Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ikhlas Memaafkan
Ikhlas Memaafkan
Hari-hari berlalu dengan lambat, namun dalam kesunyian yang kini terasa berbeda. Ada sesuatu yang baru dalam hati Nisa. Sebuah ketenangan yang datang pelan-pelan, meskipun luka-luka yang ada di dalamnya belum sepenuhnya sembuh. Memaafkan bukanlah proses yang mudah, dan bahkan saat itu, Nisa masih merasa bingung antara marah, kecewa, dan sedikit kebingungan. Namun, ada satu hal yang semakin jelas—ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebencian dan rasa sakit.
Ia mengingat kembali kata-kata Maya dan Arman beberapa waktu lalu, permintaan maaf yang tulus namun terasa begitu berat untuk diterima. Mereka berdua sudah mengakui kesalahan mereka, mencoba memperbaiki semuanya, meskipun perbuatan mereka tak bisa dengan mudah dilupakan. Nisa tahu bahwa untuk melangkah maju, ia harus memilih untuk memaafkan. Memaafkan bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Pada suatu pagi yang cerah, Nisa duduk di tepi jendela, menatap langit yang biru, dan merasakan hangatnya sinar matahari yang masuk ke dalam rumah. Ketika udara segar menyapu wajahnya, Nisa mulai merasa sedikit lega. Semua itu memberi ketenangan dalam pikirannya yang kacau. Ia tahu, saat ini, ia sudah siap untuk mengambil langkah besar—langkah menuju kedamaian.
Maya masuk ke dalam ruangan, dan melihat Nisa duduk sendirian dengan pandangan yang jauh. Ia tidak ingin mengganggu, tetapi ada sesuatu dalam hati Maya yang merasa bahwa saat itu adalah waktu yang tepat. Ia mendekat, duduk di samping putrinya, dan menatap wajah Nisa yang kini tampak lebih tenang.
"Nisa," suara Maya lembut. "Aku tahu ini tidak mudah untukmu. Aku tahu kamu masih terluka, dan mungkin tidak akan pernah sepenuhnya bisa melupakan semuanya. Tetapi aku ingin kamu tahu, aku selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."
Nisa menoleh ke ibunya, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku tahu, Mama. Aku tahu itu." Ia menghela napas, seakan melepaskan beban berat yang selama ini ia pendam. "Aku juga masih berusaha untuk menerima semuanya. Aku merasa bingung, tetapi aku tahu kalau aku terus menahan ini, aku akan terus hidup dalam bayang-bayang kesedihan. Dan itu tidak baik untuk kita semua."
Maya meraih tangan Nisa, menggenggamnya dengan lembut. "Aku minta maaf, Nisa. Aku tahu ini tidak akan mudah, dan aku tidak bisa meminta lebih dari kamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal atas semua yang terjadi."
Nisa menatap tangan ibunya, terasa hangat, dan ada perasaan yang lebih damai saat itu. "Aku ingin memaafkan, Mama," katanya perlahan. "Aku ingin melupakan rasa sakit yang telah ada, meskipun itu tidak mudah. Aku ingin kita kembali seperti dulu, meskipun aku tahu tidak ada yang akan pernah benar-benar sama."
Maya menatap Nisa dengan penuh harapan, dan matanya mulai berkaca-kaca. "Terima kasih, Nisa. Aku tahu ini bukan hal yang mudah untukmu. Aku akan menunggu, aku akan terus berusaha memperbaiki semuanya."
Setelah beberapa saat hening, Nisa melanjutkan dengan suara yang lebih tenang, "Aku tahu Mama tidak sempurna, begitu juga aku. Tapi aku ingin belajar untuk memaafkan, bukan hanya untuk Mama, tapi juga untuk diriku sendiri. Aku ingin melepaskan rasa sakit ini, dan menerima kenyataan bahwa kita semua bisa berubah."
Maya tersenyum dengan air mata yang mengalir di pipinya. "Aku sangat bangga padamu, Nisa. Kamu adalah anak yang kuat. Aku tahu kita masih memiliki banyak hal yang perlu diperbaiki, tapi aku yakin kita bisa melakukannya bersama."
Tangan Nisa yang menggenggam tangan ibunya terasa semakin erat. Meskipun jalan untuk memaafkan tidaklah mudah, ia merasa sedikit lebih ringan setelah mengucapkan kata-kata itu. Tidak ada lagi beban yang terpendam, tidak ada lagi amarah yang menguasai pikirannya. Hatinya mulai menemukan kedamaian.
Arman masuk ke dalam ruangan, tampak ragu sejenak, tetapi ketika melihat keduanya duduk bersama, ia memutuskan untuk bergabung. "Aku ingin meminta maaf lagi, Nisa," kata Arman dengan suara rendah, seakan berusaha berbicara pelan agar tidak mengganggu ketenangan yang sudah tercipta. "Aku tahu ini tidak akan menghapus semuanya, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal. Aku hanya berharap kita bisa mulai memperbaiki apa yang rusak."
Nisa menoleh ke arah Arman, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku tahu, Arman," jawabnya pelan. "Aku sudah memaafkanmu. Aku tidak ingin terus hidup dalam rasa sakit ini. Aku hanya ingin kita semua belajar dari kesalahan, dan berjalan ke depan."
Maya dan Arman saling bertukar pandang, mereka merasa terharu mendengar kata-kata Nisa. Mereka tahu bahwa memaafkan bukanlah hal yang mudah, tetapi Nisa sudah mulai membuka hatinya. Itu adalah langkah besar, sebuah langkah menuju kedamaian yang mereka semua dambakan.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan," kata Nisa dengan suara tenang, "tapi aku ingin kita belajar untuk saling menghargai dan mempercayai satu sama lain lagi. Aku ingin kita bisa memulai dari awal, meskipun itu tidak mudah. Aku ingin percaya pada kita."
Maya memeluk Nisa dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Nisa. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya berharap kita bisa menjalani sisa waktu kita dengan lebih baik."
Arman juga mendekat dan mengangguk, menundukkan kepala dengan rasa penyesalan yang mendalam. "Aku akan berusaha sebaik mungkin, Nisa. Aku janji."
Di tengah kedamaian yang mulai terjalin kembali, Nisa merasa bahwa memaafkan adalah langkah yang benar. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan. Dengan memaafkan, ia memberi kesempatan bagi dirinya untuk melangkah maju, untuk menemukan kebahagiaan dan kedamaian yang telah lama ia cari. Dan meskipun jalan itu masih panjang, ia tahu bahwa dengan hati yang ikhlas, mereka bisa melewati semuanya bersama.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Nisa merasakan sebuah harapan baru. Sebuah harapan untuk masa depan yang lebih baik, untuk keluarga yang lebih utuh.