🏆 Juara 3 YAAW 2024 Periode 2🏆
"Permisi Mas, kalau lagi nggak sibuk, mau jadi pacarku?"
———
Daliya Chandana sudah lama memendam rasa pada sahabatnya, Kevin, selama sepuluh tahun. Sayangnya, Kevin tak menyadari itu dan malah berpacaran dengan Silvi, teman semasa kuliah yang juga musuh bebuyutan Daliya. Silvi yang tidak menyukai kedekatan Daliya dengan Kevin mengajaknya taruhan. Jika Daliya bisa membawa pacarnya saat reuni, ia akan mencium kaki Daliya. Sementara kalau tidak bisa, Daliya harus jadian dengan Rio, mantan pacar Silvi yang masih mengejarnya sampai sekarang. Daliya yang merasa harga dirinya tertantang akhirnya setuju, dan secara random meminta seorang laki-laki tampan menjadi pacarnya. Tak disangka, lelaki yang ia pilih ternyata seorang Direktur baru di perusahaan tempatnya bekerja, Narendra Admaja. Bagaimana kelanjutan kisah mereka?Akankah Daliya berhasil memenangkan taruhan dengan Silvi? Atau malah terjebak dalam cinta segitiga yang lebih rumit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. (Hampir) Khilaf
Sebenarnya, ada satu 'insiden' yang membuat Ren akhirnya membantu Daliya mengambil mie instan secara sukarela.
Ren masih setia memandangi layar besar di depannya yang menayangkan saluran National Geographic, sementara Daliya ia biarkan saja membuka pintu kulkas.
"Ren," terdengar panggilan wanita itu yang membuat Ren seketika menoleh. "Mau dikasih telur nggak?"
Ren menelan salivanya gugup. Ya Tuhan, sampai kapan Kau uji hamba-Mu yang lemah ini?
"Mau," jawab Ren masih sambil terus memandangi Daliya yang berdiri sedikit menungging di depan kulkas, membuat celana da*lamnya mengintip dari balik kemeja. "Oh ya, mie instannya ada di kabinet atas," sahutnya lagi.
Ren menghela napas lega saat Daliya akhirnya berpindah dari depan kulkas. Setidaknya Tuhan masih menyelamatkannya. Tapi, tak berselang lama, gadis mungil itu tampak membuka kabinet atas dengan kesusahan. Tampaknya ia tak bisa meraih bungkus mie instan yang memang berada di rak tertinggi. Jadilah Daliya harus berjinjit dengan tangan terangkat. Membuat lagi-lagi kain segitiga yang ia pakai terlihat.
"F*ck!" desis Ren mengumpati dirinya sendiri. Kalau dibiarkan lebih lama, bisa-bisa belalainya berdiri. Akhirnya, dengan segera ia bangkit dari duduk dan membantu Daliya mengambil benda yang menyusahkan itu.
"Kamu ternyata pendek juga ya," Kalimat itu Ren ucapkan semata-mata untuk menutupi rasa gelisahnya. "Masa segini aja nggak nyampe,"
Ren dapat melihat bibir Daliya mengerucut di bawahnya. "Salah sendiri pasang kabinet tinggi banget. Memangnya yang mau pakai siapa sih? Raksasa?"
Ren terkekeh. Kalau sedang marah-marah begitu, entah kenapa Daliya kelihatan imut banget. "Lucu banget sih kamu," ujarnya menyuarakan isi hatinya yang paling dalam. Setelah itu ia berjalan pergi menuju balkon, sebelum perempuan itu kembali memporak-porandakan kewarasannya.
"Ren," terdengar panggilan Daliya dari ruang televisi. "Udah mateng nih,"
Ren yang sedang merokok segera mematikan benda itu dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di sana. "Oke, baby,"
Ren melangkah menuju ruang televisi dimana Daliya sudah duduk manis di atas sofa. Kedua kakinya dinaikkan dan tangannya menggenggam bungkus snack. Di atas meja, sudah ada semangkuk mie instan panas.
"Aku minta," kata Daliya sambil mengangkat snacknya. Ren tersenyum dan mengangguk singkat.
"Ambil ambil aja," ucap Ren yang duduk di samping Daliya. Aroma mie instan yang menyengat membuatnya lapar. "Kamu nggak mau mie?"
"Udah kenyang," jawab Daliya masih sambil mengunyah.
"Udah kenyang kok makan ciki?" Ren bertanya heran.
"Kalau ciki masih muat, kalau mie nggak," Daliya menjawab asal yang membuat Ren tergelak. "Udah ah, cepetan dimakan itu mienya, nanti keburu lodoh,"
Daliya melirik Ren yang sedang menyuapkan sesendok mie ke dalam mulut. "Enak, nggak?" tanyanya kemudian.
"Enak banget," Ren menjawab sambil mengangkat jempolnya ke atas. "Bikin aku makin nggak sabar,"
"Nggak sabar apa?"
"Nggak sabar bikin kamu jadi istriku,"
"Ren!" Daliya mendaratkan pukulannya pada lengan Ren. "Jangan bercanda terus ah, aku pengen cepet pulang,"
"Kenapa sih pengen cepet-cepet? Nginep di sini aja loh,"
"Nginep? Ya ampun Ren, kamu tuh bener-bener deh," Daliya mencubit gemas pipi Ren. Ren hanya tertawa dan melanjutkan menyeruput mie instannya.
Usai makan, Ren sebenarnya berniat untuk mengantarkan Daliya pulang. Tapi, memang dasarnya jahil, Ren ingin mengerjai Daliya lebih dulu. Jadi ia merebahkan tubuhnya ke atas sofa sambil memejamkan mata.
"Habis makan rasanya ngantuk deh,"
"Ren!" Daliya yang sedang mencuci piring di dapur langsung mencak-mencak. "Tuh, kan? Ada aja alesannya! Tadi laper lah, sekarang ngantuk! Udah, nggak usah akting! Cepet bangun!"
Ren masih terdiam sambil pura-pura tertidur. Meski begitu bibirnya senyum-senyum tidak jelas.
"Ren! Jangan sampai aku pakai kekerasan ya!" ancam Daliya. Tentu saja ancaman itu tidak mempan pada Ren. Memangnya kekerasan seperti apa sih yang akan dilakukan wanita mungil itu kepadanya?
"Rasain!" Daliya menggunakan kedua tangannya untuk menggelitik pinggang Ren. Sontak saja Ren langsung terbangun sambil tertawa terbahak-bahak.
"Astaga, Daliya! Ya ampun, geli banget! Hahahaha!" Ren mencoba menghentikan aksi Daliya. Tapi sepertinya gadis itu tak kenal menyerah.
"Rasain kamu!" Daliya semakin ganas memainkan tangannya. Ren yang sudah merasa tidak kuat lagi akhirnya menangkap kedua tangan Daliya dan menarik tubuh gadis itu. Belum sempat melawan, Ren sudah berpindah posisi menimpa tubuh Daliya dan gantian menggelitik pinggangnya.
"Hahahaha! Ren! Udah! Hahahaha! Geli!" Daliya meronta-ronta, tapi cengkeraman Ren pada tangannya terlalu kuat. Barulah setelah Daliya meminta ampun, Ren berhenti. Tapi, saat itulah mereka baru sadar dengan posisi mereka saat ini.
Daliya berbaring di atas sofa, dengan kedua tangannya dikunci oleh Ren dan terangkat ke atas. Sementara itu tubuh Ren berada di antara kedua kaki Daliya yang terbuka.
Ren dan Daliya sama-sama menelan ludah gugup. Bohong kalau mereka tidak merasakan apa-apa dalam kondisi seperti ini.
"Ren?" Daliya berkata lirih, yang entah kenapa di telinga Ren terdengar seperti nyanyian siren yang mampu memikat nelayan untuk terjun ke laut. Kedua mata Ren menatap bibir Daliya yang berwarna merah muda, hasil polesan lipstik yang sedikit memudar.
"Ren?" Hidung Ren menyentuh ujung hidung Daliya, membuat deru napas mereka terdengar satu sama lain. Tinggal beberapa senti sampai bibir mereka bersentuhan, dan Daliya memejamkan matanya.
Apa sekarang sudah saatnya untuk berciuman?
Sedetik, dua detik, tidak ada yang terjadi. Daliya malah merasa genggaman tangan Ren pada kedua tangannya melonggar. Setelah itu udara di atasnya yang semula penuh menjadi kosong, dan tekanan sofa berubah ringan.
Daliya membuka mata dan mendapati Ren sudah berdiri sambil membelakanginya.
"Ayo," ucap Ren tanpa memandang ke arah Daliya. "Aku antar kamu pulang,"
Daliya bangkit dari posisi rebahannya dan bergegas menyambar tas dari meja makan, lalu ia berjalan mengikuti Ren keluar dari apartemen.
Di dalam lift pun, mereka berdua tidak saling bicara karena canggung. Ren memilih untuk berdiri di depan Daliya, dan sesekali melirik gadis itu dari pantulan kaca di dalam lift. Tak berbeda halnya dengan Daliya yang hanya bisa menunduk sambil memainkan kukunya.
Pintu lift terbuka dan kedua sejoli itu berjalan menuju pintu keluar. Security yang melihat mereka segera berdiri dan memberi hormat. Berbeda dengan tadi, Ren memilih untuk tidak menyapa satpam itu. Begitu juga dengan Daliya.
Masih dengan mulut terkunci, Ren membukakan pintu mobil dan membimbing Daliya masuk. Daliya pun hanya menurut saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Bahkan ketika mobil yang dikendarai Ren akhirnya meninggalkan pelataran gedung apartemen, masih tidak ada percakapan di antara mereka.
tulisannya juga rapi dan enak dibaca..
semangat terus dlm berkarya, ya! 😘
ujian menjelang pernikahan itu..
jadi, gausah geer ya anda, Pak Direktur..
tanpa gula tambahan, tanpa pemanis buatan..