulan tahanan tanpa dosa. Tidak ada penjelasan, tidak ada kata-kata penghiburan. Hanya perintah tegas dan pandangan dingin dari petugas berseragam itu.
Di dalam kantor, Anak jalanan itu diminta berbaris. Satu per satu, mereka dipanggil untuk didata. Mereka mencatat segala sesuatu: nama lengkap, orang tua, tempat tinggal—segala hal yang bahkan tidak ingin Yudha pikirkan saat itu. Prosesnya lambat, melelahkan, dan terasa seperti hukuman yang tak beralasan.
Yudha memperhatikan beberapa anak di sekitarnya. Beberapa dari mereka menunduk, wajah mereka suram. Yudha mendengar samar-samar petugas bertanya kepada salah satu anak, dan dari jawabannya, Yudha tahu bahwa ia tidak memiliki orang tua. Dadanya terasa berat. Dia tahu, bagi mereka, pendataan ini hanya akan memperpanjang penderitaan.
Prosedur ini berlangsung seperti tak ada akhirnya. Keringat Yudha mulai mengering di baju lusuhnya, meninggalkan rasa lengket yang tak nyaman. Setelah semuanya selesai, bocah jalanan itu digiring masuk ke dalam sebuah ruangan sempit yang dijaga jeruji besi. Ruangan itu dingin dan pengap, tapi tak ada pilihan lain.
Mereka duduk di lantai, menunggu, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Beberapa anak dengan orang tua yang dapat dihubungi dipanggil satu per satu. Yudha melihat mereka keluar, dibawa pulang. Wajah mereka menatap beberapa bocah yang masih terjebak di dalam jeruji sejenak, seolah meminta maaf karena meninggalkan mereka di belakang.
Namun, bagi yang tak punya siapa-siapa, termasuk Yudha, penantian ini terasa seperti jurang tanpa dasar. Di luar jeruji, para petugas berbicara dengan nada datar, seperti anak-anak jalanan itu hanyalah angka dalam laporan mereka. Tidak ada yang peduli pada ketakutan yang menggerogoti dada mereka yang berada di dalam jeruji.
“Pak, berapa lama kami di sini?” tanya Yudha dengan nada penuh penasaran, meski dalam hati sebenarnya lebih didominasi rasa takut.
Petugas itu menatap Yudha sekilas, lalu kembali sibuk dengan berkas-berkas di depannya. Setelah beberapa detik, ia menjawab tanpa ekspresi, “Sampai ada seseorang yang membawamu pulang.”
Kata-katanya sederhana, tapi ada beban besar yang tersirat di dalamnya. Yudha menelan ludah, merasa dadanya semakin sesak.
“Kalau... kalau tidak ada yang datang menjemput?” tanya Yudha lagi, suaranya hampir berbisik. Kata-kata itu terasa berat, seperti sesuatu yang tak seharusnya diucapkan.
Petugas itu berhenti menulis, kemudian menatap Yudha. Matanya dingin, seperti tak ingin menyampaikan harapan apa pun. “Kalau tidak ada yang datang, kau akan kami giring ke panti asuhan,” ucapnya, tegas namun tanpa empati. “Itu juga berlaku untuk kalian semua yang ada di sini.”
Kata-kata itu menggantung di udara, dingin dan menusuk seperti bilah pisau. Yudha merasakan tubuhnya menegang, sementara anak-anak lain di sekitarnya mulai saling berbisik. Sebagian tampak ketakutan, yang lain mencoba tetap tenang meski wajah mereka tidak bisa menyembunyikan kegelisahan.
Panti asuhan. Kata itu bergema di pikiran Yudha, membawa bayangan tempat asing dengan orang-orang yang sama sekali tidak dikenal. Yudha tidak tahu seperti apa panti asuhan itu, tapi Yudha tahu satu hal: itu bukan rumah. Itu tidak akan pernah menjadi rumah.
Yudha kembali diam, tidak lagi punya keberanian untuk bertanya. Petugas itu kembali pada pekerjaannya, seolah-olah mereka hanyalah gangguan kecil di antara tumpukan tugasnya.
***
Waktu yang ditentukan berlalu tanpa ada satu pun wajah yang datang menjemput. Yudha dan tujuh orang lainnya hanya bisa menunggu dalam kebisuan yang mencekam, sambil mengamati satu sama lain dengan perasaan yang semakin berat. Mereka tahu, meskipun tidak ada yang mengatakan langsung, masa depan mereka sudah jelas.
Sipir itu, dengan wajah datar seperti biasanya, akhirnya memberi perintah. "Waktunya sudah habis. Ayo, kalian semua."
Dengan langkah terpaksa, mereka digiring keluar dari sel sempit itu. Tidak ada lagi harapan yang tersisa, hanya jalan menuju ketidakpastian yang semakin menanti di depan. Langkah mereka terasa berat, seperti tubuh yang dipaksa untuk berjalan tanpa keinginan.
Mereka dibawa menuju kendaraan yang akan mengantarkan mereka ke panti asuhan, tempat yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Yudha menunduk, tidak tahu harus berpikir apa. Panti asuhan itu terdengar asing, seolah menjadi titik balik dari kehidupan yang telah berjalan begitu keras.
Begitu tiba di panti asuhan, pintu besi terbuka, dan mereka digiring masuk. Yudha merasa seperti baru saja memasuki dunia yang benar-benar baru, sebuah dunia yang tak memiliki ruang untuknya.
Di panti asuhan itu, Yudha hanya diam, mencoba menyesuaikan diri dengan rutinitas baru yang terasa asing dan berat. Semua terasa sulit. Ia kesulitan beradaptasi, merasakan bahwa dunia di sekelilingnya tidak memberi tempat bagi dirinya. Beberapa anak yang sudah lebih lama berada di sana tampak mudah berbaur dengan yang lain, tertawa, bermain, berbicara, seolah tak ada beban. Tapi Yudha, seperti orang asing di dunia ini, tetap terasing.
Dari sudut matanya, Yudha menangkap sosok seorang gadis kecil yang duduk termenung di bawah pohon mangga, jauh dari kerumunan. Ia hanya melihatnya dari kejauhan, gadis itu tampak sibuk menggoreskan ranting kayu ke dalam pasir, seolah tengah menciptakan dunia kecilnya sendiri. Tidak ada tawa, tidak ada permainan. Hanya kesendirian yang tampaknya lebih akrab dengannya.
Yudha merasakan ada sesuatu yang sama dalam diri gadis itu. Seperti dirinya, dia tampaknya sulit berbaur, sulit menemukan tempat di tengah keramaian. Mungkin, hanya mungkin, mereka memiliki kesamaan nasib—terasing, sendirian, tidak tahu harus berbuat apa.
Tanpa berpikir panjang, Yudha berjalan mendekat. Langkahnya pelan, hati-hati, karena dia tidak ingin mengganggu ketenangan gadis itu. Begitu sampai di dekatnya, ia berhenti, mengamati sejenak, dan akhirnya memecah keheningan.
"Hai, namaku Yudha," ucapnya pelan, mencoba membuka percakapan, meskipun ada keraguan yang mengendap di dalam hati.
Gadis itu menatapnya dengan tajam, matanya penuh ketidakpedulian, seolah kehadirannya menjadi gangguan yang tidak diinginkan. Tanpa sepatah kata pun, Naima menunduk dan melanjutkan aktivitasnya—menggoreskan ranting kayu ke dalam pasir, seolah dunia di sekelilingnya tidak ada artinya.
Yudha terdiam, merasa seperti tersisih. Ada ketegangan di udara, seolah gadis itu menutup dirinya rapat-rapat, tidak ingin terhubung dengan siapa pun.
"Boleh aku main sama kamu?" tanya Yudha, suaranya rendah, hampir ragu.
Gadis itu tidak menjawab, hanya terus menggoreskan ranting kayu di pasir, matanya tak pernah beralih dari pekerjaannya. Namun, bagi Yudha, keheningan itu sudah cukup untuk mengartikan sebuah jawaban. Ya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Yudha duduk di sampingnya. Matanya mengikuti gerakan ranting kayu yang perlahan-lahan menciptakan pola tak beraturan di pasir. Gadis itu tak menunjukkan minat, baik pada Yudha maupun pada sesuatu di sekitarnya.
Mereka berdua duduk dalam diam, dalam keheningan yang terasa asing namun tidak mengganggu. Tidak ada yang mencoba memulai percakapan, baik Yudha maupun gadis itu, tidak ada yang merasa perlu mengisi ruang kosong yang tercipta. Mereka seperti dua dunia yang berjarak, namun saling berbagi tempat.
Gadis itulah yang kemudian Yudha kenali bernama Naima.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak