Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak cukup dengan kata-kata
Elvan berdiri mematung di depan klub, menatap kosong ke arah jalan. Hembusan angin malam yang dingin menusuk kulitnya, tetapi jauh lebih tajam rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Wajah Celia yang terluka terus membayangi pikirannya, membuat dadanya terasa sesak.
Langkah kakinya terdengar pelan menyusuri trotoar yang sepi. Kepala Elvan tertunduk, sementara pikirannya terus memutar ulang momen di klub tadi malam. Kata-kata Celia kembali terngiang di telinganya, seolah menuntutnya untuk dihadapi.
"Kalau kamu nggak bisa menghargai aku di depan orang lain, mungkin kita harus mikir ulang soal hubungan ini."
Elvan mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa sesal yang terus menghantuinya. Kenapa dia tidak memperkenalkan Celia sebagai pacarnya tadi? Kenapa dia membiarkan Kira menyentuh lengannya? Hal-hal kecil yang tampak sepele, tetapi kini berubah menjadi jurang lebar di antara mereka.
Di balkon vila, Celia duduk sendirian, menatap laut biru yang tenang. Tapi di dalam hatinya, badai besar masih bergemuruh. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi rasa kecewa terus menghantui.
Lily datang membawa dua cangkir kopi dan duduk di kursi sebelah Celia. Sahabatnya itu selalu ada disaat dia membutuhkan.
“Gimana perasaanmu sekarang?” tanya Lily lembut, meletakkan cangkir kopi di meja.
Celia menghela napas panjang, lalu menyesap kopinya sedikit. “Aku nggak apa-apa, Ly,” jawabnya pendek. Namun, nada suaranya terdengar getir.
Lily mengamati Celia dengan cermat. “Kamu yakin? Aku lihat dari tadi kamu cuma diam aja, padahal biasanya kamu nggak bisa berhenti ngomong.”
Celia tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Aku cuma lagi banyak pikiran."
Tiba-tiba ponsel Celia berdering. Nama Elvan tertera di layar. Celia menatap layar ponselnya, tetapi tidak ada niat untuk mengangkatnya.
“Kamu nggak angkat telepon dari dia?” tanya Lily, nada suaranya hati-hati.
Celia menggeleng pelan. “Aku butuh waktu, Ly. Kalau aku langsung ngomong sekarang, aku takut aku cuma bakal marah-marah dan memperkeruh suasana.”
Lily mengangguk, memahami perasaan sahabatnya. “Aku ngerti. Tapi, Celia, hubungan kalian itu udah jauh. Jangan biarin masalah ini menghancurkan semuanya.”
Celia menoleh ke arah Lily, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu. Aku cuma... aku nggak mau dia anggap aku nggak cukup penting. Kalau dia benar-benar serius, kenapa dia nggak bisa tunjukkan itu?”
Lily meraih tangan Celia dan menggenggamnya erat. “Aku ngerti apa yang kamu rasain. Tapi aku yakin Elvan juga lagi berusaha. Coba kasih dia kesempatan.”
Celia tidak menjawab. Matanya kembali memandang laut, mencari ketenangan yang sulit ia dapatkan. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara langkah kaki dari arah pintu vila. Celia dan Lily menoleh bersamaan. Di sana, berdiri Elvan, membawa sebuket bunga mawar merah dengan wajah penuh penyesalan.
“Celia,” panggil Elvan pelan, suaranya terdengar berat.
Celia hanya menatapnya, tanpa ekspresi. Lily memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan mereka berdua. “Aku tunggu di dalam aja, ya,” ucap Lily singkat sebelum masuk ke vila.
Di balkon, Elvan berjalan mendekat dengan langkah hati-hati. Dia meletakkan buket bunga di meja kecil di depan Celia.
“Aku tahu aku salah,” ucap Elvan, memulai pembicaraan. “Aku nggak punya alasan buat apa yang aku lakukan malam itu. Tapi aku mau kamu tahu, aku benar-benar serius sama kamu.”
Celia tetap diam, matanya fokus pada bunga di atas meja, seolah-olah itu lebih menarik daripada pria yang kini berdiri di depannya.
Elvan melanjutkan, suaranya bergetar. “Aku tahu aku nggak sempurna. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Kamu orang terpenting dalam hidupku, Celia. Aku sadar, aku bodoh udah bikin kamu ngerasa nggak dihargai.”
Celia mengangkat pandangannya perlahan, menatap langsung ke mata Elvan. Tatapannya tidak lagi dingin, tetapi penuh keraguan. “Kalau kamu serius, kenapa kamu nggak bisa menunjukkan itu di depan orang lain? Aku nggak minta banyak, Elvan. Aku cuma mau dihargai.”
Elvan menundukkan kepalanya. “Aku tahu, dan aku minta maaf. Aku janji, aku nggak akan ulangi kesalahan itu lagi. Aku bakal buktiin kalau aku serius sama kamu. Bukan cuma kata-kata, tapi lewat tindakan.”
Celia terdiam, merenungkan kata-kata Elvan. Dia tahu Elvan tulus, tetapi luka yang dia rasakan malam itu belum sepenuhnya sembuh.
“Elvan,” ucap Celia akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut. “Aku butuh waktu. Aku butuh kamu untuk benar-benar menunjukkan kalau kamu serius. Bukan cuma lewat janji atau kata-kata manis.”
Elvan mengangguk, menerima keputusan Celia dengan lapang dada. “Aku akan tunggu. Aku akan buktikan semuanya, Celia. Aku nggak akan biarin kamu kecewa lagi.”
Celia mengalihkan pandangannya ke laut, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Namun, ada sedikit rasa lega yang mulai mengalir di dadanya.
Sementara itu, di kejauhan, Kira menatap pemandangan itu dari jendela mobilnya. Senyumnya menyeringai, seolah-olah dia sudah merencanakan langkah berikutnya untuk merebut Elvan dari Celia.