Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦱꦼꦥꦸꦭꦸꦃ
Sultan Agung memanggil para pejabat tinggi dan panglima perang kerajaan untuk merencanakan langkah yang akan diambil. Di ruang balai istana yang luas, dengan sinar matahari pagi yang menembus jendela-jendela kayu yang besar, Sultan Agung berdiri tegap di hadapan para pemimpin, matanya yang tajam menatap jauh ke depan.
"Pasukan Belanda sudah berada di wilayah kita, mereka mulai mencengkeram pelabuhan-pelabuhan yang selama ini menjadi jantung perekonomian kita. Kita tidak akan membiarkan mereka menguasai tanah ini! Mereka datang dengan senjata, kita akan bertemu mereka dengan keberanian dan semangat juang!" ujar Sultan Agung dengan suara lantang.
Di sisi ruangan, seorang panglima perang yang berpengalaman, Raden Mas Jolang, mengangguk serius. "Bertempur melawan Belanda bukan perkara mudah, Sultan. Mereka memiliki persenjataan yang lebih maju, armada yang kuat, serta taktik perang yang licik. Namun, kami siap dengan pasukan yang terlatih dan tak kalah tangguh. Kita akan melawan mereka sampai titik darah penghabisan."
"Saya percaya kalian, para prajuritku. Namun, kita harus pintar. Tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, kita harus menyerang dengan cara yang tak terduga, kita harus mengguncang mereka dari dalam," jawab Sultan Agung sambil menatap langit yang mulai cerah.
Malam itu, di benteng Mataram yang kokoh, persiapan dimulai. Pasukan Mataram, yang terdiri dari ribuan prajurit yang terlatih, berkumpul untuk mendengar arahan lebih lanjut. Sultan Agung berdiri di depan mereka, mengenakan pakaian kebesaran dengan tameng di tangan, siap memimpin langsung pertempuran.
"Saudaraku, kita berjuang bukan hanya untuk kerajaan ini, tapi untuk anak cucu kita. Jangan biarkan tanah ini dijajah, jangan biarkan Belanda merusak kehormatan kita! Kita akan bergerak malam ini, menyerang mereka di pelabuhan mereka sebelum mereka sempat bersiap!"
Dengan kata-kata itu, para prajurit Mataram bersorak, semangat mereka membara. Mereka sudah menyiapkan diri dengan baik, membawa senjata tradisional seperti keris, tombak, dan pedang, serta perahu untuk melakukan serangan mendalam ke wilayah yang diduduki Belanda.
Pada malam yang gelap, pasukan Mataram mulai bergerak dengan hati-hati. Mereka menembus hutan-hutan yang lebat, berusaha agar kedatangan mereka tidak terdeteksi oleh pasukan Belanda yang berpatroli. Suara gemerisik dedaunan dan langkah kaki yang teredam oleh pasir adalah satu-satunya hal yang bisa terdengar.
Ketika akhirnya mereka tiba di pelabuhan yang dikuasai Belanda, mereka disambut oleh gerakan pasukan yang sedang beristirahat, tidak menyangka serangan besar akan datang malam itu. Sultan Agung memberi isyarat, dan pertempuran pun dimulai. Suara teriakan, dentingan pedang yang saling bertubrukan, dan suara tembakan senapan Belanda mulai mengisi udara.
"Kalian tidak akan bisa mengalahkan kami," ujar seorang perwira Belanda yang tampaknya sedang memimpin pasukan mundur menghampiri pemimpin Mataram.
Dalam pertempuran itu, banyak prajurit Mataram yang berjuang dengan keberanian luar biasa, tidak gentar menghadapi senjata api Belanda yang mematikan. Mereka tahu bahwa tanah ini adalah warisan nenek moyang yang harus dipertahankan dengan darah mereka.
Seorang prajurit muda, Jaya, yang baru saja bergabung dengan pasukan, bertarung dengan semangat luar biasa. Dengan tombak di tangan, ia berhasil menjatuhkan beberapa tentara Belanda yang mencoba menyerang dari sisi samping. "Ini untuk tanah air! Untuk Mataram!" serunya dengan penuh semangat, meski tubuhnya sudah lelah.
Di balik pertempuran, Sultan Agung terus berusaha mengatur gerakan pasukannya. Ia menginstruksikan beberapa unit untuk menyerang dari sisi lain pelabuhan, mengejutkan pasukan Belanda yang tak siap menerima serangan besar-besaran dari berbagai arah. Dalam waktu singkat, pasukan Mataram mulai menguasai pelabuhan dan mengusir Belanda mundur.
Namun, pertempuran belum berakhir. Belanda, yang memiliki kekuatan laut yang lebih besar, segera mengerahkan armada mereka untuk menyerang. Mereka menembakkan meriam ke arah pasukan Mataram yang berada di pelabuhan, dan ledakan terdengar keras di udara.
Sultan Agung tidak mundur. Dengan strategi yang lebih cerdik, ia memerintahkan pasukannya untuk membakar beberapa perahu mereka, menahan serangan artileri Belanda, dan memanfaatkan medan yang menguntungkan.
"Jangan beri mereka kesempatan! Hancurkan armada mereka!" perintah Sultan Agung dengan suara tegas. Dalam beberapa jam, pasukan Mataram berhasil merusak sebagian besar armada Belanda, membuat mereka mundur dengan kekalahan besar.
Dengan pasukan Belanda yang kini terdesak, Sultan Agung berdiri di tepi pelabuhan, tatapannya penuh kemenangan. "Ini adalah kemenangan bagi tanah kita, bagi masa depan bangsa ini!" katanya dengan suara yang lantang.
Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan besar bagi Mataram, tetapi Sultan Agung tahu bahwa Belanda tidak akan berhenti begitu saja. Meski pasukan mereka terkejut, masih ada ancaman yang harus dihadapi di masa depan. Namun, kemenangan ini memberi harapan dan menunjukkan bahwa Mataram tidak akan pernah tunduk pada penjajahan.
***
Di dalam sebuah ruang besar yang dihiasi dengan karpet merah dan lukisan-lukisan tua, Jenderal William berdiri gelisah. Sebuah peta besar yang terbentang di meja di depannya memperlihatkan wilayah Nusantara yang penuh dengan titik-titik merah, menandakan pelabuhan yang telah mereka kuasai. Namun, wajahnya yang tampak muram, dan keringat yang perlahan menetes di pelipisnya, mencerminkan kegelisahan yang tak terungkapkan. Sudah berhari-hari ia tidak bisa tidur dengan tenang.
"Huufft!" William menghela napas panjang, menepuk-nepuk keningnya yang berkerut, matanya tak lepas dari peta yang ada di hadapannya. "Bagaimana bisa kita kalah? Kita memiliki armada yang lebih besar, lebih kuat... Namun Mataram... Mataram, kerajaan kecil itu... mereka berhasil menggagalkan serangan kita."
Jenderal Jhock, pamannya yang juga seorang perwira tinggi Belanda, duduk di kursi di sudut ruangan, memandang dengan seksama. Dia menatap William yang masih mondar-mandir, gelisah, lalu berdiri dan mendekat. "Wil, apa yang terjadi? Kau tampaknya sangat cemas. Dari tadi kau terus saja mondar-mandir tanpa henti. Apa yang kau pikirkan?" tanyanya, suaranya datar, berusaha menenangkan.
William berbalik dengan cepat, wajahnya penuh kekhawatiran. "Bagaimana tidak, Paman? Kabar buruk datang tanpa henti. Pasukan kita yang dikirim untuk menaklukkan Nusantara... mereka telah dikalahkan oleh Mataram. Pasukan mereka, meski jumlahnya lebih sedikit, mampu memukul mundur armada kita. Tidak hanya itu, kita kini kehilangan jalur perdagangan utama."
Jenderal Jhock mengerutkan keningnya. "Itu mustahil... Mataram? Sebuah kerajaan yang tidak lebih dari sekelompok orang yang hanya memiliki keris dan pedang, dan kita... kita memiliki senapan dan meriam. Apa yang bisa mereka lakukan?"
William berjalan ke jendela dan memandang keluar, seolah-olah mencari jawaban di luar sana. "Mereka menggunakan taktik yang sangat cerdik, Paman. Mereka memanfaatkan medan, bersembunyi di balik pepohonan, menyerang kami dari segala arah. Mereka bahkan merusak sebagian besar armada kita, menghancurkan kapal-kapal yang kita banggakan," jawab William dengan suara serak.
"Sungguh kekalahan yang memalukan." Jhock menggigit bibir bawahnya, berusaha keras untuk tetap tenang, meskipun di dalam hatinya ia merasakan kegelisahan yang sama.
"Yang lebih buruk lagi," lanjut William dengan wajah serius, "Mataram tidak hanya mengusir kita, mereka juga mengancam untuk menyerang kembali jika kita mencoba mendekati wilayah mereka. Kami tidak dapat mempertahankan posisi di sana jika mereka terus-menerus menyerang seperti ini. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana."
"Jadi, apakah kita akan mundur? Meninggalkan Nusantara dan pulang ke Amsterdam?" tanya Jhock dengan nada skeptis.
William berbalik menatap pamannya dengan tatapan tajam. "Aku tidak bisa, Paman. Jika aku mundur dari sana, kami tidak hanya kehilangan Nusantara. Kami juga akan memberi Spanyol kesempatan untuk memperkuat posisinya di seluruh Asia. Kita akan kehilangan lebih dari sekadar tanah; kita akan kehilangan pengaruh kita di dunia."
Jhock berjalan mendekat, menghela napas. "Tapi jika kita tetap di sana, dan semakin banyak pasukan kita yang jatuh, kita justru bisa terjebak dalam pertempuran yang tak berujung. Pasukan kita sudah kelelahan, armada kita sudah terpecah, dan Spanyol—"
"Aku tahu! Aku tahu!" William memotong. "Tapi kita tidak bisa menunjukkan kelemahan sekarang. Belanda harus tetap kuat. Jika kita mundur, itu akan menjadi pertanda bahwa kita tak mampu melawan kerajaan kecil seperti Mataram. Kita akan menjadi bahan tertawaan seluruh Eropa."
Jhock menatap ke arah jendela yang terbuka, memperhatikan angin yang berhembus lembut. "Mungkin ada jalan lain, Wil. Tidak selalu kita harus bertempur hingga habis-habisan. Jika kita bisa mencari sekutu, atau bernegosiasi dengan mereka..." usul Jhock dengan hati-hati.
William diam sejenak, berpikir keras. "Sekutu? Dengan siapa kita bisa bersekutu? Para sultan di Nusantara sudah beraliansi dengan Mataram. Tidak ada yang tersisa untuk kita."
"Kalau begitu, mungkin inilah waktunya untuk melakukan sesuatu yang tidak terduga. Berbicara dengan mereka, mencoba mencari titik temu," kata Jhock dengan tenang, berusaha menunjukkan bahwa ada jalan keluar selain peperangan.
William meremas tangan, bingung. "Aku takut jika kita tidak bisa mengendalikan keadaan lagi, Paman. Aku tidak bisa mengabaikan kehormatan Belanda."
Mata William yang penuh tekad menatap ke arah peta besar yang terbentang, seolah-olah dia sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar garis-garis negara. Ia tahu keputusan yang diambilnya kali ini akan menentukan nasib negara mereka, bahkan nasib seluruh kekuatan kolonial yang mereka bangun.
"Sekali lagi, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan, Paman. Tapi kita tidak bisa tetap diam. Jika kita mundur, itu akan lebih buruk bagi kita," ujarnya, suara penuh beban, penuh ketegasan.
Jhock menatap William dengan pandangan yang tajam. "Jadi kita akan terus berjuang? Tanpa ragu?"
"Ya," jawab William, menegaskan, "kita akan berjuang, Paman. Tapi kita harus lebih pintar. Kita akan mencari cara baru untuk memukul mundur Mataram. Dan kita tidak akan membiarkan mereka menertawakan Belanda."