"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Roat Meat
Hamzah memasukkan kunci ke dalam lubang pintu. “Ceklek.” Suara itu menggema di lorong sepi, menandakan bahwa ia telah resmi memasuki dunia baru. Begitu pintu terbuka, Hamzah melangkah masuk dengan hati berdebar, “Assalamu’alaikum,” gumamnya seraya merasakan kehangatan yang menyambutnya.
Kamar itu tidak terlalu besar, namun ukurannya jauh lebih mewah dibandingkan kamar sederhana yang ia tinggalkan di Sawah Lor. Hamzah menatap sekeliling, matanya menyusuri setiap sudut ruangan yang baru. Di tengah kamar, sebuah kasur besar terhampar, seolah mengundangnya untuk merebahkan badan setelah perjalanan panjang. Di samping kanan kasur, terdapat almari kecil dengan dua pintu yang tertutup rapat, di atasnya ada lampu tidur yang siap menerangi malam-malamnya.
Di sisi kiri, almari berukuran sedang berdiri kokoh, seakan menyimpan rahasia dan kenangan masa lalu. Hamzah meletakkan barang-barangnya di atas kasur, kemudian kembali mengamati kamar dengan seksama. Dua kursi terletak berdekatan dengan tembok, seolah menunggu kisah untuk diceritakan. Sebuah televisi menempel di dinding, siap menghibur saat kesepian datang menghampiri. AC di atas jendela berfungsi sebagai penghalau udara dingin yang mungkin akan menyelimuti malam-malamnya.
Di sudut ruangan, sebuah meja dan kursi ukuran sedang menambah kesan nyaman. Di bawah meja, alat penghangat ruangan bersiap sedia untuk digunakan saat musim dingin tiba. Rasa penasaran Hamzah semakin membara ketika ia melihat sebuah pintu kecil di dalam kamarnya. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati pintu tersebut.
Hamzah membuka pintu dan menemukan sebuah kamar mandi yang tidak terlalu besar. Bak mandi ukuran dewasa berdiri megah di tengah ruangan, shower dan WC duduk melengkapi fasilitas yang ada. “Wow,” gumamnya kagum, merasakan betapa beruntungnya ia mendapatkan tempat tinggal ini.
Kembali ke ruang utama, Hamzah membuka tasnya yang tergeletak di atas kasur. Ia mengeluarkan ponsel beserta charger-nya. Sebelum menghubungkan ponselnya ke stop kontak, matanya tertuju pada notifikasi chat dari Aan. Dengan semangat, ia membalas pesan itu.
“Alhamdulillah ini mas sudah sampai di Oxford. Dan mas juga sudah mendapatkan tempat tinggal di sini,” tulis Hamzah dengan penuh rasa syukur. Setelah memastikan ponselnya sedang mengisi daya, Hamzah melangkah ke tempat tidur dan merebahkan badan. “Aahh ... alhamdulillah, nikmat sekali bisa rebahan,” ucapnya sambil merasakan setiap otot tubuhnya yang lelah mulai rileks.
Kedua matanya melirik sekitar kamar lagi. “Alhamdulillah bisa dapat kamar sebagus ini. Pasti harga sewanya mahal,” pikirnya seraya tersenyum bangga. Namun senyum itu segera memudar ketika ia teringat akan satu hal penting.
“Harga sewa? Mmm ... Harga se–,” ucap Hamzah terpotong oleh ingatannya yang mendadak muncul, “MasyaAllah ... Aku lupa bertanya tentang harga sewa kamar ini! Pasti mahal harganya! Gimana sih aku?” serunya terkejut sambil menepuk jidatnya.
“Mmm ... berapa ya harga sewanya? Dan ini per minggu atau per bulan aku juga belum tahu. Semoga saja tidak terlalu mahal; bisa-bisa habis tabunganku hanya untuk bayar sewa,” keluhnya dalam hati.
“Mmm ... kuliah dua minggu lagi. Pokoknya nanti sembari kuliah, aku juga harus bekerja,” lanjut Hamzah dengan tekad baru meski rasa cemas masih membayangi pikirannya.
“Tapi ... kerja apa ya? Part-time mungkin? Atau bikin usaha? Tapi usaha apa?” pikirnya lagi, kebingungan mulai menghampiri.
“Ah sudahlah, aku fikirkan nanti saja. Lebih baik sekarang aku tidur; badan terasa pegal semua,” sambung Hamzah sebelum akhirnya terlelap dalam tidurnya.
Sesaat setelah itu, ketenangan menyelimuti kamar tersebut. Di luar sana malam semakin larut, namun bagi Hamzah, malam ini adalah awal dari petualangan baru yang penuh harapan dan tantangan di negeri orang. Dalam mimpinya, ia membayangkan masa depan cerah yang menantinya—sebuah perjalanan yang tak hanya akan mengubah hidupnya tetapi juga memberikan warna baru pada setiap lembaran kisah yang akan ditulisnya kelak.
......................
“Tok ... tok ... tok,” suara ketukan pintu itu menggema dalam keheningan malam yang mulai merayap. Hamzah terbangun dari tidurnya yang nyenyak, matanya masih berat, dan rasa kantuk menggelayuti pikirannya. Ia melirik ke arah jendela, cahaya senja sudah mulai memancar, menandakan waktu yang tak bisa ditunda lagi. “Astaghfirullah ... sudah hampir petang,” ucapnya dengan nada kaget, seolah baru menyadari betapa berharga waktu yang terbuang.
Ketukan itu kembali terdengar, lebih mendesak. “Tok ... tok ... tok.” Suara itu seakan memanggilnya untuk segera bangkit dari tempat tidur. Hamzah mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan rasa kantuk yang masih menyelimuti. Ia melangkah perlahan menuju pintu, sambil berkata, “Iya, sebentar.”
Dengan suara “ceklek,” pintu terbuka, dan di hadapannya berdiri Elizabeth. Wajahnya cerah dengan senyum yang hangat, dan di tangannya tergenggam sebuah kantong plastik yang membuat Hamzah penasaran. “Bangun tidur?” tanya Elizabeth lembut, suaranya menembus kesunyian malam.
“Iya,” jawab Hamzah singkat, merasa sedikit canggung dengan kehadiran Elizabeth yang tiba-tiba.
“Boleh aku masuk?” lanjutnya dengan nada menggoda. Hamzah terkejut mendengar permintaan itu. “Hah? Kamu mau masuk ke dalam?” sahutnya, suaranya sedikit meninggi karena ketidakpastian.
Elizabeth hanya mengangguk, senyumnya tak pudar. “Sebaiknya jangan, aku tidak mau terjadi fitnah di antara kita,” ucap Hamzah tegas, mencoba menjaga jarak meski hatinya bergetar oleh kehadiran Elizabeth.
Elizabeth tertawa kecil, sebuah tawa yang membuat jantung Hamzah berdetak lebih cepat. “Itu tidak akan terjadi di sini. Baiklah, kalau kamu takut, nanti pintu kamar kita biarkan terbuka,” jawabnya dengan nada menggoda.
Hamzah terdiam sejenak, berpikir keras. “Mmm ...” pikirnya dalam hati. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Ririn masih membayangi setiap langkahnya.
“Ayolah...” Elizabeth mendesak lagi, matanya berbinar penuh harapan.
Setelah beberapa saat berjuang dengan pikirannya sendiri, Hamzah akhirnya mengangguk pelan. “Tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan suara pelan namun tegas.
“Apa itu Zah?” tanya Elizabeth penuh rasa ingin tahu.
“Yang pertama, pintu kamar harus terbuka. Kedua, kamu duduknya jangan terlalu dekat. Dan ketiga, jangan terlalu lama di sini,” jelas Hamzah sambil menatap mata Elizabeth dengan serius. Ia ingin memastikan bahwa batasan ini dipatuhi untuk menjaga perasaan semua pihak.
Elizabeth tersenyum lebar. “Mmm ... Oke, deal,” sahutnya enteng, seolah semua syarat itu hanyalah sebuah permainan ringan.
Dalam momen itu, Hamzah merasakan campur aduk antara rasa khawatir dan rasa ingin tahu yang mendalam terhadap Elizabeth. Keduanya berdiri di ambang batas antara persahabatan dan sesuatu yang lebih dalam lagi—sebuah perasaan yang tak bisa ia abaikan meskipun bayangan Ririn selalu menghantuinya.
Dengan langkah ragu namun penuh harapan, mereka memasuki ruang yang sama—sebuah ruang yang mungkin akan mengubah segalanya bagi mereka berdua. Elizabeth melangkah masuk ke dalam kamar yang tampak berantakan. Barang-barang berserakan di mana-mana, menciptakan suasana yang tidak teratur. Dengan nada yang lembut, ia mengamati sekeliling sebelum mengeluarkan suara, “Wah, berantakan sekali Zah. Apa perlu aku bantu?”
Hamzah, yang baru saja terbangun dari tidurnya, terlihat sedikit canggung. “Sebelumnya maaf, jika kamarnya berantakan. Tadi aku belum sempat membereskannya, sampai akhirnya aku tertidur,” jawabnya sambil menggaruk tengkuknya, merasa malu.
“Sudah Elizabeth, terima kasih banyak. Biar nanti aku mengurusnya sendiri,” lanjut Hamzah, berusaha tersenyum meski rasa malunya masih tampak jelas.
Elizabeth memilih untuk duduk di kursi yang terletak di sudut kamar. Hamzah mengikuti langkahnya dan duduk di tepi kasur, memandang temannya dengan penuh rasa ingin tahu. “Ada urusan apa, sampai kamu repot-repot datang ke sini Elizabeth?” tanyanya, mencoba membuka obrolan.
“Aku cuma mau nganterin ini Zah,” jawab Elizabeth sambil mengulurkan sebuah bungkusan kecil yang dibungkus rapi.
“Apa ini?” tanya Hamzah dengan nada penasaran, matanya menyipit melihat isi bungkusan tersebut.
“Itu salah satu makanan khas di sini, Zah. Roast Meat,” jelas Elizabeth dengan semangat, senyumnya merekah saat menyebut nama makanan itu.
“Roast Meat?” Hamzah mengulang dengan antusiasme yang meningkat.
“Iya, Roast Meat,” jawab Elizabeth sambil mengangguk.
“Ini terbuat dari daging ap–,” Hamzah mulai bertanya sebelum kalimatnya terputus oleh Elizabeth.
“Sssttt... tenang saja Zah, itu terbuat dari daging sapi kok. Aku tahu kamu muslim kan,” sahut Elizabeth dengan nada meyakinkan.
“Alhamdulillah kalau begitu, terima kasih banyak ya,” timpal Hamzah dengan lega, senyumnya kembali merekah seolah beban berat telah terangkat dari pundaknya.
“Kamu sendirian?” tanya Hamzah lagi, ingin memastikan keadaan temannya.
“Iya, aku sendirian,” jawab Elizabeth singkat namun jelas.
“Mmm, apakah kamu hanya membawakan ini untukku saja?” tanya Hamzah dengan nada menyelidik, merasakan ketulusan dalam perhatian Elizabeth.
“Iya Zah, aku bawa ini hanya untukmu,” jawab Elizabeth tegas, menatap mata Hamzah dengan penuh perhatian.
“Memangnya kenapa Elizabeth? Aku jadi merasa sungkan kepadamu,” ungkap Hamzah sambil menunduk sedikit, merasa tidak enak hati atas perhatian yang diberikan Elizabeth.
“Ya karena tadi sewaktu di kafe Vaults & Garden, kamu hanya memesan kopi. Dan aku yakin, sampai saat ini kamu belum makan apa pun,” jelas Elizabeth sambil menggelengkan kepala pelan.
“Sudah tenang saja, kamu tidak usah sungkan kepadaku. Lain kali, kalau kamu butuh apa-apa tinggal kabarin aku ya,” tambah Elizabeth dengan nada lembut dan penuh perhatian.
“Oh iya, tadi sebelum kesini, aku sempat memberikan pesan kepadamu. Akan tetapi kamu tidak membalasnya,” kata Hamzah sambil mengingat kembali pesan yang ia kirim sebelumnya.
“Maaf ya, tadi ponsel sedang aku charge. Dan aku pun sedang tidur, jadi aku tidak tahu jika kamu mengirim pesan,” ucap Hamzah menjelaskan dengan nada menyesal.
“Oh, yasudah kalau begitu Zah. Tapi nanti jangan lupa di-save ya nomorku,” timpal Elizabeth sambil tersenyum manis.
“Iya Elizabeth, tentu saja,” sahut Hamzah penuh semangat.
Elizabeth tersenyum lebar. “Baiklah, saya rasa sudah cukup. Jangan lupa dimakan ya Zah dan jangan lupa untuk membereskan ini semua,” ucapnya sambil menunjuk barang-barang berserakan di sekitar mereka.
“Iya Elizabeth, sekali lagi terima kasih banyak,” timpal Hamzah dengan tulus.
Elizabeth kembali tersenyum hangat. “Baiklah... kalau begitu, aku pamit dulu ya Zah,” lanjutnya seraya berdiri dari duduknya.
Ketika langkahnya hampir mencapai pintu keluar kamar, suara Hamzah menghentikan langkahnya. “Tunggu sebentar,” ucapnya dengan nada mendesak namun lembut.
Elizabeth menoleh kembali ke arah Hamzah yang kini terlihat lebih serius. Dalam sekejap mata, suasana santai berubah menjadi momen penuh harapan dan ketegangan yang tak terduga.
......................