Wanita, seorang insan yang diciptakan dari tulang rusuk adamnya. Bisakah seorang wanita hidup tanpa pemilik rusuknya? Bisakah seorang wanita memilih untuk berdiri sendiri tanpa melengkapi pemilik rusuknya? Ini adalah cerita yang mengisahkan tentang seorang wanita yang memperjuangkan kariernya dan kehidupan cintanya. Ashfa Zaina Azmi, yang biasa dipanggil Azmi meniti kariernya dari seorang tukang fotokopi hingga ia bisa berdiri sejajar dengan laki-laki yang dikaguminya. Bagaimana perjalanannya untuk sampai ke titik itu? Dan bagaimana kehidupan cintanya? Note: Halo semuanya.. ini adalah karya keenam author. Setiap cerita yang author tulis berasal dari banyaknya cerita yang author kemas menjadi satu novel. Jika ada kesamaan nama, setting dan latar belakang, semuanya murni kebetulan. Semoga pembaca semuanya menyukainya.. Terimakasih atas dukungannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Mempertanyakan
Sebulan berjalan, Priyo mulai bisa menerima Azmi yang masih belajar memasak dan berusaha mengikuti prinsipnya. Tetapi kehidupan rumah tangga mereka masih hambar karena keduanya belum ada yang mau memulai untuk lebih dekat. Keduanya justru merasa nyaman dengan keadaan mereka sekarang.
“Lalu apa gunanya menikah?” Tanya Raika yang sedang berkunjung ke rumah Priyo untuk menemui Azmi.
“Pacaran dulu, Ka. Prosesnya tidak secepat itu.”
“Benar, prosesnya tidak cepat! Tetapi kalian sudah menikah selama sebulan! Masak iya masih belum buka segel?” Kesal Raika.
“Aku yang menjalani, kenapa kamu yang marah?”
“Kamu ini terlalu baik, Mi!”
Priyo yang mendengarkan percakapan keduanya dari dalam kamar, juga berpikir. Tetapi bagaimana mau buka segel kalau mereka masih belum satu prinsip?
“Sudahlah! Kamu cari suami sana, biar tahu rasanya. Jangan terus menyuruhku untuk buka segel!” Azmi pura-pura kesal.
“Kalau aku menikah, sudah pasti dengan orang yang aku kenal, Mi! Aku tidak akan menikah seperti kamu! Bagaimana aku tidak menyuruhmu buka segel, kalau menikah itu memang tujuannya kesana? Bahkan jika salah satu dari kalian merasa tidak puas atau merasa kesepian, kalian bisa berdosa!”
Azmi menghela nafas. Salahnya yang keceplosan mengatakan kalau dirinya masih perawan. Ia mencoba menenangkan Raika yang akhirnya pamit untuk pergi kepasar karena ada titipan dari sang ibu.
Setelah Raika pergi, Azmi kembali menutup pintu dan menguncinya. Ia tahu suaminya mendengarkan percakapannya dari kamar, Azmi masuk kedalam kamar.
“Maaf, Mas. Aku keceplosan mengatakan kalau aku masih perawan.” Cicit Azmi.
“Tak apa. Aku tahu.”
“Mas tidak marah, kan?” Tanya Azmi yang seketika membuat Priyo menegang.
Ternyata sikapnya selama ini disalah artikan istrinya sebagai marah. Ia bukan marah, ia hanya masih menyesuaikan diri.
“Aku tidak pernah marah denganmu. Aku hanya ingin mengajarimu dan memberitahumu mana yang benar dan mana yang salah.” Kata Priyo menatap Azmi.
“Maafkan aku, Mas.”
“Kenapa kamu meminta maaf?”
“Maaf aku belum bisa menjadi istri yang baik.”
“Kenapa kamu berkata seperti itu?”
“Sebulan pernikahan aku masih belum bisa memenuhi kewajibanku.”
“Bukan seperti itu!” Priyo secara tidak sadar menaikkan suara.
“Maafkan aku! Bukan seperti itu maksudku. Perjalanan kita masih panjang, kita masih bisa saling mengenal sebelum kesana.” Azmi hanya diam.
“Mi, kita menghalalkan hubungan bukan hanya untuk berhubungan tetapi untuk membina rumah tangga. Kalau kamu merasa terbebani, maafkan aku. Aku memang belum bisa melakukannya sebelum prinsip kita sama.”
“Prinsip yang mana lagi, Mas? Bukankah aku sudah menuruti semua pengaturan mu, Mas?” Azmi memberanikan diri mengungkapkan isi hatinya.
“Mi.. Agama kita memang sama, tetapi syariat kita berbeda. Aku hanya ingin kita menyamakannya dulu baru melangkah lebih jauh. Aku tidak ingin kita bersatu tetapi masih berbeda dalam hal syariat.”
“Kenapa itu menjadi patokan, Mas? Bukankah di dalam Al-Qur’an terdapat 73 golongan?”
“Kamu benar. Tetapi aku harus memegang prinsip ku.” Jawaban Priyo membuat Azmi tak bisa berkata-kata.
Percakapan mereka kembali lagi ke prinsip. Azmi tidak tahu lagi harus berkata apa, ia keluar dari kamar dan masuk ke dalam kamar mandi. Dengan menyalakan kran kamar mandi, Azmi menangis disana.
Satu bulan bukanlah waktu yang sebentar. Ia sudah berusaha sebisanya untuk mengikuti semua aturan suaminya. Ia sampai merelakan waktunya untuk berkumpul dengan keluarga. Dada Azmi terasa sesak. Entah itu perkataan Raika, keputusannya untuk menikah, bahkan nasihat kedua orang tuanya setelah ia resmi menikah berkecamuk didalam otaknya.
Walaupun Azmi sudah menyalakan kran untuk menyamarkan tangisnya, Priyo masih mendengar suara tangisan Azmi dari luar. Ia bahkan tidak memiliki keberanian untuk mengetuk pintu kamar mandi. Ia hanya bisa diam menunggu sampai Azmi keluar dengan sendirinya.
“Mi..” panggil Priyo.
Azmi tidak menjawab. Ia berjalan masuk kedalam kamar dan merebahkan tubuhnya. Ia bahkan menutup tubuhnya sampai kepala dengan selimut. Melihat hal tersebut, Priyo menghembuskan berat. Ia tahu artinya Azmi tidak mau mendengarkannya. Akhirnya Priyo mengalah dan tidur di ruang tamu.
Sejak malam itu, Azmi tak banyak berkomentar. Ia tetap mengikuti aturan Priyo dan melayani makan, minum, juga melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Sampai suatu pagi saat keduanya libur, Priyo mengomentari Azmi yang terlalu dekat dengan rekan kerjanya.
“Bagaimana caraku untuk tidak dekat dengan mereka, Mas? Sejak awal kamu sudah tahu pekerjaanku berada di antara laki-laki, kenapa baru sekarang Mas berkomentar?”
“Aku tidak suka kamu terlalu dekat, bukan aku tidak tahu pekerjaan mu!”
“Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk menjaga jarak. Tapi kalau menurut Mas masih kurang, lalu kamu maunya seperti apa?”
“Resign, saja!” Jawab Priyo singkat.
“Tidak!”
“Kamu harus mengikuti perkataan ku!”
“Aku bisa menuruti yang lain, tetapi tidak untuk resign!”
“Kenapa? Apa kamu lebih suka berdekatan dengan mereka daripada denganku?”
“Ini tidak ada hubungannya dengan itu, Mas!”
“Jelas ada! Kamu dirumah tidak menganggap ku, tetapi disana kamu bisa tersenyum dan tertawa!” Azmi memaksakan tawanya.
“Mas ini lucu! Siapa yang tidak menganggap mu? Bukankah aku sudah melakukan semuanya? Menyiapkan makan, minum, pakaian bersih, rumah rapi, keperluan mu ada.”
“Bukan itu! Kamu bahkan tidak berbicara jika aku tidak bertanya!” Emosi Priyo benar-benar berada di puncak.
Ia merasa Azmi sedang menguji kesabarannya dan menantang otoritasnya.
“Mas, aku ini wanita biasa yang bisa merasakan sakit hati. Selama menikah, kamu tak pernah sekalipun menyentuhku! Kamu bahkan masih merasa aku kurang dan memintaku untuk memperbaikinya! Aku melakukannya! Tapi apa yang aku dapatkan? Aku masih belum layak, Mas! Kamu yang membuat aku meragukan diriku sendiri!”
“Bukan tidak layak, tetapi kita masih belum satu prinsip!”
“Prinsip itu lagi! Kalau dari awal yang kamu cari adalah persamaan prinsip, mengapa kamu memilihku? Mengapa kamu tidak mencari perempuan bercadar untuk menjadi istrimu!”
Priyo terdiam. Apa yang Azmi katakan ada benarnya. Tetapi ia menginginkan Azmi untuk menjadi istrinya, bukan orang lain.
“Mi.. Bisakah kita kembali seperti diawal pernikahan?” Tanya Priyo melembutkan suaranya, tetapi Azmi hanya diam tidak menjawab.
“Aku tidak akan memintamu resign, aku juga akan memberimu kebebasan. Kamu mau apa, katakan.” Azmi masih tidak mau bersuara.
“Mi..”
“Berikan aku waktu, Mas. Aku masih belum bisa mengikuti laju pemikiranmu.” Kata Azmi lemah.
Tenaganya seperti telah terkuras setelah argumentasinya dengan Priyo, yang masih tidak menemukan titik temu. Azmi masuk kedalam kamar, merebahkan tubuhnya. Tak butuh waktu lama, Azmi terlelap. Bahkan Priyo terkejut saat menyusul mendapati istrinya sudah tidur.
Priyo akhirnya ke dapur melihat stok bahan masakan di kulkas. Ia melihat beberapa kertas terlipat di saku kulkas. Penasaran, Priyo mengambil kertas itu dan melihat tulisan disana. Beberapa adalah resep yang pernah Azmi praktikkan dengan catatan detail seperti harus kecilkan api, tunggu tumisan harum tetapi tidak gosong, dan sebagian adalah catatan belanja. Ternyata selama ini, Azmi berusaha untuk mengikutinya perkataannya dan bahkan mencatat pengeluaran. Azmi tidak pernah membeli barang yang tidak diperlukan. Priyo terduduk lemas. Benar, hanya Azmi yang berusaha berubah tetapi ia tidak.