Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07
Beberapa hari kemudian di rumah Bu Rahayu, ibu mertua Inna.
Kurang dua hari dari hari H acara selamatan seribu hari Pak Sodik, ayah mertua Inna. Sejak pagi anak dan menantu Bu Rahayu sudah berkumpul. Itu adalah hal yang biasa terjadi jika di rumah itu akan ada acara.
“Inna mana sih Bu? Ini sudah jam sembilan loh dan dia belum datang juga?” tanya Yuli salah satu menantu bu Rahayu dengan gusar.
Sejak tadi istri dari Anton, adik Ranu itu sudah mondar mandir dengan wajah tertekuk.
“Ibu juga gak tahu. Padahal ibu sudah bilang sama dia untuk datang sejak pagi. Ehh, malah hampir tengah hari gini dia belum nongol juga.” Dengan kesal Bu Rahayu membanting sapu di tangannya.
“Terus ini sekarang kita mau sarapan apa? Tadi di pasar belanja kenapa nggak sekalian beli makanan, sekarang di rumah mau makan nggak ada apa-apa,” gerutu Yuli. Wanita cuman dua anak itu benar-benar kesal. Pasalnya dia sudah dipaksa untuk ikut patungan uang belanja, disuruh capek-capek ke pasar juga, menemani Ibu mertuanya berbelanja. Dan sekarang perut lapar dia tidak bisa makan.
“Ya mana Ibu tahu kalau Inna sampai jam segini belum datang. Maksud ibu tadi daripada beli masakan matang yang harganya mahal, kan mending kalau Inna yang masak kita cuma beli bahannya saja. Itu kan lebih irit,” sahut Bu Rahayu.
“Iya, nih Bu. Pakaianku yang kotor juga belum dicuci. Tadi kan niatnya karena Ina mau ke sini biar dia saja yang cuci,” Ratna ikut menimpali.
“Ya sudahlah sekarang ibu aja yang masak. Lapar aku Bu, sampai jam segini belum sarapan.” Anton adik dari Ranu ikut pula menyahut.
“Kelamaan Mas kalau nunggu Ibu selesai masak. Ibu kalau masak kan lama. Lebih baik Mas Anton beli makanan saja di warung. Kita patungan ya tapi aku nggak mau kalau harus keluar uang sendiri. Ya mau nitip beli nasi bungkus sini uangnya.” Yuli istri Anton menengadahkan tangannya ke arah ibu mertua dan saudara iparnya.
“Mbak Yuli pelit amat sih, sekali-sekali traktir saudara kenapa. Katanya PNS, gaji gede. Beliin nasi bungkus aja sayang sama uang.” Ratna menggerutu tetapi tak urung dia mengambil juga uang dari dompetnya karena melihat kakak iparnya sudah melotot matanya.
“Kita beli untuk kita sendiri saja. Gak usah beli untuk Ina dan anaknya. Nanti kalau dia lapar biar masak sendiri.” Bu Rahayu menyerahkan selembar uang puluhan ribu kepada Anton.
“Lagu klasik..” gumam Sandy. Suami dari Ratna yang juga berada di sana menggelengkan kepala. Pria itu bersikap masa bodoh, dan lebih memilih fokus dengan ponsel yang ada di tangannya. Enggan ikut nimbrung dengan pembicaraan mereka.
“Oke, urusan makanan beres untuk saat ini, lalu bagaimana dengan urusan bersih-bersih ini?” Tanya Yuli setelah suaminya pergi untuk membeli makanan.
Bu Rahayu mendengus kesal mendengar pertanyaan itu. Dalam hati dia memaki menantunya yang tak kunjung datang. “Menantu kurang ajar itu semakin menjadi-jadi saja kelakuannya,” geramnya.
“Ibu telepon dia dong Bu, suruh dia untuk cepat datang. Ini ikan-ikan sama daging juga belum dibersihkan. Kalau kelamaan nanti bisa busuk. Bumbu-bumbu juga belum dibuat, rempeyek belum digoreng.” Yuli mengabsen semua yang biasanya menjadi pekerjaan Inna.
Dengan kesal Bu Rahayu mengambil ponselnya yang tadi diletakkan di atas bufet. Mengaktifkan data kemudian masuk ke aplikasi perpesanan berwarna hijau. Akan tetapi sedetik kemudian…
“Kalian saja yang telepon, Ibu tidak punya nomor kontak dia.” Bu Rahayu menghempaskan bobot tubuhnya di atas salah satu kursi. Tubuh tuanya merasa lelah. Sejak tadi dia hanya mondar-mandir sendirian menyapu dan membersihkan sarang laba-laba yang berada di plafon, menggunakan sapu ijuk yang diberi galah panjang.
Berharap salah satu dari anak-anak dan menantunya, mengambil alih apa yang sedang dipegangnya kemudian melanjutkan pekerjaan. Tapi apa, mereka malah hanya sibuk dengan ponsel masing-masing.
Ahh, seandainya saja ada Inna di sini, tentu dia tidak akan kelelahan seperti ini. Menantunya yang miskin itu gampang sekali dimanfaatkan. Dia tinggal mengeluh kalau pinggangnya sakit saja, dan pekerjaan akan beres dengan sendirinya.
Huhhh, tapi itu dulu. Sekitar sebulan yang lalu masih seperti itu. Tapi sekarang menantunya itu sudah berubah jadi belagu dan kurang ajar.
“Ibu aja gak punya nomor dia, apa lagi aku.” Yuli menyahut dengan judasnya. “Ratna aja. Mungkin dia punya nomornya si Udik.” Yuli memilih kembali bermain ponsel.
“Kenapa malah aku? Untuk apa aku nyimpen nomor Si Udik. Gak penting banget sih.” Ratna mencebik dan mendengus kesal.
“Kalian ini bagaimana sih, bisa-bisanya tak ada satupun yang punya nomor Inna?” Anton yang baru saja datang dari membeli nasi bungkus di warung tetangga dan mendengar percakapan mereka jadi merasa geram.
“Nyalahin kita aja, emangnya mas Anton punya, nomornya Ina?” Hilang rasa hormat di hati mereka, memanggil Ina hanya nama saja. Padahal Ina adalah ipar tertua, istri dari kakak tertua mereka.
“Ya kalau aku kan laki-laki, mau ngapain nyimpen nomor Ina?” Bantah Anton.
Mendengus kesal. Merasa menyesal karena di saat genting seperti itu, justru tak ada satu pun dari mereka yang memiliki nomor Inna.
Padahal seingat mereka Ina memiliki nomor mereka, Inna pernah menghubungi mereka. Tapi mereka enggan menyimpan. Dan malah memblokir nomor Ina karena saat itu Ina menghubungi mereka untuk meminjam uang saat Andri sedang berada di rumah sakit karena terkena demam berdarah.
“Dasar keluarga durjana.” Sandy yang juga masih setia dengan ponselnya lagi-lagi hanya bergumam dalam hati. Keluar sebentar dari room chat yang sejak tadi dia ketak-ketik sambil tersenyum sendirian tanpa ada yang menyadari.
Membuka aplikasi kontak, ada nama ‘Kak Ina’ di sana. “Biarkan saja mereka kelimpungan.” Sandy tersenyum miring, lalu keluar dari aplikasi kontak. Dia tak akan menghubungi Kakak iparnya. Juga tak kan memberikan kontak Ina pada keluarga istrinya.
Masa bodoh. Daripada ikut pusing dengan urusan keluarga itu, lebih baik kembali berbalas pesan dengan seseorang di aplikasi hijau. Itu lebih membuatnya senang, terbukti dari senyum yang tak lepas dari bibirnya.
“Kamu ngapain sih, Mas? Dari tadi senyam-senyum gak jelas gitu?” Ratna bertanya sambil mengulurkan sebungkus nasi padanya.
“Oh, ini loh, Yang. Ada video lucu di tok-tok.” Sandy buru-buru keluar dari aplikasi chatting.
Lalu mematikan layar ponselnya.
“Ambilin sendok, juga dong, Yank! Masa aku makan pakai tangan?” ucapnya sambil menerima nasi bungkus dari tangan istrinya. Mengalihkan perhatian sang istri dari ponsel yang baru saja dia matikan.
“Bagaimana kalau kita jemput saja itu Si Udik?” Yuli berbicara di sela-sela kunyahannya.
Serentak semua yang ada di sama menoleh kepadanya.
“Jemput dia? Dibonceng dengan sepeda motor gitu maksudnya? Siapa yang mau jemput dia? Kalau aku ogah ya?” Sahut Ratna.
“Jangan melihat ke arahku. Aku tidak mau. Dia itu bau matahari. Aku nggak suka.” Gantian Yuli yang menyahut.
“Jangan bilang aku yang harus jemput dia ya, Yank, Emangnya kamu nggak takut kalau dia nanti di jalan godain aku?”
Ratna mendelik mendengar ucapan suaminya, tetapi dia membenarkan ucapan laki-laki itu. Bisa saja nanti Ina berniat balas dendam padanya dengan menggoda suaminya.
***
“Yuli, lihat!” Ratna yang baru saja turun dari sepeda motor mengarahkan telunjuknya ke pintu rumah Inna.
Pada akhirnya terpaksa Ratna dan Yuli yang pergi ke rumah Inna dengan sepeda motor masing-masing. Rencananya Yuli yang akan membonceng Inna dan Ratna yang akan membonceng Andri.
Akan tetapi saat mereka tiba di depan rumah Inna…
Yuli dan Ratna saling pandang dengan satu pertanyaan yang sama.
“Terkunci..?”
penasaran sama cerita nya.... ☺