**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
saat nya
Alya keluar dari kamar Mentari dengan langkah cepat, tapi pikirannya kacau. Dia tahu situasi semakin memanas, dan Arga tidak akan tinggal diam jika bukti semakin banyak. Namun, dia yakin masih ada waktu untuk menyelamatkan diri. Dalam hati, Alya memikirkan cara untuk menyudutkan Mentari agar tidak lagi menjadi ancaman baginya.
Sementara itu, Mentari yang masih terduduk di lantai mencoba menenangkan diri. Dia tahu Alya tidak akan berhenti sampai di sini. Dengan tangan gemetar, Mentari meraih ponselnya dan menghubungi Rian.
"Mas Rian, saya sudah menghadapi Mbak Alya. Dia curiga saya yang melaporkan semuanya ke Pak Arga," kata Mentari dengan suara pelan namun penuh ketegangan.
"Tenang, Mentari," jawab Rian dari seberang. "Kamu sudah melakukan yang terbaik. Kita harus tetap fokus. Kalau Alya semakin menekan, kamu lapor ke saya atau langsung ke Pak Arga."
Mentari mengangguk meskipun Rian tak bisa melihatnya. "Baik, Mas. Saya akan tetap awasi gerak-geriknya."
Di ruang kerjanya, Arga masih duduk diam, memandangi ponselnya dengan wajah dingin. Dia memutar kembali video dan foto yang sudah menjadi bukti tak terbantahkan. Perasaan sakit hati terus menghantui, tapi dia sadar harus mengendalikan emosinya.
Malam semakin larut, dan Alya yang masih di kamar memikirkan langkah berikutnya. Dia mengirim pesan singkat kepada Reza:
"Kita perlu bicara. Besok malam aku akan coba temui kamu."
Reza membalas cepat:
"Kamu yakin aman? Kalau Arga tahu, kita bisa habis."
Alya menggertakkan giginya, lalu mengetik balasan:
"Aku yang akan atur semuanya. Jangan khawatir."
Namun, Alya tidak sadar bahwa Mentari sudah mengambil langkah cerdas. Dia memasang alat perekam kecil di dekat pintu kamar Alya sebelum konfrontasi tadi. Semua percakapan Alya dengan Reza terekam jelas.
Pagi harinya, Mentari langsung memberikan rekaman itu kepada Arga. Saat Arga mendengarkan isi rekaman tersebut, kemarahannya semakin memuncak. Namun, dia tetap memilih untuk tidak meledak.
"Bagus," kata Arga sambil menatap Mentari dengan mata penuh tekad. "Kita biarkan dia berpikir masih punya kendali. Nanti malam, aku akan menangkap basah mereka."
Mentari mengangguk, meski hatinya dipenuhi rasa was-was. Dia tahu malam ini akan menjadi penentuan. Alya tidak akan pernah menyangka bahwa semua rencananya sudah diketahui oleh Arga.
Malam yang awalnya dipenuhi ambisi kini berubah menjadi kehancuran bagi Alya. Dia hanya bisa terduduk, menatap punggung Arga yang menjauh tanpa mempedulikan tangisnya. Di benaknya, satu hal jelas: semua sudah berakhir.
Di luar restoran, Mentari menunggu dengan cemas. Saat melihat Arga keluar, dia mendekat dengan hati-hati. "Pak, apa semuanya berjalan sesuai rencana?" tanyanya pelan.
Arga mengangguk, meskipun wajahnya masih tegang. "Semua selesai. Mulai sekarang, Alya bukan bagian dari hidupku."
Mentari menatap Arga dengan penuh simpati. Meski hatinya lega karena keadilan telah ditegakkan, dia juga merasa sedih melihat betapa hancurnya perasaan Arga.
"Kalau begitu, saya akan kembali ke rumah dulu, Pak," ujar Mentari.
"Tunggu," kata Arga tiba-tiba. Dia menatap Mentari sejenak, lalu melanjutkan, "Terima kasih sudah membantu mengungkap semuanya. Tanpa kamu, mungkin aku masih dibutakan oleh kebohongan."
Mentari tersenyum kecil, menahan air matanya. "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya, Pak."
Arga mengangguk dan berbalik menuju mobilnya. Di dalam hati, dia tahu perjalanan ini belum selesai. Ada banyak hal yang harus dibereskan, baik dalam hidupnya maupun perusahaan. Namun, untuk pertama kalinya, dia merasa langkah ke depan akan lebih ringan tanpa pengkhianatan yang membebaninya.
Sementara itu, Alya berjalan keluar dari restoran dengan langkah berat. Dia tidak punya keberanian untuk pulang, karena tahu tidak akan diterima lagi. Reza yang semula dia andalkan kini menghilang entah ke mana.
Alya melangkah di trotoar dengan tatapan kosong. Dingin malam menusuk kulitnya, tapi rasa sesal di hatinya jauh lebih menyakitkan. Dia menyadari kini tidak ada tempat yang bisa dia tuju. Semua yang dia kejar selama ini—harta, kemewahan, dan pengakuan—lenyap begitu saja.
Di tengah kehampaan itu, pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan: apa yang sebenarnya dia cari? Apa yang membuatnya mengkhianati orang yang begitu mempercayainya? Namun, tidak ada jawaban. Hanya keheningan dan bayangan kesalahan yang terus menghantuinya.
Sementara itu, di dalam mobil, Arga terdiam memandangi jalanan malam. Dia tidak merasakan kemenangan, hanya kelelahan yang mendalam. "Seharusnya aku bisa melihat tanda-tanda ini sejak awal," gumamnya pada diri sendiri. Tapi meski penuh penyesalan, dia tahu bahwa dirinya harus tetap tegar.
Mentari, yang duduk di sebelah Rian di mobil lain, merasa lega sekaligus gelisah. Baginya, ini adalah akhir dari satu babak, tetapi mungkin awal dari yang lain. Dia tahu Arga terluka, dan meski dia hanya seorang karyawan, dia ingin membantu pria itu bangkit kembali.
---
Beberapa hari berlalu. Alya memilih tinggal di sebuah penginapan murah di pinggiran kota. Dia mencoba menghubungi beberapa kenalan untuk mendapatkan bantuan, tetapi tidak ada yang mau membalas. Bahkan Reza, yang dulu tampak begitu dekat dengannya, kini menghilang tanpa jejak.
Di sisi lain, Arga mulai merapikan hidupnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor, berusaha menenggelamkan rasa sakitnya dalam pekerjaan. Namun, tak bisa dipungkiri, kehadiran Mentari sering kali membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Suatu sore, saat Mentari membawakan dokumen untuk ditandatangani, Arga menatapnya dengan pandangan lembut. "Kamu tahu, Mentari, aku dulu tidak pernah percaya pada orang lain sepenuhnya. Tapi kamu... berbeda."
Mentari terkejut mendengar ucapan itu, tetapi dia hanya tersenyum kecil. "Saya hanya melakukan tugas saya, Pak. Tidak lebih dari itu."
Arga menggeleng pelan. "Kamu sudah melakukan lebih dari itu. Terima kasih."
Mentari hanya menunduk, merasa ada kehangatan yang perlahan mengisi ruang dingin di antara mereka.
Di tempat lain, Alya duduk di sudut kamar kecilnya, menatap jendela yang menghadap jalanan sepi. Dia tahu ini adalah hukumannya, tetapi dalam hati kecilnya, dia berharap masih ada kesempatan untuk memulai kembali, meskipun harus dari nol. Namun, satu hal yang pasti, Alya tidak akan pernah bisa kembali ke kehidupan lamanya yang penuh tipu daya.
Kehidupan Alya kini penuh dengan keheningan yang menusuk. Setiap malam di kamar penginapan murahnya, dia termenung, mencoba mencari secercah harapan di tengah kehancuran yang dia ciptakan sendiri. Kenangan akan masa-masa ketika dia menjadi pusat perhatian kini terasa seperti mimpi yang tak lagi bisa disentuh.
Sementara itu, Arga mulai menemukan ritme baru dalam hidupnya. Dia masih merasa perih setiap kali mengingat pengkhianatan Alya, tetapi perlahan, dia mulai menyadari bahwa hidup tidak bisa terus-menerus diisi dengan rasa sakit. Mentari, dengan kesederhanaannya, menjadi kehadiran yang menenangkan.
---
Suatu hari, Mentari menemukan keberanian untuk mengajak Arga berbicara lebih terbuka. "Pak, kalau boleh jujur, saya tahu Bapak masih terluka. Tapi saya yakin Bapak bisa melewati ini," katanya dengan nada lembut.
Arga menatapnya, matanya menunjukkan rasa terima kasih yang tulus. "Kamu benar, Mentari. Luka ini tidak akan sembuh dalam semalam, tapi aku bersyukur ada orang seperti kamu di sekitarku. Kamu membuat semuanya terasa lebih ringan."
Kata-kata itu membuat Mentari tersipu, meskipun dia tahu tak ada maksud lebih di balik ucapan Arga. Namun, ada sesuatu di dalam hatinya yang perlahan tumbuh—perasaan hangat yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
---
Di sisi lain kota, Alya memutuskan untuk mencoba bangkit. Dia melamar pekerjaan di sebuah toko kecil, meskipun gajinya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Setiap kali dia diingatkan pada kehidupannya yang dulu, rasa pahit menyelimuti dirinya. Namun, dia tahu bahwa ini adalah harga yang harus dibayarnya untuk semua kesalahannya.
Suatu sore, Alya mendapat pesan dari nomor tak dikenal. "Aku dengar kamu sedang sulit. Kalau butuh bantuan, aku ada," bunyinya.
Alya mengernyit, mencoba menebak siapa pengirimnya. Ketika dia membalas, "Siapa ini?", pesan berikutnya datang dengan nama yang membuatnya terkejut Reza.
Alya menatap layar ponselnya, hatinya bergejolak antara harapan dan ketakutan. Dia tahu, jika dia memilih jalan ini, dia harus berhati-hati. Namun, entah mengapa, keinginan untuk bertahan membuatnya membalas pesan itu dengan satu kata: "Di mana?"
semangat Thor