Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memadu Kasih
"Ben ... gimana persidangan tadi? Apa Pandu dan Rayana masih menuntut kakak dan istrimu?"
Suara Ningrum yang agak pelan memecah kebisuan di antara dirinya dan Benny. Pulang dari kantor polisi, Benny langsung ke rumah sakit. Tujuannya memang untuk membahas hasil sidang tadi. Akan ia adukan bagaimana Pandu dan Rayana yang bersikeras memenjarakan Utari dan Albi seberat-beratnya.
"Masih, Bu. Bahkan, Pandu membawa hasil pemeriksaan psikologi Lintang. Depresi kronis. Kayaknya ... itu bisa memperberat hukuman Tari dan Mas Albi."
Mendengar jawaban Benny, Ningrum menarik napas berat. Terbayang lagi betapa menderitanya Utari dan Albi hidup di balik jeruji. Konon katanya, makanan yang diberikan untuk mereka hanya sayur alakadar yang tidak ada rasanya. Belum lagi jika ada perundungan oleh sesama tahanan. Ah, bagaimana mungkin anak-anaknya harus mengalami itu semua.
"Mungkin bisa dua puluh tahun penjara, Bu," sambung Benny.
Ningrum makin terbebani pikirannya. Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Utari akan melewatkan tumbuh kembang Nada hingga bocah itu dewasa. Selain itu mereka juga akan menua, mengingat di penjara tidak nyaman dan tidak bisa perawatan.
Lantas, bagaimana masa depan Albi? Sekarang dia sudah ditinggalkan Rayana, sedangkan Rayen ikut bersama ibunya. Akan hancur semua mimpi-mimpi yang pernah ia rangkai selama ini.
"Bagaimana keadaan Lintang sekarang?" tanya Ningrum. Di balik keresahannya memikirkan Albi dan Utari, Ningrum juga memikirkan kondisi Lintang sekarang. Masihkah buruk atau sudah membaik.
"Aku juga nggak tahu, Bu, belum sempat ke sana. Tadi juga bingung mau nanya gimana ke Pandu, dia sekarang sikapnya asing. Nggak kayak Pandu yang dulu, Bu."
Ningrum tidak menjawab meski dalam hati membenarkan apa yang dikatakan Benny. Sewaktu menjenguknya tempo hari, Pandu jauh berbeda dari dia yang biasanya. Apa separah itu kondisi Lintang, makanya Pandu berubah total?
"Kata temanku yang kebetulan jadi nasabah di bank tempat Pandu kerja, sekarang dia sudah berhenti. Dia dipecat."
"Dipecat? Kenapa?"
"Katanya sih karena buat onar. Sebelumnya Pandu sudah mengajukan cuti seminggu. Setelah itu masuk kerja lagi, terus dengar rekan kerjanya ada yang membicarakan Lintang. Disebut gila atau apa gitu, Pandu nggak diterima. Terus rekannya itu tadi dihajar sampai babak belur. Jadinya dia dipecat sama atasan."
"Ben ... kamu serius?" Ningrum menatap menantunya dan meminta kepastian. Nyaris tak percaya dia dengan informasi barusan.
"Serius, Bu. Temanku ini melihat sendiri kejadiannya."
Pikiran Ningrum makin berkecamuk. Kian besar kekhawatirannya pada Lintang.
"Ibu ingin melihat kondisi Lintang, Ben," pintanya sesaat kemudian.
"Ibu harus sehat dulu. Kalau udah sehat dan sama dokter boleh pulang, nanti kuantar ke rumah Lintang."
"Beneran, Ben? Kamu mau mengantar Ibu ke rumah Lintang?"
"Tentu saja, Bu. Tapi janji, Ibu harus sehat dulu."
Sedikit kelegaan terpancar di wajah Ningrum. Tekadnya untuk sembuh makin kuat, agar secepatnya bisa melihat dan menemui Lintang.
Di hadapan Ningrum, Benny juga menarik napas lega. Ada sesuatu yang terencana dalam pikirannya, yang tentunya jauh dari pengetahuan Ningrum.
_____
Malam belum terlalu larut ketika Lintang dan Wenda sibuk menata nastar ke dalam toples. Sejak siang tadi, mereka memang membuat kue lezat itu.
Awalnya, Wenda hanya ingin mencari kesibukan untuk Lintang. Kata Psikiater Ratna, jika Lintang sudah bisa berinteraksi, ajak dia melakukan aktivitas yang menyita perhatian, guna mengalihkan kecemasannya terhadap trauma masa lalu. Namun, ternyata Lintang sangat senang. Tak terasa mereka membuatnya cukup banyak, sampai semua bahan yang Wenda beli habis tak tersisa.
Kini, setelah semua kue sudah tertata di dalam toples, Wenda dan Lintang membawanya ke ruang keluarga. Di sana, Pandu sudah menunggu sambil menonton televisi.
"Hmm, enak banget, Sayang. Paling pinter kamu kalau bikin kue-kue gini," puji Pandu saat mencicip nastar buatan ibu dan istrinya.
"Itu Mama yang bikin, aku cuma bantu nyetak aja."
"Sama aja, Sayang. Intinya nastar buatan kamu dan Mama ini adalah nastar terenak yang pernah kumakan," jawab Pandu, tak mau kalah.
"Syukurlah kalau kamu suka. Makan banyak-banyak kalau gitu. Nanti kalau habis, Mama dan Lintang siap bikin lagi. Iya kan, Lin?" timpal Wenda.
"Iya, Ma."
Usai melayangkan senyuman pada sang mertua, Lintang menyandarkan kepalanya di bahu Pandu. Tatapannya masih sayu meski bibir berulang kali menyahut candaan yang Pandu lontarkan. Mungkin ... hatinya belum terlalu tenang. Namun, Pandu sudah sangat bersyukur. Kemajuan kondisi Lintang cukup baik hari ini.
"Ya udah kalian lanjutkan, ya, Mama mau istirahat dulu. Udah ngantuk," pamit Wenda tak lama kemudian. Sebenarnya bukan karena kantuk, melainkan untuk memberi sempat pada anak dan menantunya. Demi Lintang, demi kebahagiaan Pandu.
Sepeninggalan Wenda, Lintang mengubah posisinya. Tak lagi bersandar di bahu Pandu, tetapi beralih di pangkuan lelaki itu. Pandu pun merespon dengan manis. Ia usap mesra lengan wanita itu, sesekali rambutnya, juga pipinya. Sampai tak sadar perasaan bahagia itu perlahan berubah menjadi perasaan lain.
"Mas ... kamu pengin, ya?" tanya Lintang seraya mendongak. Ia merasakan sesuatu yang lain di pangkuan Pandu.
Ditanya demikian, Pandu hanya tertawa kecil. Tak dipungkiri, dia memang menginginkan itu. Entahlah, malam ini Lintang tampak cantik sempurna di matanya. Menggugah gai-rah yang beberapa hari terpendam karena keadaan.
"Ayo, Mas!"
"Ah, hmm, apa, Sayang?"
"Kamu pengin, kan? Ayo!" Lintang menyahut tanpa ragu. Bahkan saat bangkit, sedikit pun tak tampak bimbang.
"Tapi, Sayang ...."
"Aku nggak apa-apa, Mas. Udah, ayo!"
Karena has-ratnya memang sudah bangkit dan Lintang sendiri menyalakan lampu hijau, Pandu tak bisa menolak. Ia ikuti sang istri yang mengajaknya ke kamar.
Malam itu ... Pandu merasakan kembali indahnya memadu kasih bersama wanita tercintanya. Meski belum maksimal karena Lintang hanya serupa boneka hidup, tetapi lebih dari cukup untuk mengobati kerinduan Pandu akan hal itu. Pun, sangat cukup untuk membuat Pandu bahagia dengan angan-angan masa depannya.
Bersambung...
Duh Pandu di pecat
Akan berdampak nggak ya ke Lintang , kalau Lintang tahu Pandu di pecat
lanjut thor
Kalau memang lintang anak hasil selingkuh,yg patut disalahkan adalah orang yg berselingkuh itu.
Emang dia bisa memilih dan memaksa terlahir dr perut siapa?
Sungguh2 bodoh,atw malah mereka berdua ini sakit jiwa kurasa sehingga bisa dg mudah tanpa rasa bersalah berbuat kejam dan sadis
kpd saudara mereka sendiri.
Sekarangpun sdh disidang dan mendengar kondisi lintan yg dpresi parah,tidak ada sedikitpun rasa bersalah atw menyesal dihati mereka.
depresi berat
lanjut thor 🙏💪😘