Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 Misi Berhasil?
Saat tengah sibuk mencari Ana di terminal keberangkatan, telepon Auriga berdering. Nama Oma tertera di layar ponselnya. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab panggilan tersebut, mencoba meredakan kekesalan dan rasa khawatir yang sejak tadi menguasai pikirannya.
“Ya, Oma,” sapa Auriga dengan nada setenang mungkin.
“Riga, apa yang terjadi sebenarnya? Cecil bilang Ana hilang siang tadi, membuat kekacauan di rumah sakit. Lalu katanya dia tidak mau naik pesawat sama-sama, sampai kamu turun dari pesawat untuk mencarinya. Apa ini benar? Apa yang terjadi dengan anak itu?” Suara Oma terdengar cemas dan tegas di saat bersamaan, menuntut penjelasan.
Auriga berhenti di sudut yang lebih sepi untuk berbicara. “Oma, Ana baik-baik saja. Saya sedang mencarinya sekarang. Dia tidak hilang, hanya... mungkin butuh waktu sendiri.” Auriga sedikit kesal kenapa Cecil harus menjawab jujur, Ya. Baiklah dia tidak mengkonfirmasi sebelumnya tapi ah sudahlah...
“Waktu sendiri? Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Ada sesuatu yang kalian sembunyikan?”
Auriga terdiam sejenak. Pertanyaan Oma begitu langsung, menusuk pada hal yang sejak awal mengganggunya juga. Namun, menjelaskan semua itu tidak semudah kelihatannya, terutama saat dirinya sendiri tidak tahu sepenuhnya apa yang ada di balik sikap Ana.
“Oma, saya akan pastikan Ana aman. Dia hanya... mungkin sedang ada masalah keluarga. Jangan khawatir,” jawab Auriga akhirnya, memilih untuk meredakan kekhawatiran Oma tanpa memberikan detail yang belum pasti. “Baiklah oma, nanti saya lanjut lagi.”
Auriga mengembuskan napas berat, lalu melanjutkan pencariannya. Dalam hati, dia berpikir kenapa semua yang terjadi dengan Ana lebih rumit dari yang terlihat. Bukan hanya tentang kehilangan ingatan aja tapi seperti ada yang mengganjal.
Di sisinya lain Abel sedang merenung belum pernah seumur hidup Abel merasa begitu terlantar seperti ini. Kalau Mahendra papanya tahu, pasti amarahnya meledak akan meledak.
Putri semata wayangnya dibiarkan sendirian di bandara, tanpa arah, seperti anak hilang. Abel berjalan tanpa tujuan, melangkah dari satu sudut ke sudut lain, bingung harus berbuat apa.
Mahendra selalu memastikan setiap perjalanan Abel terjamin. Bahkan untuk liburan bersama teman-temannya, dia akan memastikan ada pendamping yang dipercaya, seperti Claudia. Mahendra tahu Claudia anak baik dari keluarga terpandang, selalu dalam pengawasan ketat, dan Abel akan selalu aman jika bersamanya. Tapi kali ini? Abel benar-benar sendirian, dan itu membuatnya merasa semakin tidak punya siapapun.
Dengan lesu, Abel mengeluarkan ponsel pribadinya dan mengetik pesan singkat
Abel: Cong…
Tak butuh waktu lama, balasan datang.
Ode: Abel? Lo butuh sesuatu? Gue jemput? Lo mau pulang? Perasaan gue nggak enak….
Abel : Kayaknya gue di kerjain Cecil, dia sengaja ninggalin gue di Airport. Sendiri.
Ode : What? Kok bisa? Bener-bener tu betina. Lagian lo kok bisa sih bego gini. Gue jemput sekarang! Lo dimana?
Abel: Ode… Capek.
Ode capek!
Pesan itu singkat, tapi penuh dengan keputusasaan yang bahkan Ode bisa rasakan dari jarak jauh. Spontan, Ode langsung meneleponnya. Tapi Abel mematikan ponselnya sebelum panggilan itu terhubung. Dia mencari tempat duduk di sudut terminal keberangkatan, memilih kursi yang paling sepi.
Abel bersandar, mengamati hiruk-pikuk bandara. Anak kecil yang digandeng ibunya, keluarga yang saling berpelukan, tawa orang-orang yang antusias menanti liburan mereka.
"Pa, lihat anakmu. Terdampar gara-gara sekretaris temanmu," pikir Abel, tersenyum miris. Cecil bilang pesawat penuh, omong kosong apa itu? Mahendra bahkan sering menyewa satu kabin khusus hanya untuk mengantar Abel dan teman-temannya ke acara sekolah. Private jet pun bukan hal yang asing bagi papanya yang terbiasa mengejar waktu.
Namun hari ini, Abel tidak sedang menjadi Abel Anais Mahendra, putri Mahendra yang selalu dimanja. Dia juga malas memainkan peran itu. Dia sedang ingin jadi Ana wanita tanpa arah, lupa ingatan, dan tengah bergulat dengan gangguan psikologis dan dalam perlindungan seorang pria dewasa bernama Auriga.
Abel menarik kakinya ke atas kursi, memejamkan mata, mencoba melupakan segalanya sejenak. Hingga tiba-tiba, kursi tempatnya duduk bergerak.
Dia membuka mata, mengangkat kepalanya, mengira seseorang tanpa sengaja duduk di sebelahnya. Namun, yang dilihatnya adalah Auriga. Pria itu akhirnya duduk di sebelahnya setelah tadi mengamati dari kejauhan.
Napasnya tampak berat, seperti baru selesai berlari. Matanya menatap Abel, bukan dengan kemarahan, tetapi lebih kepada rasa lega bercampur frustrasi akhirnya menemukan dia.
“Baru keluar rumah sakit, sekarang malah suka terdampar di sini,” kata Auriga dingin, suaranya tegas namun tidak terlalu keras. “Kapan saya mengizinkan mengambil penerbangan selanjutnya? Kapan saya menyetujui?”
Mengambil penerbangan selanjutnya.
Abel tertegun. Kata-kata Auriga membuatnya sadar, apa yang Cecil katakan ternyata jauh berbeda dari kenyataan. Dia memandangi Auriga, mencoba mencerna semuanya.
“Apa… Cecil yang bilang begitu? Aku minta izin next flight?” tanya Abel dalam hati, matanya penuh tanda tanya.
Abel menatap Abel lagi sekilas matanya penuh emosi yang sulit ditebak. Tapi dia berusaha tahan untuk tidak luapkan
Abel pun menunduk, menatap kakinya sendiri, “Maaf...”katanya kemudian. Abel mengumpati Cecil dalam hati kurang ajar sekali dia buat skenario seperti itu. Okay ikuti permainannya biarkan ini berjalan seperti yang di pikirkan Auriga di mana Ana menyusahkan dan minta next penerbangan.
“Maaf? Segampang itu? Jika tidak mengingat kamu sakit dan mengingat Oma saya tidak akan turun dari pesawat yang siap terbang.”
Hati Abel mencelos, mendadak dia yang jadi si pesalah berat, Cecil Sialan! Namun kehangatan yang merayap pelan perasaan bahwa ada seseorang yang, meski dengan marah dan caranya yang kaku, tetap peduli padanya.
“Ayo cari makan!” Ajak Auriga sambil bangkit lebih dulu dari tempat duduknya.
Auriga tidak mau memperumit maslaah toh Abel pindah pesawat dengan alasan takut dengan keramaian mungkin alasan itu terkait kondisinya yang memang kurang sehat.
Abel yang masih mengulum permen lolipop menatap pria itu dengan bingung. “Makan?” ulangnya pelan, seperti memastikan.
“Iya, makan. Ayo!” kata Auriga tegas.
“Enggak lapar,” balas Abel sambil menggeleng pelan.
“Terserah, kalau nggak mau makan, ya minum aja, atau beli sesuatu. Pokoknya ikut.” Auriga mengulurkan tangannya ke arah Abel, menunggu dia bangkit.
Abel memandang tangan itu. Tidak percaya. Dia mengulurkan tangan? Untukku? Dia benar-benar melihatku? Tuhan, apa ini? Pikir Abel, dadanya tiba-tiba terasa penuh oleh sesuatu yang sulit dia jelaskan.
“Nanti aja natapnya di tempat makan sepuasnya. Saya lapar.” Suara Auriga yang terdengar datar namun tajam itu membuat lamunan Abel buyar seketika.
Dia langsung menunduk, menahan rasa malu yang membakar wajahnya. Tanpa menjawab, dia segera bangkit dari tempat duduknya. Tapi dia tidak berani menerima uluran tangan Auriga, terlalu gugup untuk melakukannya.
Mereka pun mulai berjalan bersama, langkah mereka beriringan meskipun jarak sedikit terjaga.
Abel merasa seperti melayang. Dia tidak percaya ini. Auriga orang yang selama ini terlihat begitu dingin, begitu tak terjangkau mengajaknya makan? Berjalan bersamanya? Memperlakukannya seperti ini?
Di satu sisi Auriga seperti melihatnya bukan hanya sebagai gadis biasa yang merepotkan, tapi juga… entahlah, mungkin seperti adik yang harus dia lindungi? Atau seseorang yang sedang berada dalam tanggung jawabnya?
Namun, terlepas dari alasannya, hati Abel terasa hangat. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, meski dia menunduk dalam-dalam agar Auriga tidak menyadarinya. Baginya, momen ini sudah lebih dari cukup untuk menghapus semua kekesalan dan kesedihan yang sempat dia rasakan sepanjang hari.
Di sebuah kafe di bandara, Auriga dan Abel duduk berhadapan di salah satu meja. Auriga memesan makanan lengkap nasi goreng, sup, dan segelas kopi hitam sementara Abel hanya memilih es krim stroberi dan pancake cokelat. Mereka makan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka.
Abel tampak menikmati makanannya dengan perlahan, sementara sesekali mencuri pandang ke arah Auriga. Namun, setiap kali dia melirik, Auriga menangkapnya dengan cepat.
“Kenapa?” tanya Auriga tiba-tiba, suaranya tenang namun cukup untuk membuat Abel tersentak. “Lihat saya atau makanan saya?”
Abel gugup. Dia buru-buru menggeleng, mencoba terlihat santai. “Enggak, Cuma... kenapa Mas bantu saya? Padahal kita nggak saling kenal.” Abel akhirnya memberanikan diri bertanya, suara pelannya hampir tenggelam di tengah obrolan pengunjung kafe lain. “Gimana kalau ternyata saya ini orang jahat? Atau, mungkin lebih buruk... saya sendiri penjahatnya?”
Auriga meletakkan sendoknya, menatap Abel dengan tajam. “Kamu ingat itu? Ingat kalau kamu penjahat?”
Abel menggeleng. “Nggak... saya Cuma dengar dari orang-orang di rumah sakit malam itu. Katanya saya ditemukan bersama Mas... di sebuah tempat hiburan.”
Auriga menelan ludah, memilih melanjutkan makannya tanpa komentar. “Kalau kamu memang nggak ingat apa-apa lebih baik diam. Tapi kalau kamu mulai ingat sesuatu, bilang ke saya. Siapa tahu kamu memang benar kamu penjahat.”
Nada suara Auriga terdengar seperti mengejek. “Apapun itu terima kasih, sudah bantu saya, saya ngga tahu kalau saya ketemunya sama orang lain bukan sama Mas,” katanya pelan.
Auriga menatapnya sebentar, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kadang kamu bicara kayak orang dewasa. Tapi tadi? Saat makan permen sambil bawa jajan muncul setelah menghilang kamu persis seperti anak kecil yang habis merajuk lalu bersembunyi.”
Abel lalu tersenyum kecil. “Bukannya Mas bilang saya umur 28 ke Oma?”
“Itu cuma biar Oma percaya saja, kamu nggak tahu bagaimana bisa saya tahu,” Auriga menahan senyum. “Dan ngomong-ngomong, dari semua makanan yang ada, kenapa harus permen?”
Abel mengangkat bahunya. “Entahlah. Tiba-tiba suka aja.”
Auriga memandangnya beberapa saat sebelum menghela napas. “Maaf,” katanya akhirnya, “maaf soal apa yang kamu dengar di ruang dokter . Saya nggak bermaksud kasar. Saya Cuma ingin tahu keadaan kamu yang sebenarnya.”
Abel mengangguk, wajahnya melembut. “Saya tahu... dan saya mengerti. Itu wajar, kok.”
Untuk pertama kalinya, suasana antara mereka terasa lebih ringan. Abel kembali menyantap es krimnya, sementara Auriga melanjutkan makanannya, mencoba mengabaikan tatapan aneh dari Abel yang masih sesekali meliriknya dengan wajah bingung namun penuh rasa ingin tahu.
Setelah makan, Abel dan Auriga berjalan-jalan santai di area bandara yang luas. Langkah mereka tidak terburu-buru, kadang hanya berhenti untuk mengamati toko-toko atau orang-orang yang berlalu-lalang.
Abel merasa seperti ingin melompat kegirangan. Dalam hati, dia hampir ingin berteriak, “Misi berhasil!” Ternyata begini rasanya berada dekat dengan Auriga. Dia tidak sedingin dan semenyebalkan yang selama ini terlihat. Nyatanya, dia adalah pria yang peka, peduli, dan perhatian sesuatu yang tidak pernah Abel duga sebelumnya.
Waktu keberangkatan mereka akhirnya tiba. Keduanya menuju pesawat tanpa banyak kata, masing-masing terlalu lelah setelah seharian di bandara. Sesampainya di kursinya, Abel langsung bersandar dengan nyaman, dan dalam hitungan menit, dia tertidur pulas.
Auriga, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan bagaimana posisi tidur Abel tampak kurang nyaman kepalanya terkulai, tubuhnya membungkuk. Dengan hati-hati, Auriga merapikan posisi tidur Abel agar lebih lurus, melonggarkan sabuk pengaman sedikit agar tubuhnya bisa lebih rileks. Tak lupa, dia mengambil selimut dari kompartemen atas dan menyelimutinya dengan lembut.
Abel benar-benar tidur nyenyak, tanpa menyadari perhatian kecil dari Auriga itu.
Auriga hanya meliriknya sesaat sebelum kembali bersandar di kursinya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menarik napas panjang dan melanjutkan membaca dokumen di tabletnya, membiarkan Abel menikmati istirahatnya tanpa gangguan.
next akak tris 🙏
💪💪
Padahal masalah sepele “Cintq…
Huhuhu jadi ga sabar up kak 🥰🥰
serem
timakasi tris rahma 😘
km ketauan....