Di sebuah desa kecil bernama Pasir, Fatur, seorang pemuda kutu buku, harus menghadapi kehidupan yang sulit. Sering di bully, di tinggal oleh kedua orang tuanya yang bercerai, harus berpisah dengan adik-adiknya selama bertahun-tahun. Kehidupan di desa Pasir, tidak pernah sederhana. Ada rahasia kelam, yang tersembunyi dibalik ketenangan yang muncul dipermukaan. Fatur terjebak dalam lorong kehidupan yang penuh teka-teki, intrik, kematian, dan penderitaan bathin.
Hasan, ayah Fatur, adalah dalang dari masalah yang terjadi di desa Pasir. Selain beliau seorang pemarah, bikin onar, ternyata dia juga menyimpan rahasia besar yang tidak diketahui oleh keluarganya. Fatur sebagai anak, memendam kebencian terhadap sang ayah, karena berselingkuh dengan pacarnya sendiri bernama Eva. Hubungan Hasan dan Fatur tidak pernah baik-baik saja, saat Fatur memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi anak Hasan Bahri. Baginya, Hasan adalah sosok ayah yang gagal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belancang
Hasan memutuskan mengobati Eva secara tradisional. Dia memilih menggunakan tradisi "Belancang" metode usaha terakhir saat pengobatan dokter tidak bisa menyembuhkan penyakit, yang ada di desa Pasir. Ritual ini berlangsung tiga malam dengan melibatkan masyarakat sekitar. Hasan mengundang warga Pasir untuk menyiapkan segala persiapan.
Persiapan sebelum hari H
Para tetangga memasangkan kain-kain seperti tirai di dinding dan langit-langit rumah. Mereka juga menggantungkan dua tali menyerupai ayunan, tempat kapal lancang kuning di letakkan.
Selain itu, berbagai perlengkapan ritual disiapkan, termasuk:
Tempat ikan terubuk.
Laman, balai, atau pancang seno.
Tepung tawar, limau, sirih, kemenyan, dan tepak sirih.
Beras kunyit, air tujuh buyung (tempayan kecil dari tanah liat).
Mayang bungkus.
Makanan bejamu berupa nasi kunyit, nasi pulut hitam, pisang, ayam, dan hidangan lainnya, yang dimasukkan ke dalam paha atau talam (tempat makanan tradisional zaman dahulu.)
Hari Pertama
Di hari pertama, sang dukun memulai ritual dengan membaca mantra sambil mengayunkan kapal lancang kuning. Seorang dukun lainnya berbaring, tubuhnya diselimuti kain hitam hingga menutupi kepala. Orang-orang di sekitar rumah Hasan menyanyikan mantra berirama seperti pantun, yang dilantunkan berulang-ulang.
Diiringi suara pukulan pelepah kelapa ke lantai, mantra ini dipercaya mampu mempercepat bangkitnya dukun yang berada di bawah kain hitam. Semakin kuat pukulan dan nyanyian mantra, semakin efektif ritualnya. Para peserta yang duduk di dalam rumah Hasan melantunkan syair berikut:
“La ilaha illallah, la ilaha illallah,
la ilaha illallahu, la ilaha illallah.”
Ketika sang dukun akhirnya bangun, ia mulai melakukan gerakan menyerupai silat untuk memanggil jin atau mambang. Gerakan-gerakan itu kemudian diikuti prosesi menimang lancang secara bergantian, sebelum akhirnya kapal tersebut digunakan untuk mengupah-upah Eva yang sedang sakit.
Orang-orang terus memukul lantai, dan bernyanyi mengucapkan mantra.
"Pang keran di dalam tabung
ambik sebiji di bolah duo
angin koncang ombak besambung, lancang kuning belayar juo.
La illaha illallah la ilaha illallah
La ilaha illallahu la illaha illallah
Si mentung ombaknya meyah, mati dipukat
si rajo wali
Lah bogantung kepala Allah, kami betungkat kepada nabi.
La ilaha illallah la ilaha illallah
La ilaha illallah la illaha illallah
Ulak ulak taburkan sokam, onak monikam belanak padi
Kono tu lah kami beposan, jangan lamo ke tanjung bansi.
la ilaha illallah la ilaha illallah
Hai Allahu lailaha illallah.
Simantung ombaknya merah, mati di pukat si rajo wali
Lah begantung kepada Allah kami betungkat kepada nabi.
La illallah Hu la illaha illallah
Apo tando si gamal cino
Giling ompek tiang nyo Limo
Mintak maaf abang betanyo, cincin di jai punyo siapo.
Lailahaillallah lailahaillallah
La illaha illallah la illaha illallah
Lidi seduo lidi, lidi tetacak si duo batang
tak kusangko sekali-kali, malam ini menimang lancang.
La illallah la illaha illallah
La illaha illallah la illaha illallah
Sampai lebai menimang lancang
Jangan ditimang si laek laek
baik baik menimang lancang
lancang ditimang bobalik lai
lailahaillallah lailahaillallah lailahaillallah
Keseyak batang keseyak, kesembai batang kesembai
Moleyok datang moleyok
Melembai datang melembai."
Hari Kedua
Di malam kedua, ritual dimulai dengan mengelilingi tempat ikan terubuk. Orang-orang kemudian menikam ikan tersebut menggunakan kayu kecil yang telah diruncingkan. Acara ini menarik perhatian para tetangga Hasan yang mulai berdatangan sekadar untuk melihat.
Hari Ketiga dan Penutup
Pada hari terakhir, kapal lancang kuning dihanyutkan ke laut sebagai simbol pembuangan energi negatif dari tubuh Eva. Di rumah, Eva dimandikan dengan air dari tujuh buyung (tempayan kecil). Ritual mandi ini terus dilakukan setiap pagi atau sore hingga air dari semua buyung habis.
Hasil Pengobatan
Pengobatan ini dipercaya mampu membawa kesembuhan, meskipun terkadang diperlukan beberapa kali pelaksanaan untuk hasil yang optimal.
Tradisi belancang ini dilakukan bukan hanya sekedar untuk pengobatan semata, melainkan untuk melestarikan warisan budaya supaya tetap hidup, ditengah-tengah zaman modern. Orang-orang lebih percaya dokter.
Makna dan Filosofi Ritual
Kapal lancang kuning dianggap sebagai simbol perjalanan jiwa menuju pemurnian, sedangkan ritual pengayunan melambangkan usaha manusia untuk mencari keseimbangan antara dunia nyata dan alam gaib.
Nyanyian dan mantra yang dilantunkan memiliki dua fungsi utama:
Membangkitkan energi spiritual melalui harmoni suara dan irama.
Membantu proses penyembuhan psikologis bagi si sakit dan keluarganya, karena memberikan harapan dan keyakinan bahwa kesembuhan bisa diraih.
Ritual ini juga mencerminkan kebersamaan masyarakat. Keterlibatan banyak orang dari menyiapkan perlengkapan hingga melantunkan mantra, menjadi simbol gotong royong dan solidaritas yang masih terjaga kuat.
Semakin hari Eva memperlihatkan perubahan. Dia sudah tidak sering mengamuk lagi. Udah mulai mau makan. Hasan menjadi lega. Dia berharap Eva tidak akan kambuh lagi.
Sedangkan disisi lain, Agus mengunjungi Fatur bersama Halimah. Agus menceritakan sesuatu. Fatur mendengarkannya dengan diam dan sorot mata dingin.
Eva kian membaik, dan berusaha mencari pekerjaan untuk membantu suaminya. Namun rumor suaminya adalah pembunuh dan dia gila masih menyebar dikalangan tetangga dan perusahan tempat dia melamar pekerjaan. Sudah pulih dari masa traumanya, kini masalah lain menghantuinya. Sang suami tidak lagi bekerja, dia hanya mengandalkan uang masih dia simpan di bank.
"Aku dengar kau pernah ikut memanen kebun Fatur ya?" tanya Hasan kemudian.
"Iya, kenapa bang?" tanya Eva.
"Selama kamu sakit, Joni tidak pernah memberi uang hasil kebun itu. Bagaimana kita minta pada Joni uangnya. Hitung-hitung bisa nambah uang kita. Apalagi abang tidak bekerja. Nanti kita mau makan apa?" Eva mengangguk menyetujui ide sang suami.
Besok pagi mereka kembali kedesa Pasir. Mereka terkejut saat melihat Joni memeras para warga.Saat itu Joni meminta uang hasil jual hewan ternak. Dia menendang pria tua itu. Pria itu akhirnya memberikan uang itu dengan berat hati. Saat sang pria tua itu pergi. Eva mendekati Joni dan merampas uang itu. Joni tidak terima.
"Ini uangku... Dan kau masih berhutang padaku, hasil panen beberapa bulan ini tidak ada kau setor padaku. Ku tunggu, jika tidak mau ku kaporkan kau kepolisi." ancam Eva meninggalkan Joni dan kawan-kawannya dengan kesal.
"Sialan tu cewek. Baru sembuh belagu kali." umpat Joni.
"Kita harus singkirkan dia... Sepertinya dia akan jadi duri di kehidupan kita..." ujar Joni pada teman-temannya.
Namun, di kejauhan, seorang pria memakai jaket warna biru dan memakai masker hitam berdiri memperhatikan semua kejadian itu mulai menyusun rencana di dalam kepalanya. la tidak akan membiarkan kekejaman seperti ini terus terjadi di desa. la tahu, ini saatnya mengambil tindakan. Perjuangan melawan Joni baru saja dimulai.