NovelToon NovelToon
Mentari Di Balik Kabut

Mentari Di Balik Kabut

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Percintaan Konglomerat / Fantasi Wanita
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fika Queen

Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.

Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.

Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.

Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 35

Malam semakin larut, tapi Dylan belum ingin tidur. Setelah membersihkan dapur dan membereskan peralatan masak, ia kembali duduk di meja bar dengan laptop terbuka di depannya. Cahaya layar MacBook menerangi wajahnya yang tampak serius, meski pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada pekerjaannya.

Sesekali, pikirannya kembali ke momen tadi—senyuman Rose, pipinya yang merona, dan keberanian kecilnya untuk memberikan ciuman di pipi. Dylan tersenyum tipis, membayangkan ekspresi malu Rose saat itu.

Namun, ia cepat-cepat menggeleng, mencoba mengusir lamunan itu. Fokus, Dylan. Kau masih punya laporan yang harus diselesaikan, pikirnya sambil menegakkan punggung. Ia mulai mengetik beberapa poin penting pada dokumen yang sedang dikerjakannya, meskipun sesekali pandangannya kembali melayang ke arah pintu kamar Rose.

Setelah beberapa saat, suara langkah pelan terdengar dari lorong. Dylan mengangkat wajah, melihat Rose yang muncul di pintu dengan kaos longgar dan rambut yang sedikit berantakan. Matanya tampak mengantuk, tapi bibirnya mengerucut, menunjukkan ia sedang kesal.

“Kenapa kau belum tidur?” tanya Rose dengan nada setengah menyalahkan. “Sudah larut.”

Dylan tersenyum kecil, menutup MacBook-nya perlahan. “Aku harus menyelesaikan laporan ini. Tapi sekarang aku punya alasan lain untuk tetap terjaga.”

Rose mendengus pelan, berjalan mendekat dengan langkah ragu. “Jangan gunakan aku sebagai alasan, Dylan. Tidur itu penting, kau tahu?”

“Aku tahu,” jawab Dylan santai, menyandarkan tubuhnya di kursi. “Tapi kalau aku tidur sekarang, aku akan kehilangan kesempatan melihatmu seperti ini.”

Rose berhenti melangkah, menatap Dylan dengan bingung. “Seperti apa maksudmu?”

“Seperti seseorang yang peduli,” jawab Dylan sambil tersenyum lebar, jelas-jelas menggoda.

Rose memutar matanya, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum kecil yang mulai muncul. “Berhenti bicara hal-hal aneh, Dylan. Tidur sana.”

Dylan tertawa pelan, lalu berdiri dari kursinya. “Baiklah, Nona Rose. Aku akan tidur kalau kau mau janji satu hal.”

Rose menyipitkan mata, waspada. “Apa lagi sekarang?”

“Besok pagi, kau harus membiarkanku membuatkan sarapan untukmu,” kata Dylan, kali ini suaranya terdengar lebih lembut, nyaris penuh permohonan. “Anggap saja itu sebagai imbalan karena kau sudah memperhatikan kesehatanku malam ini.”

Rose terdiam sejenak, merasa permintaannya cukup masuk akal, meski tetap saja ia tidak mau terlihat terlalu setuju. “Baiklah,” katanya akhirnya, nada suaranya enggan. “Tapi jangan berharap aku akan memakan apa pun yang terlalu aneh.”

“Setuju,” jawab Dylan dengan senyum lebar. “Aku jamin, kau akan menyukainya.”

Rose mengangguk singkat, lalu berbalik menuju kamarnya. Tapi sebelum pintu kamar tertutup, ia berhenti sejenak dan menoleh. “Dylan.”

Dylan, yang sudah bersiap untuk mematikan lampu dapur, menoleh. “Ya?”

“Terima kasih,” kata Rose, suaranya lembut. Ia tidak menunggu jawaban Dylan sebelum menutup pintunya, meninggalkan Dylan yang berdiri di tempat dengan senyum puas di wajahnya.

“Terima kasih untuk apa?” gumam Dylan pelan, meski ia sudah tahu jawabannya.

***

Rose baru saja berbalik hendak menuju kamarnya ketika tiba-tiba Dylan meraih tangannya. Sentuhan hangat itu membuat langkahnya terhenti, dan sebelum ia sempat memprotes, Dylan menariknya perlahan hingga ia kehilangan keseimbangan. Rose terjatuh di pangkuannya, membuat jarak di antara mereka nyaris tidak ada.

“Dylan!” seru Rose dengan suara tertahan, wajahnya memerah seketika. Ia mencoba bangkit, tapi Dylan menahannya dengan lembut, tangan besarnya memegang pinggangnya dengan mantap.

“Jangan bergerak dulu,” bisik Dylan, suaranya pelan namun penuh kendali. Nadanya begitu tenang, tapi menyiratkan sesuatu yang membuat bulu kuduk Rose merinding. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu.”

Rose menelan ludah, jantungnya berdebar tidak karuan. Ia tidak berani menatap wajah Dylan yang begitu dekat, tapi ia bisa merasakan napas hangatnya yang menyentuh pipinya. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.

Dylan tersenyum tipis, matanya menatap lurus ke arah Rose. “Aku ingin tahu… kenapa jantungmu berdetak secepat ini?” tanyanya, nadanya penuh godaan.

Rose langsung menunduk, merasa seluruh wajahnya memanas. “Itu karena kau membuatku terkejut! Lepaskan aku sekarang, Dylan.”

Namun Dylan tidak bergeming. Sebaliknya, ia mengangkat tangan, menyelipkan sehelai rambut yang jatuh di wajah Rose ke belakang telinganya. Gerakannya lembut, membuat Rose terdiam, bingung harus bagaimana menghadapi situasi ini.

“Rose,” panggil Dylan, suaranya rendah namun intens. “Kenapa kau selalu mencoba menjauh dariku, padahal jelas kau tidak benar-benar ingin pergi?”

Kata-kata itu membuat Rose semakin gugup. Ia mencoba mengatur napasnya, tapi sulit baginya untuk mengabaikan tatapan Dylan yang begitu dalam, seolah-olah pria itu bisa membaca setiap pikirannya. “Kau… kau salah. Aku hanya…”

“Apa?” potong Dylan dengan lembut, masih menatapnya. “Kau hanya takut? Atau… kau takut mengakuinya?”

Rose memejamkan matanya sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Dylan mendekatkan wajahnya sedikit, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. “Kau tahu, Rose,” bisiknya, suaranya nyaris seperti desahan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku juga tidak akan berhenti mengejarmu. Karena kau adalah sesuatu yang ingin aku perjuangkan.”

Kata-kata itu menghantam hati Rose dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan. Ia membuka matanya, menatap Dylan yang menunggunya dengan sabar. Namun, alih-alih menjawab, Rose hanya memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan ekspresi yang tidak bisa ia kendalikan.

“Lepaskan aku,” katanya pelan, kali ini tanpa nada kesal, hanya permohonan lirih yang membuat Dylan tersenyum tipis.

“Baiklah,” jawab Dylan akhirnya, mengendurkan tangannya dari pinggang Rose. “Tapi ingat satu hal, Rose. Aku tidak main-main denganmu.”

Rose segera berdiri, berbalik dengan langkah cepat menuju kamarnya. Namun sebelum ia masuk, ia berhenti sejenak, berbisik dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku tahu.”

Dylan menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu, senyum kecil menghiasi wajahnya. Perlahan saja, Rose. Aku punya cukup waktu untuk menunggumu menyadari bahwa aku adalah orang yang kau butuhkan.

***

Pagi itu, aroma harum kopi dan roti panggang memenuhi dapur. Dylan sudah bangun lebih awal dan sibuk menyiapkan sarapan di dapur kecil apartemen mereka. Ia mengenakan apron hitam dengan logo kecil bertuliskan "Master Chef in Progress," hadiah dari seorang teman yang selalu ia anggap lelucon, tapi pagi ini entah kenapa terasa pas.

Sambil menata piring, Dylan sesekali melirik ke arah pintu kamar Rose. Dia tahu kebiasaan Rose yang selalu bangun lebih lambat dari biasanya jika malam sebelumnya dia sulit tidur. Dengan senyum kecil di wajahnya, Dylan menyusun sepiring omelet dengan topping keju dan paprika, lengkap dengan potongan roti panggang dan selai favorit Rose.

Ketika akhirnya pintu kamar Rose terbuka, ia muncul dengan rambut yang masih berantakan, kaos longgar, dan langkah malas. Matanya menyipit, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi. Tapi saat aroma sarapan menyerbu hidungnya, ia berhenti sejenak.

“Kau serius memasak pagi-pagi seperti ini?” tanya Rose, suaranya serak akibat baru bangun tidur.

Dylan menoleh dengan senyuman lebar, mengangkat spatula seperti seorang koki profesional. “Bukankah aku sudah bilang tadi malam? Ini bayaranku karena kau sudah memperhatikan kesehatanku.”

Rose berjalan mendekat, duduk di kursi bar sambil menguap kecil. “Aku tidak ingat menyetujui kontrak semacam itu,” gumamnya, meskipun tatapannya langsung terpaku pada makanan yang disiapkan Dylan.

“Kontrak verbal sudah cukup,” jawab Dylan santai, meletakkan piring di depannya. “Selamat pagi, Nona Rose. Ini sarapan istimewa untuk tamu paling spesial di rumah ini.”

Rose mendengus pelan, meskipun senyum kecil mulai terlihat di sudut bibirnya. “Aku satu-satunya tamu di sini, Dylan.”

“Itulah sebabnya kau istimewa,” balas Dylan dengan nada ringan, duduk di kursi sebelahnya sambil menyeduh secangkir kopi untuk dirinya sendiri. “Cobalah, aku yakin kau akan menyukainya.”

Rose memandangnya dengan skeptis, tapi akhirnya mengambil garpu dan mencoba potongan kecil omelet itu. Begitu rasa keju yang lembut dan paprika yang manis memenuhi mulutnya, ia terdiam sejenak.

“Bagaimana?” tanya Dylan, matanya penuh antisipasi.

Rose menelan makanannya perlahan, lalu menatap Dylan dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Tidak buruk,” katanya akhirnya, berusaha terdengar biasa saja meskipun jelas makanan itu lebih dari sekadar ‘tidak buruk.’

Dylan tertawa kecil, mengangkat cangkir kopinya. “Kau memang sulit dipuaskan, Rose.”

Rose hanya mendengus, melanjutkan sarapannya tanpa banyak komentar. Tapi di dalam hatinya, ia harus mengakui bahwa Dylan benar-benar pandai memasak. Rasanya, perhatian kecil seperti ini mulai membuat hatinya sedikit lebih hangat, meskipun ia belum sepenuhnya siap untuk mengakuinya.

Sementara itu, Dylan hanya menatapnya dari samping, menikmati setiap ekspresi kecil Rose. Baginya, pagi itu sudah cukup sempurna hanya dengan melihat Rose menikmati apa yang ia buat dengan hati.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!