Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Direktur Baru
Pagi ini, Karina merasa tubuhnya lebih segar. Pusingnya sudah hilang dan kepalanya sudah cukup ringan daripada kemarin. Hari ini, ia akan mulai masuk kerja, merasa bosan karena hanya berdiam diri di rumah. Karina tidak melihat suaminya di kamar, padahal ini masih jam setengah enam pagi.
Samar-samar, ia mendengar suara dari arah dapur. Karina turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju dapur. Ia menemukan Nino yang sedang memasak. Kemarin, Mbak Tika sudah mengatakan jika hari ini tidak bisa datang karena harus menghadiri pernikahan saudaranya.
Karina tersenyum saat melihat pria itu meringis karena menyentuh telinga panci tanpa menggunakan cempal tangan. Kemudian, ia menghampiri suaminya yang sibuk memasak. Nino menoleh saat sudut matanya melihat seseorang yang berjalan menuju ke arahnya.
"Gimana keadaan kamu hari ini?" tanya Nino. Ia menempelkan punggung tangannya di dahi Karina.
"Demamku udah hilang, Mas. Hari ini aku mau kerja."
Nino mengernyit. "Yakin kamu udah sembuh?" Nino mematikan kompor, lalu melingkarkan tangan di pinggang Karina. "Kamu kayak masih sakit, deh."
"Yakin, kok." Karina mengangguk cepat. "Pusingku udah hilang, demamnya juga." Karina meletakkan dagunya di dada pria itu, sehingga ia mendongak menatap Nino. "Aku bosan diem di rumah, Mas. Boleh ya, aku kerja hari ini."
Nino bergumam seraya menimbang-nimbang. Kemudian, mengangguk. Seulas senyum terbit di bibir Karina. Ia berjinjit untuk mencium bibir Nino sekilas. "Makasih."
"My Pleasure, Dear." Nino balas mencium Karina berkali-kali.
***
Karina menopang kepala dengan kedua tangan. Memerhatikan setiap gerak-garik suaminya yang sedang menyiapkan sarapan. Ia dilarang untuk membantu dan hanya diperbolehkan duduk manis saja di kursi meja makan.
Entah hanya perasaannya saja atau memang Nino yang bertambah tampan hari ini. Karina tersenyum-senyum menatap suaminya yang berjalan ke sana kemari.
"Mas."
"Hmm." Nino bergumam tanpa menatap Karina. Ia sedang meletakkan piring di depan tempat duduknya.
"Kamu ganteng deh hari ini."
Aktivitas Nino segera terhenti dan menatap Karina yang tersenyum ke arahnya. Lalu, Nino terkekeh, ia beralih menyimpan piring di hadapan Karina. Kemudian, membungkuk untuk menyejajarkan pandangan mereka. Jarak pandang mereka hanya beberapa senti saja.
"Oh, ya?" Nino menangkup wajah Karina dengan kedua tangannya. "Kamu juga cantik hari ini. Eh?" Nino bergumam seraya berpikir. "Enggak, deh. Tiap hari kamu cantik."
Rona merah merangkak naik ke wajah wanita itu. Nino tertawa pelan melihatnya. Niat hati membuat Nino salah tingkah, ternyata malah Karina yang dibuat salah tingkah.
"Ayo, kita sarapan." Nino mengecup singkat bibir Karina. Lalu, ia kembali menegakkan tubuhnya dan berjalan menuju tempat duduknya di seberang Karina. "Oh, ya, aku mulai ketemu Mbak Amira besok."
Karina menuangkan nasi ke piring milik Nino. Ia melirik sekilas ke arah pria itu. "Bukannya akhir pekan ya kamu jadwalinnya?"
"Aku percepat lagi."
Karina tertegun sejenak. Menyadari kekhawatirannya, Nino memegang tangan istrinya yang terulur bebas di atas meja.
"Semua akan baik-baik aja, kok. Lebih cepat lebih baik, kan?"
"Iya, tapi …."
Nino meremas tangan Karina. "Kamu gak usah khawatir. Aku bisa jalani semuanya, ada kamu yang jadi penyemangat aku."
Karina menatap Nino, lalu tersenyum seraya mengangguk. Karina tetap menatap Nino saat dia sudah mulai menyantap sarapannya. Usaha Nino untuk kembali pulih sangat besar. Namun, terkadang Karina berpikir, apakah ia bisa menemaninya di saat-saat sulitnya nanti?
Karina membuang napas pelan. Ia harus bisa, ia akan bersama Nino dalam keadaan apa pun.
***
"Sampai jumpa nanti sore, ya," ujar Karina seraya menyelempangkan tasnya. Mereka sudah sampai di kantor Karina setelah hampir lima belas menit terjebak macet. Akibatnya, ia jadi nyaris terlambat.
"Nanti siang mau aku pesenin makanan, gak?" tanya Nino.
Karina berpikir sejenak. "Boleh. Harusnya aku yang tanya itu ke kamu, tapi kok malah kamu yang tanya ke aku."
Nino terkekeh. "Ya, gak apa-apa. Emangnya salah aku nanya gitu?"
Karina tersenyum seraya menggeleng.
"Ya, udah, cepet turun, gih." Nino melirik jam tangannya. "Nanti keburu telat."
Karina merentangkan tangannya meminta dipeluk. Nino menyambutnya dengan hangat seraya memberikan kecupan di dahi, pipi, dan bibirnya. Setelah itu, Karina turun dari mobil, ia juga melambaikan tangan sebelum Nino kembali melajukan mobilnya.
"Karina!" seru Safira yang sudah berdiri di pos satpam.
Karina menoleh ke arah wanita itu, ia tersenyum dan segera berlari kecil ke arahnya.
"Lo udah sehat?" tanya Safira.
Karina berdecak. "Kalau gue masih sakit, gue gak mungkin ada di sini."
Safira tersenyum lebar. Lalu, menggandeng tangan sahabatnya. Mereka melangkah menuju lobi kantor yang sudah ramai orang masuk ke gedung itu.
"By the way, kita kedatangan Direktur Kreatif baru kemarin."
Karina menoleh pada Safira. "Oh, ya? Jadi, pengganti Bu Nadia masuk kemarin?"
Safira mengangguk. "Masih muda lho orangnya, Na. Gue tebak sih seusia suami lo."
Karina bergumam pelan sebagai tanggapan.
"Kalau lo belum nikah, kayaknya kita bakal rebutan buat caperin dia." Safira berbisik, "Orangnya ganteng."
Karina berdecak seraya memutar bola mata. "Lo udah punya Raka, Saf. Inget tuh. Dia calon suami lo. Lagian kalau dia seusia suami gue, dia pasti udah punya istri."
"Emm." Safira menyangkal seraya menggeleng. "Dia masih single, Bo."
"Terus lo mau jadiin dia crush? Raka gimana nasib—-akh." Karina memekik pelan, tidak sengaja menabrak seseorang di depannya. Ia tidak melihat langkahnya karena sedang menatap Safira.
Dokumen yang dibawa orang itu berjatuhan, dan Karina ikut membantu memungutinya. "Aduh, maaf, ya. Saya gak sengaja."
Safira melihatnya sambil menutup mulut yang ternganga, karena yang bertabrakan dengan Karina itu adalah Direktur baru mereka yang baru saja dibicarakan.
Orang itu sempat tertegun menatap Karina ketika wanita itu menyerahkan dokumennya.
"Maaf, Pak. Kami gak sengaja." Safira segera menyela dan menyuruh Karina cepat berdiri.
Pria itu ikut berdiri. "Enggak apa-apa." Lalu, pandangannya kembali beralih pada Karina. "Kamu … dari tim desain?"
Karina menoleh menatap Safira heran. Lalu, kembali mengalihkan pandangan pada pria berkacamata di hadapannya. "I-iya."
Safira membisikkan sesuatu pada Karina. Wanita itu terkejut saat mendengar siapa pria yang berdiri di hadapan mereka.
"Saya baru lihat kamu." Tatapannya tidak beralih sama sekali dari Karina.
Karina merasa tidak nyaman karena terus dipandang oleh pria itu. Ia tersenyum kikuk. "Kemarin saya sakit, baru masuk lagi hari ini." Karina segera menggandeng Safira, membuat sahabatnya itu tersentak. "Kami duluan ya, Pak." Karina menarik Safira dengan langkah cepat agar segera menghindar dari atasan barunya. Entah kenapa, ia sangat tidak nyaman dengan tatapannya.
Saat pintu lift perlahan tertutup pun tatapan pria itu masih tertuju pada Karina. Ia masih mematung di tempatnya. Ia menemukan sosok seseorang yang telah lama menghilang dari hidupnya. Senyumannya sama dengan orang itu. Walau hanya sebatas itu, tetapi mampu kembali menggugah perasaan lamanya.
Clarissa, aku menemukanmu lagi. Sebelah sudut bibirnya terangkat.
***
"Gue gak nyaman ada di deket dia," ujar Karina saat ia dan Safira berada di dalam lift.
Safira menoleh. "Deket Pak Kevin?"
Karina balas menatap sahabatnya. "Namanya Kevin?"
Safira mengangguk. "Iya, tapi gue ngerasa ngeri juga lihat tatapan dia ke lo."
"Makanya itu."
"Apa dia tertarik sama lo?"
Karina berdecak. "Jangan ngadi-ngadi, deh. Itu bukan tatapan yang menunjukkan ketertarikan. Lagian mana ada pertemuan pertama bisa bikin orang langsung tertarik."
Sekarang giliran Safira yang berdecak. "Lo gak inget waktu pertama kali ketemu mantan suami lo?"
Merasa diingatkan pada masa lalu, Karina mendesah pelan. "Jangan sebut nama itu dong."
"Tapi bener, kan? Lo langsung tertarik begitu ketemu dia. Lo langsung lupa sama Min Yoongi." Safira berbicara sesuai kenyataan.
Karina memang tidak bisa menyangkal, tetapi ia merasa itu adalah kesalahan terbesar di masa lalu karena tertarik pada mantan suaminya itu tanpa berpikir panjang.
"Bisa juga Pak Kevin begitu, kan?"
"Gue gak berhara. Sebaiknya jangan. Gue ngeri." Karina bisa merasakan kewaspadaannya meningkat ketika pria bernama Kevin itu menatapnya penuh minat. Rasanya, ia akan menjalani hari yang cukup berat di kantor.
Dan, ia bisa membuktikan perkiraannya. Atasan barunya itu terus memerhatikan Karina secara terang-terangan. Karina tidak mengerti alasan dia terus mengawasinya seperti itu, yang pasti Karina sangat tidak nyaman.
"Karina." Rekan kerjanya menepuk pundak Karina yang membungkuk menyembunyikan tubuhnya di kubikel.
Karina menoleh, lalu tersenyum kikuk. "Kenapa, Za? Gue belum selesai ngedesainnya. Baru juga mulai."
Reza biasanya menghampiri Karina untuk memeriksa desainnya.
"Bukan itu, dipanggil Pak Kevin, tuh."
Karina langsung merasa tidak enak hati. Namun, ia harus menurut untuk menemui pria itu di ruangannya.
Karina dengan hati-hati mengetuk pintu. Setelah mendengar sahutan dari dalam sana, Karina masuk. Ia sudah mendapatinya memandang ke arah pintu, seolah menunggu sosok di baliknya muncul. Karina berdiri tidak jauh dari pintu.
"Bapak panggil saya?" tanya Karina dengan suara tertahan.
Dia langsung beranjak dari duduknya dan menghampiri Karina. Wanita itu mundur perlahan karena Kevin terus mendekat ke arahnya.
"Kamu," Kevin berdiri tidak jauh dari Karina. Suaranya rendah dan hampir berbisik. "Senyuman kamu mengingatkan saya pada Clarissa. Mantan pacar saya," ujarnya tanpa basa-basi.
Mata Karina melebar. Rasanya ia pernah mendengar nama itu, tetapi di mana?