Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Selalu Ingin Dekat
Tatapan sinis dilemparkan Ajeng pada Bisma. Untuk apa mengharapkan ia menjadi teman, selama ini saja Bisma tak peduli akan keberadaan Ajeng dan Lala, sehingga putri kecilnya tidak pernah merasakan kehangatan kasih sayang seorang laki-laki yang disebut ayah.
Melihat sinar permusuhan yang tergambar di mata bening Ajeng membuat Bisma menghela nafas. Tapi ia tak patah semangat. Entah kenapa kali ini ia ingin mendengar suara Ajeng berbicara lebih lama padanya. Walau pun yang ia dengar hanya nada sinis tak bersahabat yang keluar dari bibir merah bata itu.
“Saya tidak akan melarang pak Bisma datang untuk menemui Lala. Karena itu adalah hak anda,” Ajeng berkata tegas tanpa memandang wajah Bisma.
Posisi keduanya yang bersisian membuat Ajeng menjauhkan diri. Aroma parfum maskulin begitu melekat dalam penciumannya. Ia menarik lengannya dari tangan kursi yang tanpa ia sadari bersenggolan dengan lengan kokoh Bisma.
Ajeng menyandarkan tubuhnya dan melipat tangan ke dada. Kini matanya fokus ke depan melihat bupati Malang yang sedang menyampaikan kata sambutan sekaligus membuka acara.
“Jeng ....” Bisma mendekatkan tubuhnya ke samping hingga wajah keduanya hampir tak berjarak.
Ajeng terkejut dengan perbuatan Bisma. Hembusan hangat nafas Bisma terasa ke wajahnya. Ia mendelik tajam atas perbuatan Bisma.
Senyum mengembang di wajah Bisma melihat wajah Ajeng memerah menahan emosi atas perbuatannya. Entah kenapa hatinya merasa senang telah berhasil membuat Ajeng kesal. Ada kebahagiaan tersendiri yang ia rasakan untuk terus mengganggu sang mantan.
Fokus Bisma kini pada satu titik. Matanya menatap tanpa berkedip mendengar kata demi kata yang Ajeng sampaikan saat menjadi nara sumber pada seminar sehari bagi peserta UKM dan UMKM yang berada di kabupaten Malang.
Ucapan terima kasih ia sampaikan langsung kepada bapak bupati yang hadir dan langsung memberikan apresiasi padanya, serta pihak terkait yang mendukungnya sehingga sampai pada titik keberhasilan yang ia capai sekarang.
Ajeng tidak pelit dalam membagi ilmunya. Ia pun siap membantu para pelaku usaha atau pemain baru yang kekurangan modal dengan menjadi fatner untuk memasarkan produk indsutri rumah tangga yang baru mulai beroperasi dan belum mempunyai nama di pasaran.
Aplus yang meriah diberikan saat ia telah selesai menyampaikan materi untuk membangkitkan motivasi bagi pelaku usaha baru. Saat Ajeng turun dari podium Hilman menghampirinya dengan memberikan buket bunga mawar.
Sontak satu podium bersorak menyaksikan pemandangan romantis yang tersaji di hadapan. Wajah Ajeng merona tidak menyangka dengan perlakuan Hilman di hadapan pejabat kota Malang bahkan para peserta UMKM dan UKM yang hadir pada kegiatan yang sedang berlangsung.
“Ih, pak Hilman bikin ngiri .... “ grasa-grusu dan suara usil terdengar di sisi podium yang dilakukan staf Bisma melihat Ajeng yang hanya tersenyum sementara Hilman mengangkat dua jempol membuat para perempuan yang ada bertepuk tangan.
“Senengnya jadi bu Ajeng. Mau dong pak Hilman,” Wina perempuan lajang staf kantor Bisma pun turut mengeluarkan suara.
Bisma mengepalkan jemarinya dengan perasaan kesal. Ia melihat Hilman dan Ajeng menghampiri Didik, asistennya yang masih berkoordinir dengan Deby untuk sesi selanjutnya.
Matanya tak lepas terus memandang pasangan yang kini berjalan menjauh meninggalkan ballroom hotel menuju pintu keluar. Dengan cepat ia menghampiri Didik yang masih terlibat percakapan dengan Deby.
“Dik ... “
“Eh pak Bisma .... “ Didik memandang Bisma dengan serius.
“Kemana bu Ajeng dan temannya tadi?” tanpa mempedulikan keberadaan Deby yang menatapnya penuh harap Bisma langsung menanyai stafnya.
“Oh itu ... pak Hilman dan mbak Ale ade urusan penting di luar yang tak bisa ditinggalkan .... “ Didik menjelaskan seperti apa yang dikatakan Hilman padanya.
“Kemana ?” rasa penasaran Bisma membuatnya terus mengejar Didik.
“Kurang tau juga si pak,” Didik berkata sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan tatapan tidak nyaman pada atasannya.
“Aku keluar. Tolong handle kegiatan selama aku belum kembali,” Bisma berkata tegas.
Tanpa menghiraukan pandangan kedua stafnya, langkah kaki Bisma membawanya keluar dari ballroom. Perasaannya lega saat sampai di lobi melihat Ajeng dan Hilman yang baru saja memasuki mobil yang menjemput keduanya.
Ia dapat melihat bagaimana perlakuan Hilman yang membukakan pintu untuk Ajeng dan menutupnya kembali begitu Ajeng sudah duduk di bangku kedua.
“Pak .... “ dengan gopoh Ibnu datang menghampirinya.
“Cepat ambil mobil! Ikuti mobil itu!” tunjuk Bisma langsung memerintah Ibnu untuk mengikuti pergerakan mobil yang membawa Ajeng dan Hilman keluar dari area hotel.
“Kita kemana si pak?” Ibnu tak bisa menyembunyikan rasa penasaran akan sikap atasannya yang tampak tegang kali ini.
“Ikuti saja, uang driver nanti ku ganti,” Bisma berkata datar tanpa memandang Ibnu, “Dan jangan lupa jaga jarak aman, jangan ketauan.”
Ibnu langsung terdiam mendengar ucapan atasannya. Memang baru tiga bulan ia dekat dengan atasannya yang baru. Sikap Bisma yang loyal membuatnya senang bekerja bersama dan mengikuti apa pun yang diinginkannya.
Sebelum kedatangan Bisma, atasannya adalah RenoAndika yang kini telah mutasi ke Kaltim dan berpindah dinas. Berganti atasan juga memberikan tambahan rejeki padanya. Setiap tugas yang ia lakukan di luar jam kantor, cuan akan selalu mengalir. Bisma tidak pelit untuk berbagi.
Hanya yang tidak ia sukai adalah kedekatan atasannya dengan Deby yang menurutnya bukan perempuan yang pantas untuk dijadikan pendamping hidup. Apalagi sekelas Bisma yang ia lihat adalah lelaki lurus.
Hampir satu jam perjalanan mereka lewati hingga memasuki pedesaan yang tampak adem dan tenang. Mobil yang dikendarai Ibnu akhirnya memasuki sebuah kawasan kuliner sederhana yang kini sudah tampak ramai, bertepatan dengan jam makan siang.
Ibnu tidak tau siapa yang kini mereka ikuti dan misi apa yang sedang mereka jalankan sehingga terus mengikuti mobil yang kini mulai terparkir pada garasi yang tersedia.
Dengan masih menjaga jarak aman, akhirnya Ibnu memarkir mobil. Matanya tajam melihat penumpang yang mulai turun dari mobil yang berjarak tujuh meter dari keberadaan mereka saat ini.
“Lho pak, itu kan mbak Ale dan mas Hilman?” Ibnu tak bisa menyembunyikan rasa penasaran yang sejak tadi sudah mengganggu pikirannya.
“Yok turun dan ikuti mereka,” tanpa ada keinginan menjelaskan Bisma memerintah Ibnu untuk mengikutinya.
Dengan penuh keheranan Ibnu melihat Bisma yang membuka kemeja dinasnya dan menyisakan kaos polos biru. Kaca mata hitam telah bertengger di hidung mancungnya, tak lupa topi bermerk yang kini telah sempurna menutup rambut hitam lebatnya.
Melihat gaya melongo Ibnu membuat Bisma kehilangan kesabaran. Ia membuka dashboard mobil mengeluarkan kaca mata hitam dan topi yang ada.
“Nih, cepat kenakan. Ganti kemejamu dengan kaos yang ada dalam paper bag di belakang.”
Mata Ibnu langsung membulat melihat merk terkenal dari paper bag yang berisi baju kaos Balenci*** tersebut.
“Buat saya pak?” Ibnu tidak percaya dengan barang bermerk yang kini ada di tangannya.
“Potong gaji,” jawab Bisma datar tanpa mempedulikan wajah cengo Ibnu.
“Ya Allah begini rasanya make barang bermerk .... “ guman Ibnu setelah keluar dari mobil.
Ia langsung mengejar langkah Bisma yang kini telah jauh dari pandangan matanya. Hatinya diliputi berbagai tanya akan kelakuan Bisma yang mengikuti pasangn yang tidak menyadari kehadiran mereka berdua.
Kini Ibnu tau, bahwa mereka telah berada dalam area budi daya lele. Ia memandang sekelilingnya. Rasa kagum muncul dalam benaknya.
“Wah, kaya sekali orang yang punya resto dan kolam lele yang diproduksi sendiri,” gumannya sambil menggelengkan kepala penuh kekaguman.
Dari tempatnya berdiri saat ini, ia bisa menghitung ada 10 kolam yang lumayan luas dengan beberapa karyawan yang melakukan tugasnya masing-masing.
Bisma masih mengikuti langkah Ajeng dan Hilman yang kini bersama dengan seorang lelaki paro baya berkeliling di area kolam. Ia memasang telinga dengan tajam saat Ibnu berjalan mendekat. Dengan tangannya ia memberi isyarat agar Ibnu tetap berada di posisinya. Ia tidak ingin Ajeng curiga dengan keberadaannya yang kini berada di belakang mereka.
“Kenapa bapak ingin melepas lahan lele semua ini?” suara Ajeng tertangkap jelas di pendengarannya.
Pak Tejo si pemilik lahan tersenyum ramah mendengar pertanyaan Ajeng. Tatapannya mengarah memandang kejauhan.
“Anak saya ada dua, perempuan dan laki-laki. Semuanya pedagang di Surabaya dan sudah berkeluarga. Keduanya tidak ingin melihat saya lelah mengelola kolam ini. Apalagi di usia yang sudah sepuh .... “ pak Tejo berkata lirih.