Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 - Gugurkan!! ~ Abimanyu
"Ra!! Are you okay?"
Panggilan berkali-kali dari Viona sebenarnya dapat Haura dengar. Namun, dia memilih untuk terus diam dan berpikir keras tentang apa yang terjadi padanya.
Mual-mualnya sudah mereda setelah lima menit menghabiskan waktu di dalam toilet untuk mengeluarkan isi perutnya. Berbagai dugaan menghampiri benak Haura dan dia tidak bisa menyimpulkan apa yang terjadi sebenarnya.
"Tidak mungkin, aku minum sebelum 72 jam ... tidak cuma sekali dan sesuai dengan petunjuk yang aku ketahui." Haura bergumam pelan.
Mengingat-ingat kembali barangkali dia yang lupa. "Atau mungkin salah minum obat? Tapi sepertinya tidak, Abimanyu tidak mungkin sejahil itu!!"
Sebelumnya ragu, beberapa detik kemudian yakin lagi tidak ada kesalahan dalam dirinya. Haura memijat pangkal hidung sebelum kemudian mengacak rambutnya
Baru saja tenang, nyatanya dia kembali dibuat kebingungan. Perasaan dimana dia panik pasca melewati malam itu kembali terulang, bahkan lebih panik lagi.
"Ck ... yang benar saja kalau hamil sekarang, Haura!!" gerutu Haura memaki diri sendiri yang dia rasa memang begitu bodoh saat ini.
Masih dengan Viona yang setia memanggilnya, bahkan sempat menawarkan bantuan Haura masih fokus dengan pikirannya.
"Clam down, Haura, ini bukan masalah besar ... kita bisa selesaikan!" Haura meyakinkan diri untuk tidak terlalu memusingkan masalah ini.
Tak pernah terbayangkan dalam hidup Haura bahwa dirinya akan menata masa depan di dalam toilet semacam ini. "Iya, bisa, tidak ada yang tidak bisa diselesaikan di dunia ini, 'kan?"
Dalam kesendirian dia bermonolog, padahal ada Viona yang bisa menjadi teman untuk bertukar pikiran. Akan tetapi, karena Haura merasa hal ini adalah aib yang sifatnya privasi, jelas harus dia tutup-tutupi.
"Ra!! Aku minta orang buat bukain pintunya sekarang ya!!" teriak Viona yang membuat Haura tersadar dimana kini dia berada.
Tidak ingin sampai melibatkan orang lain dan dikira yang tidak-tidak, Haura bergegas keluar setelah merapikan rambutnya.
Berusaha bersikap tenang seakan tidak terjadi apa-apa selain mual biasa. "Sorry lama, mual banget soalnya."
"Yakin cuma mual, Ra?" tanya Viona menatap curiga sahabatnya itu.
Sontak Haura mengulas senyum tipis sebagai jawaban pamungkasnya. "Ehm, cuma mual kok."
"Apa tidak perlu ke dokter?" tawar Viona yang sontak Haura tanggapi dengan gelengan cepat.
Jujur, dia tidak siap untuk itu. Bukan hanya karena takut ketahuan andai Viona yang menemani, tapi secara pribadi dan jiwa dalam dirinya belum sanggup menerima fakta itu.
Sungguh, entah apapun alasannya dia enggan dan Haura tidak bersedia. "Tidak apa, sudah mendingan ini."
Demi meyakinkan Viona, wanita itu mengaku demikian. Padahal, tubuhnya saat ini panas dingin lantaran gugup.
"Tapi kok wajahmu pucat banget, Ra?"
"Pucat wajar, lipstikku luntur semua, Ona," ungkap Haura beralasan dan sama sekali tidak sesuai dengan faktanya.
Akan tetapi, karena kemampuan akting Haura cukup mumpuni Viona yang merupakan teman dekatnya pun seakan tertipu dan percaya saya bahwa Haura hanya mual biasa.
Mereka kembali ke meja untuk menyelesaikan makan siang mereka. Tentu saja sudah berbeda, rasa lapar yang tadi menggebu-gebu mendadak hilang.
Viona seketika kenyang, apalagi Haura yang memang tidak merasa lapar sebelumnya. Tidak ingin terlalu lama membuang waktu, Haura justru pamit lebih dulu.
Beralasan harus segera terbang ke Bali, Haura benar-benar ingin meninggalkan Viona sendiri sampai wanita itu tak habis pikir.
"Bentar, kamu yakin tetap ke Bali, Ra?"
"Heum, yakin kok, kenapa, Na?" Haura balik bertanya tanpa menatap lawan bicaranya.
Viona menghela napas panjang. Belum apa-apa dia sudah lelah membayangkan sibuknya menjadi Haura. "Duh, Ra, apa tidak sebaiknya tunda saja?"
"Tunda gimana, Ona? Jelas tidak bisa, kan sudah tanda tangan kontrak," jawabnya berlagak si paling profesional dalam pekerjaan sampai rela mengabaikan kesehatan.
"Aku tahu, Ra!! Tahu banget kita memang harus profesional!! Tapi jangan lupakan kesehatan dong. Masa sekarang tetap nekat berangkat juga?" Viona menghela napas panjang dengan harapan Haura mendengar kekhawatirannya.
"Ehm sepertinya aku sudah terlambat, belum packing juga kebetulan ... dah, see you!!" Tanpa menanggapi ucapan Viona sebelumnya, Haura berlalu pergi begitu saja.
Menyaksikan hal ini Viona semakin bingung dengan perubahan sikap Haura. Bagaimana tidak? Haura yang sebelumnya selalu mengutamakan kesehatan dan menjalani pekerjaan sebagai pengisi waktu luang mendadak serius banting tulang.
Siang jadi malam, malam dijadikan siang dan tiada hari tanpa kesibukan sampai lupa kesehatan. "Apa yang sebenarnya terjadi? Sesakit apa luka yang kamu alami sampai kamu jadi begini, Haura?" tanya Viona dalam kesendirian tanpa tahu dimana dia akan mendapat jawaban.
.
.
"Ya Tuhan, kenapa harus begini?"
Setelah tadi dia mampu bersikap santai di hadapan Viona, ketika sendiri nyatanya hancur juga.
Haura menghela napas panjang pasca menyiapkan perlengkapannya. Sebentar lagi dia harus segera ke Bandara, tapi Haura masih di titik bingung tentu saja.
Ingin dia utarakan keresahannya pada Abimanyu. Akan tetapi, nyalinya tidak begitu besar dan takut justru disemprot dengan kata-kata mutiara.
Karena itulah, dalam diam Haura berpikir hendak diberitahu atau tidaknya. "Bilang tidak, bilang tidak bilang tidak bilang_"
"Ah bilang aja deh!!" ucap Haura kemudian mengambil keputusan dan segera menghubungi Abimanyu yang kemungkinan sedang sibuk di kantor.
Cukup lama dia menunggu sampai akhirnya diterima dan terdengar suara Abimanyu di sana.
"Ada apa?"
"A-aku mual-mual ... sepertinya benar hamil," aku Haura langsung pada intinya.
Tanpa dijelaskan juga Abimanyu mungkin mengerti karena tidak ada pertanyaan yang memperlihatkan dia bingung di sana.
"What the_ are you serious, Haura?" suara Abimanyu terdengar berbisik, kemungkinan khawatir bocor ke pihak lain.
"Iya, serius!!"
"Kapan mulainya?"
"Tadi, sewaktu di restoran ... padahal aku pesan menu yang biasa, tapi tadi baru disuap langsung huek-huek!! Dan parahnya lagi, aku sudah telat bulan ini," papar Haura mengadukan apa yang dia rasa.
Tak ada jawaban segera dari Abimanyu, kemungkinan pria itu berpikir keras hingga Haura bingung sendiri.
"Bim, gimana? Kalau sampai Papa tahu gimana?"
"Gugurkan!!"
Deg
Mata Haura mengerjap pelan, jantungnya berdenyut sewaktu Abimanyu menyarankan hal gila semacam itu padanya.
"Apa kamu bilang?"
"Gugurkan, kurang jelas?"
"Yang benar saja, masa langsung digugurkan? Bukankah itu sama saja dengan membu-nuh?"
"Lalu mau bagaimana lagi, Haura? Kamu tahu sendiri status pria itu bagaimana!! Andai tidak minta tanggung jawabnya bagaimana? Siap membesarkan anak itu sendirian? Kamu siap menghadapi dunia dengan status hamil tanpa suami?"
Panjang lebar Abimanyu bicara, tepat menusuk di dalam dada Haura yang berakhir membuat wanita itu meneteskan air mata saking bingungnya.
Dihadapkan dengan masalah ini gilanya luar biasa, Haura ingin menyerah dan sempat terpikir bahwa jalan keluar yang disarankan Abimanyu masuk akal juga.
Namun, dalam sekejap sesuatu dalam dirinya justru berontak detik itu juga hingga dengan tegas dia mampu untuk mengambil keputusan. "Siap!! Aku akan pertahankan anak ini!!"
"What? Kamu mabuk, Haura?!"
"Tidak, aku dalam keadaan sadar dan keputusanku sudah tepat."
"Jangan gila, Ra, coba kamu pikir bagaimana Mama, Papa dan keluarga kita andai tahu_"
"Tenang saja, aku pastikan keputusanku ini tidak akan mencoreng nama baik keluarga kita!!" pungkas Haura mengakhiri panggilan suara dan ditutup dengan air mata.
Perlahan, dia menunduk dan menyentuh perutnya yang masih rata. "Baiklah, jika memang sebesar itu kemauanmu untuk menjadi bagian hidupku, aku terima tanpa peduli siapa ayahmu ... anggap saja anak hantu."
.
.
- To Be Continued -
Assalamualaikum, maaf karena kemarin cuma up satu ... janjinya memang tiga, tapi aku takut malah terjebak review lama karena NT belum stabil seperti biasa. Mohon dimaklumi dan Author usahakan hari ini bisa tiga lagi, mohon doain NT nggak ngadi-ngadi karena ini menjelang bab 20 (Perjuangan pertama di retensi).