apa jadinya kalau seorang istri dari CEO ternama selalu dipandang sebelah mata di mata keluarga sang suami.
kekerasan Verbal sekaligus kekerasan fisik pun kerap dialami oleh seorang istri bernama Anindyta steviona. memiliki paras cantik ternyata tak membuat dirinya di hargai oleh keluarga suaminya.
sedangkan sang suami yang bernama Adriel ramon hanya mampu melihat tanpa membela sang istri.
hingga suatu hari Anin mengalami hal yang membuat kesabaran nya habis.
akan kah Anin dapat membuat keluarga suaminya itu menerima balasan dendam darinya. semua jawaban itu terkuak dari novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifa Riris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 02
Sinar matahari menyingsing di sela-sela jendela kamar para penghuni rumah megah nan mewah milik suami Anin.
Sementara seisi rumah yang sedang terlelap tidur. Berbeda dengan Anin yang sudah sejak subuh tadi berkutik di dapur.
Adriel yang tak lain suami Anin. Berjalan kearah kulkas yang berada di dapur.
Melihat suaminya yang kini tengah menelisik kedalam kulkas. Anin langsung bertanya pada pria itu. "Mas nyari apa?"
"Bukan urusan kamu." Jawab Adriel dengan kasar.
Bahkan tangan pria itu menutup pintu kulkas dengan cukup keras.
Tak ada perlawanan ataupun pertengkaran akibat perilaku dari Adriel padanya. Anin hanya mampu membatin sekaligus tak henti-hentinya berdoa, agar suatu hari nanti suaminya dapat bersikap layaknya seorang suami yang mencintai istrinya.
Melihat sikap Adriel padanya selama 5 tahun ini. Membuat Anin mengingat kejadian 5 tahun dulu sebelum dirinya dapat menikah dengan pria itu. Dan kini mendapat status sebagai seorang istri, yang tak diinginkan oleh suami dan keluarganya.
********
Flashback on 5 tahun lalu
"Buk! Anin mohon jangan suruh Anin buat nikah. Masa depan Anin masih panjang. Lagi pula Anin juga pengen kuliah." Anin memohon pada ibunya dengan duduk bersimpuh dilantai.
Seakan tak dapat untuk bernegosiasi lagi, ibunya itu memilih memalingkan wajahnya dari hadapan Anin. Sembari berkata, "kamu bisa kuliah, tapi lihat jasad ibumu ini setelah itu."
Deg
Jantung yang tadinya berdetak normal, kini berdetak tak karuan. Seakan ingin lepas dari tempatnya.
Dengan nada bicara lirih, Anin berucap dengan nada cukup terpukul oleh ucapan ibunya tadi. "Buk! Anin cuman ingin lanjutin sekolah. Tapi kenapa ibuk bersikap seolah Anin, ingin melihat ibuk tiada. Nggak ada seorang anak yang akan tega melihat ibunya meninggal karna dirinya buk!"
"Ada, dan itu adalah kamu." Tukas ibu Anin.
Tak ingin menyerah begitu saja. Anin pun kembali angkat suara. "Anin nggak pengen buk, harus Anin ngomong apa lagi agar ibuk paham Anin."
Tak disangka air mata jatuh di pelupuk mata ibunya. Sesekali tangan wanita paruh baya itu menyeka air mata yang keluar dari matanya.
Wajahnya terlihat seakan tengah kecewa pada Anin. "Kau putri yang terbilang durhaka pada orang tua Anin. Ibu mu ini hanya ingin kamu menikah dengan orang kaya itu. Dengan begitu kehidupan ibu dan juga adik mu bisa terjamin nantinya."
Tentu Anin yang memiliki hati cukup rentan. Bahkan terbilang mudah untuk terbawa suasana. Air matanya pun juga ikut keluar tanpa diminta, terlihat seperti korban disini.
Akan tetapi di mata ibu nya dialah pelaku dari semua kesusahan yang di alami keluarganya itu.
Sembari menangis terisak-isak Anin kembali memohon pada ibunya. "Anin mohon jangan ngomong kalau Anin adalah putri durhaka. Setelah lulus sambil kuliah juga, Anin janji bakal kerja. Supaya ibuk dan arin nggak susah hidupnya."
Mendengar lontaran kata putrinya. Ibunya sontak menyingkirkan tubuh Anin yang memeluk lututnya. Hingga tubuh Anin tersungkur di lantai.
"Percuma bicara dengan wanita arogan dan egois seperti mu itu. Kalau bapak mu masih hidup, ibuk yakin dia pasti akan sangat menyesal karna telah rela mati hanya gara-gara nafkahin anak durhaka kayak kamu."
Setelah mengatakan hal itu ibunya pergi meninggalkan Anin yang masih tersungkur di atas lantai.
Meski tangisan Anin terisak cukup lirih. Akan tetapi ternyata semua itu tak membuat ibunya berempati pada dirinya. Malah seakan tak menutup telinga agar tak mendengar tangisan putrinya sendiri.
"Hiks hiks hiks..... " Anin masih menangis dengan posisi yang masih sama.
Dalam hati nya tak henti-hentinya mengutuk dirinya sendiri. Karna takdir buruk yang selalu ia terima. Semua itu ternyata berdampak pada kehidupan orang disekitarnya, termasuk ayahnya sendiri.
"Ibuk bener. Aku memang biang masalah untuk orang disekitarku, tapi aku juga tidak sanggup jika harus mengubur semua mimpi ku." Ujar Anin dalam hatinya.
Flashback off
"Anin!"
Teriakan seorang wanita menggema hingga sampai di telinga Anin. Lamunan tentang masa lalu pun buyar seketika.
"Anin! He Anin lo budek yah?"
Lagi-lagi suara gadis itu terdengar kembali. Dan kali ini lebih kencang seakan menunjukkan nada kemarahannya.
Cepat-cepat Anin berlari kearah sumber suara.
"Iyah nita ada apa?" Tanya Anin pada gadis yang berteriak tadi. Dan tak lain adalah adik iparnya sendiri.
Raut wajah Nita begitu merah padam. "Lo itu sengaja buat gue teriak-teriak Iyah?"
"Nggak Nit! Tadi mbak.... "
Belum sempat Anin melanjutkan ucapan nya. Dengan cepat Nita menyela, seakan tak menghargai apa yang di ucapkan oleh kakak iparnya sendiri. "Halah pakek alesan, udah cepet gosokin tuh baju gue. Cepet nggak pakek lama."
Sengaja tak ada pembantu di rumah megah nan besar itu. Karna mama mertuanya mengatakan untuk Anin menjadi ibu rumah tangga yang siap siaga.
Mengerti dan cakap dalam urusan rumah tangga di bidang apapun. Menerima nasihat yang tak ada salahnya untuk Anin lakukan, ternyata di manfaatkan oleh seisi rumah itu menjadikan Anin pengganti sebagai seorang pembantu.
"Yaelah malah bengong, udah cepet lakuin. Bikin orang darah tinggi aja." Sahut Nita, karna melihat kakak iparnya malah melamun.
Dengan sabar Anin berucap. "Nanti kakak setrikain yah, tapi nggak sekarang. Kakak siapin sarapan dulu buat mas Adriel."
Seakan tak menerima penolakan. Nita menyambar Anin dengan berbagai hinaan. "Eh jalang sialan, lo itu denger apa yang gue ucapin tadi kan."
"Iyah tapi...."
Belum sempat Anin menjawab ucapan Nita. Kini giliran suara Adriel terdengar memanggil namanya.
"Anin!"
Seketika Anin pun menengok keatas lantai dua dimana kamarnya dan Adriel berada.
"Iyah mas bentar." Sahut Anin dengan kencang.
Sedangkan Nita melihat kakak iparnya yang seperti wanita lelet dan tak cekatan. Membuatnya geram, dengan malas Nita berbicara pada Anin. "Baju ku harus tepat waktu nanti, ingat! Di setrika. Paham!"
Setelah mengatakan hal itu, Nita berlalu pergi begitu saja.
Tak lama suara Adriel kembali terdengar. "Anin!"
Hembusan nafas kasar Anin kekuarkan. Matanya menatap kearah dapur, masakan yang masih belum terselesaikan. Setelah itu matanya mengarah kearah kamar Nita yang meminta dirinya menyetrika secepatnya.
Dan kini matanya mengarah kearah lantai dua dimana suaminya berteriak memanggil namanya sejak tadi.
"Kalau aku bisa menghilang, jujur aku ingin menghilang sekarang." Batin Anin dalam hatinya.
Bersambung.