Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasihat Bijak
"Anak-anakku, waktu kita semakin dekat dengan ujian kelulusan. Saya tahu kalian semua sudah lelah dan mungkin merasa tegang. Tapi, saya ingin kalian tahu bahwa saya percaya pada kalian," ujar Fitri dengan suara yang penuh semangat.
"Kalian adalah generasi penerus bangsa ini. Kalian punya potensi yang luar biasa. Jangan biarkan rasa takut atau keraguan menghalangi kalian untuk meraih mimpi-mimpi kalian."
Fitri melihat sekeliling kelas. Wajah-wajah yang tadinya terlihat lesu kini mulai menunjukkan sedikit semangat. Ia tersenyum, hatinya terenyuh melihat perubahan itu.
"Saya tahu, tidak semua dari kalian punya cita-cita yang sama. Ada yang ingin menjadi dokter, insinyur, pengusaha, seniman, guru, dan lain sebagainya. Tapi, apapun mimpi kalian, kejarlah dengan sungguh-sungguh."
"Jangan pernah takut untuk bermimpi besar. Jangan biarkan orang lain meremehkan kalian. Tunjukkan pada dunia bahwa kalian bisa meraih apa yang kalian inginkan."
Fitri berhenti sejenak, ia menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin kalian semua lulus dengan nilai yang memuaskan. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah kalian harus menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara."
"Jadilah orang yang jujur, bertanggung jawab, dan berjiwa sosial. Jangan hanya memikirkan diri sendiri, tapi juga pikirkan orang lain yang membutuhkan bantuan kalian."
"Saya yakin, kalian semua bisa menjadi seperti itu. Kalian adalah harapan bangsa ini. Masa depan bangsa ini ada di tangan kalian."
Fitri mengakhiri ucapannya dengan senyuman yang tulus. Ia melihat mata anak didiknya yang berbinar-binar. Ia tahu, kata-katanya telah menyentuh hati mereka.
"Anak-anakku, ingatlah pesan saya ini. Jangan pernah menyerah pada keadaan. Teruslah berjuang, teruslah belajar, dan teruslah bermimpi. Saya akan selalu ada di sini untuk mendukung kalian."
Kelas XII IPA 3 menjadi hening. Semua mata tertuju pada Fitri. Kemudian, tepuk tangan bergemuruh di seluruh kelas. Fitri tersenyum haru, ia tahu bahwa ia telah memberikan semangat baru bagi anak didiknya.
****
Bu Asri menghela napas panjang. Kelas XII IPA 2 benar-benar di luar kendali. Suara gaduh mereka bercampur aduk, mulai dari obrolan yang tidak ada habisnya, tawa yang berlebihan, hingga suara kursi yang diseret-seret.
"Anak-anak, tolong tenang sebentar," ucap Bu Asri dengan suara yang berusaha dikeraskan. Namun, suaranya tenggelam dalam kebisingan kelas.
Bu Asri mencoba berbagai cara untuk menenangkan kelasnya. Ia berjalan mondar-mandir di depan kelas, berharap kehadirannya bisa membuat mereka sedikit tenang. Ia juga mencoba bertepuk tangan, berharap suara tepukannya bisa menarik perhatian mereka.
Namun, semua usahanya sia-sia. Kelas tetap gaduh, seolah-olah tidak ada seorang pun yang peduli dengan kehadirannya. Bu Asri merasa frustrasi. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi anak-anak didiknya tetap tidak mau mendengarkan.
"Baiklah, kalau kalian tidak mau tenang, saya tidak akan melanjutkan pelajaran hari ini," kata Bu Asri dengan nada yang sedikit kesal. Ia kemudian duduk di kursinya dan membiarkan kelas tetap gaduh.
Beberapa saat kemudian, kelas mulai sedikit tenang. Anak-anak mulai menyadari bahwa Bu Asri tidak lagi berusaha untuk mengajar. Mereka mulai merasa bersalah karena telah membuat Bu Asri kesal.
Seorang siswa, memberanikan diri untuk bertanya, "Bu, kenapa Ibu tidak melanjutkan pelajaran?"
"Kalian sendiri yang membuat saya tidak bisa melanjutkan pelajaran," jawab Bu Asri dengan nada yang masih kesal. "Kalian terlalu ribut, tidak ada yang mau mendengarkan saya."
Ia dan beberapa siswa lainnya merasa bersalah. Mereka kemudian meminta maaf kepada Bu Asri dan berjanji akan tenang selama pelajaran berlangsung.
Bu Asri melihat kesungguhan di mata anak-anak didiknya. Ia kemudian memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka.
"Baiklah, saya akan memberikan kalian kesempatan. Tapi, ingat, ini adalah kesempatan terakhir. Kalau kalian masih ribut, saya tidak akan segan-segan untuk memberikan kalian hukuman," kata Bu Asri dengan tegas.
Kelas menjadi hening. Anak-anak mulai fokus pada pelajaran yang akan disampaikan oleh Bu Asri. Bu Asri pun mulai menjelaskan materi tentang genetika dengan sabar dan telaten.
****
Fitri melangkah keluar dari kelas XII IPA 3 dengan perasaan lega. Jam mengajarnya telah selesai, dan ia bisa kembali ke kantor guru untuk beristirahat sejenak sebelum memulai pelajaran berikutnya. Saat ia berjalan di lorong sekolah, ia berpapasan dengan Bu Vivi, guru matematika senior yang terkenal suka mencari perhatian.
Bu Vivi, yang dikenal sebagai bagian dari geng Bu Ida, melirik Fitri dengan sinis. Ia tidak pernah menyukai Fitri sejak pertama kali Fitri mengajar di sekolah ini. Bu Vivi merasa iri dengan Fitri yang lebih muda, lebih populer di kalangan siswa, dan memiliki gaya mengajar yang lebih modern.
"Fitri," sapa Bu Vivi dengan suara yang dibuat-buat ramah. "Habis mengajar lagi? Rajin sekali kamu."
Fitri tersenyum tipis. Ia tahu Bu Vivi tidak benar-benar menyukainya. "Iya, Bu. Sudah tugas saya," jawab Fitri singkat.
"Tapi, jangan terlalu berlebihan, Fitri," kata Bu Vivi dengan nada yang merendahkan. "Mengajar itu tidak perlu terlalu cari muka di depan anak didik. Nanti mereka jadi manja."
Fitri menghela napas dalam hati. Ia sudah sering mendengar komentar seperti ini dari Bu Vivi dan teman-temannya. Mereka selalu berusaha mencari celah untuk menjatuhkan Fitri.
"Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik untuk anak didik saya, Bu," jawab Fitri dengan tenang. "Saya ingin mereka termotivasi dan semangat dalam belajar."
"Alah, alasan saja kamu," balas Bu Vivi sinis. "Kamu hanya ingin terlihat baik di mata mereka, kan? Biar nanti dapat pujian dari kepala sekolah."
Fitri tidak ingin terpancing emosi. Ia memilih untuk diam dan tidak menanggapi ucapan Bu Vivi. Ia percaya bahwa apa yang ia lakukan sudah benar, dan ia tidak perlu membuktikan apapun kepada Bu Vivi.
"Saya permisi dulu, Bu," kata Fitri sambil tersenyum sopan. Ia kemudian melanjutkan langkahnya menuju kantor guru, meninggalkan Bu Vivi yang masih menatapnya dengan sinis.
****
Di ruang kantor guru, Bu Asri menghampiri Fitri dengan wajah penasaran. Ia melihat Fitri selalu berhasil menciptakan suasana kelas yang tertib dan kondusif, sesuatu yang sangat ia inginkan namun belum bisa ia capai.
"Fitri, bolehkah saya bertanya sesuatu?" sapa Bu Asri dengan ramah.
"Tentu saja, Bu," jawab Fitri sambil tersenyum.
"Bagaimana sih caranya kamu bisa membuat kelas selalu teratur dan tertib? Tadi saya mengajar di kelas XII IPA 2, anak-anaknya ribut sekali, tidak ada yang mau mendengarkan saya," keluh Bu Asri.
Fitri mengangguk mengerti. Ia tahu betul bagaimana rasanya menghadapi kelas yang gaduh. "Bu, setiap anak itu unik, punya karakter yang berbeda-beda. Ada yang mudah diatur, ada juga yang sulit. Tapi, ada beberapa tips yang bisa kita coba," ujar Fitri.
"Pertama, kita harus membuat kesepakatan kelas di awal tahun ajaran. Kesepakatan ini berisi peraturan-peraturan yang harus dipatuhi oleh semua siswa. Dengan adanya kesepakatan, siswa akan merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketertiban kelas," lanjut Fitri.
"Kedua, kita harus memberikan perhatian yang sama kepada semua siswa. Jangan hanya fokus pada siswa yang pintar atau yang bermasalah saja. Setiap siswa punya potensi yang harus kita kembangkan," kata Fitri lagi.
"Ketiga, kita harus menggunakan metode mengajar yang bervariasi. Jangan hanya ceramah saja. Sesekali kita bisa menggunakan diskusi, kerja kelompok, atau bermain peran. Dengan metode yang bervariasi, siswa tidak akan merasa bosan dan lebih termotivasi untuk belajar," jelas Fitri.
"Dan yang terakhir, kita harus menjadi guru yang Humanis. Kita harus bisa memahami perasaan siswa. Jangan hanya menuntut mereka untuk belajar, tapi juga harus peduli dengan masalah-masalah yang mereka hadapi," pungkas Fitri.
Bu Asri mendengarkan penjelasan Fitri dengan seksama. Ia merasa sangat terbantu dengan tips yang diberikan oleh Fitri. "Terima kasih banyak, Fitri. Tips ini sangat bermanfaat bagi saya," ucap Bu Asri dengan tulus.
"Sama-sama, Bu. Saya juga masih belajar kok. Kita bisa saling berbagi pengalaman," jawab Fitri dengan rendah hati.