Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DEEP TALK?
"Mama bilang apa?" Tanya Barra ketika Btari selesai menelpon mamanya.
Malam ini atas permintaan Btari, Barra ikut menginap di pengungsian. Karena dirinya tidak bisa banyak membantu warga, maka ia berharap Barra akan turut serta membantu warga. Oleh karena itu, disinilah Barra sekarang. Membersamai Btari dan yang lainnya di pengungsian.
Saat ini mereka berdua memilih duduk di luar tenda. Kata Btari, ia ingin menikmati pemandangan di luar.
"Dia nanyain kamu bisa tidur nggak disini? Tadi makan apa? Soalnya beliau bilang kamu rada pemilih kalau soal makanan." Jawab Btari santai. Matanya menatap Barra yang memasang wajah masam.
"Bercanda, Bar." Kata Btari tertawa pelan. "Beliau bilang beliau terharu karena kamu mau bantu orang disini." Ucapnya jujur.
Tawa Btari membuat Barra menatapnya dengan seksama. Gadis ini punya jiwa sosial yang tinggi. Hal itu baru diketahui Barra saat mereka sudah lulus SMA. Seingat Barra, ketika di sekolah Btari hanyalah siswa yang ambisi untuk jadi nomor satu di angkatannya. Ia jarang bicara dan jarang terlihat saat ada pentas seni atau perayaan di sekolah.
"Kamu kesini, Nadea tahu, Bar?" Tanya Btari.
Lelaki itu menggeleng. Bisa dilarang Nadea kalau Barra harus bicara dulu dengan kekasihnya itu.
"Dia nggak bakalan ngizinin kalau aku kesini. Bisa marah dia. Diakan suka khawatir gitu."
Btari diam sejenak. Lalu gadis itu tersenyum tipis. "Lucu, ya. Kamu harus minta izin kekasihmu dulu untuk bertemu istrimu, tapi tidak mempertimbangkan izin istrimu untuk bertemu kekasihmu." Ujar gadis itu. Tidak bermaksud menghakimi namun terdengar begitu sakit di dengar.
"Kamu marah?" Tanya Barra hati-hati.
Matanya menatap Btari. Bersamaan dengan itu, Btari juga menatapnya. Keduanya saling tatap sejenak.
"Kamu lihat aku marah nggak?" Tanya Btari. Nada bicaranya masih setenang tadi.
"Nggak. Bahkan wajahmu masih datar seperti biasa." Jawab Barra jujur.
"Kita berdua sama-sama tahu, Bar, jenis hubungan apa yang saat ini kita jalani. Kita juga sudah sama-sama sepakat tidak saling ikut campur urusan masing-masing. Jadi nggak ada alasan untukku marah ketika kamu lebih sering bersama Nadea." Ujar Btari. "Hanya saja terkadang sikap cemasmu yang berlebihan membuatku bingung. Kamu memang sekhawatir itu atau hanya pura-pura khawatir?"
Suara tenang itu membuat Barra tersentak. Mengapa sekarang ia terdengar seperti suami yang zhalim?
"Aku terdengar jahat banget, ya, sama kamu." Kata Barra pelan.
Btari tersenyum kecil. Ia tidak pernah mengatakan hal seperti itu tentang Barra.
"Nggak, Bar. Aku bahkan tidak menyangka kamu ternyata sebaik ini. Aku bilang begitu bukan karena kamu jahat. Aku hanya tidak ingin karena sikap kamu yang terlalu baik, aku jadi salah paham."
Barra mengernyit heran. Jika ia baik, mengapa Btari harus takut?
"Aku takut salah mengartikan kebaikan kamu, Bar." Ucapnya pelan.
"Kamu takut jatuh cinta sama aku, Bi?" Tanya Barra kaget. Ini diluar perkiraannya. Tiba-tiba terbersit kejahilan Barra.
Wajah Btari tidak seramah tadi. Ia menatap Barra dengan jengkel sekaligus malu. "Nggak gitu konsepnya, Barra. Kalau jatuh cinta sih susah. Kalau kagum sama kebaikanmu sih mungkin. Apalagi keluargamu juga baik. Kalau nggak ingat sama kamu yang pacaran sama istri orang mungkin aku bakalan mikir, kok ini orang sempurna banget sih hidupnya." Ujar Btari tanpa menatap Barra.
Tatapannya lurus ke depan. Seolah memperhatikan sibuknya para relawan menghibur anak-anak di pengungsian.
"Aku pacaran sama dia karena Mama nggak ngasih restu, Bi. Nggak tau apa alasannya." Kata Barra pelan.
Btari menatap Barra. Antara kasihan dan sedih. "Kata orang, orang tua apalagi ibu itu punya insting sendiri untuk kebaikan anaknya. Aku nggak tau sih itu seperti apa karena aku belum jadi orang tua. Namun satu hal yang aku yakini, seorang ibu tidak akan mengabaikan kebahagiaan dan kebaikan untuk anaknya." Ucap Btari.
Barra diam. Ia mencoba menerima itu. Makanya ia tidak menikahi Nadea sebelum keluarganya merestui. Namun karena itulah, ia menjadi nekat tetap menjalin hubungan dengan Nadea.
"Nadea itu kerap dikasari suaminya, Bi. Hal itulah yang membuatku tetap ingin bersamanya dan melindunginya."
"Walaupun dengan cara seperti ini?"
Barra tersenyum miris. "Mungkin jalannya memang seperti ini dulu."
"Cinta boleh, bodoh jangan." Kata Btari sarkas. "Jalan yang kamu tempuh bahkan hampir mengancam karir kamu. Kamu rela mengorbankan semua yang kamu punya untuk cintamu itu?"
"Tentu."
"Lantas, apa pacarmu juga akan melakukan pengorbanan sebesar pengorbanan yang kamu lakukan untuknya?"
Barra terdiam. Pertanyaan Btari mengusik hati dan pikirannya. Lama ia terdiam.
"Jangan bengong. Aku masuk dulu." Btari berusaha bangkit dengan tongkatnya. Namun tetap sulit. Barra dengan sigap membantu gadis itu.
"Kalau perlu bantuan bicara, Bi. Nggak usah semandiri itu." Tegur Barra sambil membantu Btari berdiri.
Btari tersenyum kecil. "Kamunya aja galau gitu. Takutnya nggak punya tenaga buat bantuin aku." Ucapnya lalu berjalan pelan masuk tenda.
Setelah Btari pergi, Barra duduk kembali. Pertanyaan Btari benar-benar mengusiknya. Apa Nadea bisa melepas karirnya sebagai model untuk hidup bersama dengan Barra?
Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari Nadea.
'Maaf aku baru sempat balas ya, Bar. Hari ini aku ada pemotretan untuk brand besar. Oh iya, tampaknya aku nggak bisa makan malam sama kamu di hari jadian kita. Aku harus pergi ke Paris lagi. Love you, Bar'
Senyum tipis muncul di bibir Barra. Tak perlu waktu lama ternyata jawaban atas pertanyaan Btari sudah mendapatkan jawaban.
"Maaf, Nad. Maaf kalau aku tampak mulai ragu dengan hubungan kita." Ucapnya pelan.
"Ternyata Mbak Fotografer itu sudah punya suami. Saya kiranya bakalan sama Pak Dokter. Mana suaminya juga nggak kalah ganteng dari Pak Dokter."
Barra menoleh ke sumber suara. Ternyata dua orang relawan muda sedang duduk santai tidak jauh dari tempatnya duduk. Suasana di luar tenda pengungsian yang minim lampu membuat mereka tidak bisa mengenali Barra.
Barra baru saja pergi, namun ia mendengar nama Btari disebut-sebut. Tadinya ia kira Mbak Fotografer yang dimaksud adalah rekan Btari. Ia akhirnya mengurungkan niatnya dan kembali duduk sambil mendengarkan gosip yang mungkin terlewatkan olehnya hari ini.
"Kalau jadi Mbak Btari, kamu pilih siapa?" Tanya gadis yang satunya.
Gadis berhijab hitam tampak berpikir sebentar. "Hmmh aku lebih Dokter Raka sih. Dia ramah sama ganteng. Mana suka masak dan suka sama anak-anak lagi. Pokoknya tipikal suami dan ayah yang baik." Jawabnya kemudian. "Kalau kamu?"
Barra penasaran. Ia tidak menyangka menguping pembicaraan ternyata seseru ini. Tapi kali ini ialah yang yang menjadi salah satu objek pembicaraan.
"Suaminya Mbak Btari. Dia keren tau. Jauh-jauh dari Jakarta kesini hanya untuk memastikan Mbak Btari baik-baik aja. Jarang loh suami kayak gitu."
Senyum bangga Barra terbit. Ah, bisa-bisanya ia dibandingkan dengan dokter itu. Pikiran Barra teringat dengan reaksi pertama yang ia tangkap dari wajah Raka ketika dirinya memperkenalkan diri sebagai suami Btari tadi.
Ternyata dokter muda itu menyukai istrinya. Pantas saja ia begitu perhatian dan lembut pada Btari.
"Eh, tapi denger-denger Mbak Btari kemarin makan berdua sama Dokter Raka. Mana ia menemani Dokter Raka mengajar lagi. Lagian pesona Dokter Raka kan kayak anak baik gitu. Bisa aja kan, Mbak Btari juga nyaman sama Dokter Raka."
"Iya aku juga denger itu. Mana Dokter Raka juga perhatian banget sama Mbak Btari. Kalau aku jadi Mbak Btari juga bisa aja goyah sih."
Barra menahan kesal. Ternyata terlalu asyik bersama Raka membuat Btari lama mengangkat teleponnya kemarin.
Tiba-tiba suasana malam menjadi panas bagi Barra.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri