Riska tak pernah menyangka hidupnya yang sederhana akan terbalik begitu saja setelah pertemuannya dengan Aldo Pratama, CEO muda yang tampan dan penuh ambisi. Sebuah malam yang tak terduga mengubah takdirnya—ia hamil di luar nikah dari pria yang hampir tak dikenalnya. Dalam sekejap, Riska terjebak dalam lingkaran kehidupan Aldo yang penuh kemewahan, ketenaran, dan rahasia gelap.
Namun, Aldo bukanlah pria biasa. Di balik pesonanya, ada dendam yang membara terhadap keluarga dan masa lalu yang membuat hatinya dingin. Baginya, Riska adalah bagian dari rencana besar untuk membalas luka lama. Ia menawarkan pernikahan, tetapi bukan untuk cinta—melainkan untuk balas dendam. Riska terpaksa menerima, demi masa depan anaknya.
Dalam perjalanan mereka, Riska mulai menyadari bahwa hidup bersama Aldo adalah perang tanpa akhir antara cinta dan kebencian. Ia harus menghadapi manipulasi, kesalahpahaman, dan keputusan-keputusan sulit yang menguji kekuatannya sebagai seorang ibu dan wanita. Namun, di bal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Rahasia yang Terbongkar
Di sudut kamar mewah Aldo yang diterangi lampu temaram, Riska duduk memandangi ponselnya. Matanya menatap kosong ke layar, tenggelam dalam pikiran-pikiran yang bercampur aduk. Rasa penasaran, takut, dan sebuah dorongan yang tak bisa ia jelaskan menggiringnya untuk membuka tabungan keberaniannya malam itu.
Di depannya, Aldo berdiri sambil mengamati dari jauh. Sikapnya dingin dan tak terbaca, seolah menyimpan sesuatu yang sulit dipahami. Namun, kali ini ada aura yang berbeda dari biasanya—seperti bayangan rahasia yang siap mencuat.
Aldo mendekat, memecah keheningan. “Apa yang kamu pikirkan, Riska? Aku bisa melihat dari wajahmu kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu.”
Riska menghela napas panjang. Ia mendongak dan bertemu pandang dengan Aldo. “Aku ingin tahu… kenapa kamu memilih aku untuk jadi bagian dari hidupmu? Kenapa aku?”
Aldo terdiam sejenak. Tatapannya menyipit, seperti sedang menimbang-nimbang jawaban yang harus ia berikan. Setelah beberapa detik berlalu, ia tersenyum samar. “Karena kamu berbeda, Riska. Kamu satu-satunya yang berani menantangku. Kamu membuatku merasa hidup… dan mungkin, itu yang membuatku terus ingin mengikatmu.”
Riska mengerutkan kening, merasa kata-kata Aldo seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. “Mengikat? Apa maksudmu, Aldo? Aku merasa seperti pion dalam permainan ini… atau lebih tepatnya, korban balas dendammu.”
“Aku tidak pernah menganggapmu korban, Riska. Sebaliknya, kamu adalah bagian penting dari rencanaku. Mungkin kamu tak tahu, tapi aku butuh kamu lebih dari yang kamu pikirkan.” Aldo menatapnya tajam, membuat Riska terdiam sejenak.
“Tapi semua ini begitu menyakitkan, Aldo. Aku tidak tahu lagi harus memercayai siapa, termasuk diriku sendiri.” Riska mengepalkan tangannya, mencoba meredakan perasaan yang bergolak di dalam dadanya.
Aldo mendekat dan menangkup wajah Riska dengan kedua tangannya. “Riska, kamu harus memercayai satu hal—kita ada di jalan yang sama. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu.”
Riska terkesiap. Tatapan Aldo begitu intens dan penuh janji, tapi di balik kata-katanya, Riska tahu ada sesuatu yang tak ia ungkapkan. Sebuah rahasia besar yang ia sembunyikan dari dunia, termasuk darinya.
Di dalam hatinya, Riska mulai menyadari bahwa Aldo bukan hanya pria yang penuh dendam dan amarah. Ada sisi lain yang bersembunyi di balik dinginnya sikapnya, sisi yang mungkin lebih rapuh daripada yang ia tunjukkan. Tapi seiring dengan itu, ketakutan yang terpendam dalam hatinya semakin menguat—ketakutan bahwa ia akan terjebak lebih jauh dalam permainan yang penuh kebohongan ini.
Namun, ia tahu bahwa malam ini akan menjadi titik balik. Ia harus mengungkap rahasia yang selama ini tertutup kabut. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik rencana Aldo.
Dengan suara yang gemetar, Riska berkata, “Aldo, aku ingin kamu jujur padaku. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan? Apa alasan semua ini? Aku berhak tahu.”
Aldo terdiam. Ekspresinya berubah, ada sedikit ketegangan yang tampak dalam garis wajahnya. Namun, ia mengalihkan pandangan dan mengambil napas dalam-dalam. “Kamu tidak akan memahami alasan di balik semua ini, Riska. Bahkan jika aku menjelaskan, kamu mungkin tidak akan bisa menerima.”
“Aku lebih baik tahu daripada terjebak dalam ketidakpastian, Aldo. Aku sudah terlalu lama merasakan sakit ini.” Riska menatapnya dengan penuh keteguhan.
Aldo mendekat, dan kali ini sorot matanya penuh luka yang sulit dijelaskan. “Jika kamu tahu alasan sebenarnya, kamu mungkin akan membenciku. Apakah kamu siap untuk itu, Riska?”
Riska menelan ludah, merasa dadanya berdebar. “Aku sudah siap dengan apa pun yang akan kamu katakan. Aku hanya ingin kebenaran.”
Aldo menghela napas panjang, lalu mulai bicara dengan suara yang berat. “Aku melakukan semua ini… karena sebuah janji kepada seseorang dari masa laluku. Seseorang yang pernah aku cintai dan aku kecewakan. Ini bukan hanya tentangmu, Riska. Ini juga tentang diriku dan luka yang selama ini aku simpan.”
Riska terkejut, tetapi ia mencoba mencerna kata-kata itu. “Janji? Siapa yang kamu maksud, Aldo?”
Kebenaran itu seperti angin dingin yang menghantam Riska. Di balik semua tindakan Aldo yang keras dan penuh kendali, ternyata ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah luka lama yang membuatnya terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Riska mulai memahami bahwa Aldo bukan hanya menjalani kehidupan demi balas dendam, tetapi juga demi menebus sesuatu yang tak pernah bisa ia lupakan.
Riska merasa hatinya mulai berempati, meski ia tahu ini adalah jebakan yang berbahaya. Di satu sisi, ia ingin membantu Aldo mengatasi traumanya, tetapi di sisi lain, ia sadar bahwa ini mungkin hanya akan membuatnya semakin tenggelam.
Tiba-tiba, Aldo menundukkan kepalanya, mendekatkan bibirnya ke telinga Riska. “Jika kamu benar-benar ingin tahu segalanya, Riska… bersiaplah menghadapi konsekuensi dari pengetahuan itu.”
Riska merasakan desiran dingin di punggungnya. Kata-kata Aldo seperti peringatan, namun ia tidak bisa mengabaikan rasa penasaran yang semakin membara di hatinya. Apa yang sebenarnya disembunyikan Aldo? Dan seberapa jauh ia akan melangkah untuk menemukan jawaban itu?
Malam itu, Riska tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Malam kian larut, namun ketegangan di ruangan itu semakin kental. Riska duduk di ujung tempat tidur, jantungnya berdetak tak beraturan. Ia belum bisa menghilangkan gema dari kata-kata Aldo sebelumnya, terutama kalimat terakhir yang membuatnya merasa seolah berada di tepi jurang. Di sudut ruangan, Aldo berdiri memunggungi Riska, tatapannya terfokus pada jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan malam kota.
Aldo adalah sosok yang kompleks—dingin, misterius, dan terkadang sangat menakutkan. Di balik keangkuhannya, Riska merasa ada rahasia kelam yang tak pernah benar-benar terbongkar, sesuatu yang disimpannya dengan sangat rapi. Tapi sekarang, perlahan-lahan, Riska melihat celah di balik topengnya. Celah yang sepertinya siap ia pecahkan, meski ia tak yakin apakah siap menghadapi kebenaran yang mungkin tersembunyi di baliknya.
“Aldo,” Riska memanggil dengan nada hati-hati, suaranya terdengar bergetar meski ia mencoba menutupinya. “Apakah ini ada hubungannya dengan seseorang dari masa lalumu? Tentang… wanita yang pernah kamu sebutkan itu?”
Aldo menghela napas panjang. Ia tak menjawab dengan segera, membuat Riska semakin tak sabar. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbalik, menatap Riska dengan tatapan penuh arti.
“Ya,” jawab Aldo pendek. “Tapi bukan hanya soal dia. Ini soal janji yang pernah aku buat pada diriku sendiri—janji untuk tidak pernah membiarkan diriku terluka lagi. Dan kamu… kamu adalah bagian dari itu, Riska.”
Riska mengerutkan kening, berusaha memahami maksud dari kata-katanya. “Apa maksudmu? Apakah… semua ini hanya tentang balas dendam? Apa kamu benar-benar tidak pernah memiliki perasaan sedikit pun padaku?”
Aldo terdiam, lalu tertawa kecil yang terdengar pahit. “Perasaan? Riska, kamu membuat segalanya terdengar begitu sederhana. Kamu berpikir kalau semua ini tentang cinta atau benci?”
Riska terperangah. Selama ini ia berpikir bahwa Aldo mungkin masih punya hati untuknya, bahwa di balik segala tindakan kejamnya ada rasa cinta yang terpendam. Tapi semakin ia berbicara, semakin jelas baginya bahwa Aldo hidup dalam dunianya sendiri, dunia yang dipenuhi kebencian, dendam, dan bayangan masa lalu yang belum pernah ia lepaskan.
Namun, meski hatinya sakit, ia tidak bisa berhenti. Ada dorongan dalam dirinya yang terus menuntunnya untuk menggali lebih dalam, untuk mencari kebenaran di balik semua sikap dingin dan penuh misteri ini.
“Aku tak peduli seberapa kelam masa lalumu, Aldo,” Riska berkata dengan suara tegas. “Aku ingin tahu segalanya. Aku sudah cukup tersakiti dengan ketidakjelasan ini. Jika memang kamu tak bisa mencintaiku, setidaknya biarkan aku tahu alasanmu.”
Aldo menatap Riska dengan tatapan tajam. “Kamu tak tahu apa yang kamu minta, Riska. Jika kamu tahu, mungkin kamu akan meninggalkanku selamanya.”
“Aku lebih baik meninggalkanmu dengan hati yang tahu kebenaran daripada terus terjebak dalam kebohongan ini,” balas Riska berani, matanya bersinar penuh keteguhan.
Aldo menghela napas lagi, namun kali ini tatapannya melembut sedikit. “Baiklah, jika itu yang kamu mau. Tapi ingat, kamu sendiri yang meminta ini.”
Aldo berjalan mendekati Riska, lalu duduk di depannya dengan posisi yang begitu dekat sehingga Riska bisa merasakan nafasnya. Dengan suara rendah, Aldo mulai mengisahkan masa lalunya. Tentang seorang wanita yang ia cintai dengan segenap jiwa, seorang yang akhirnya mengkhianatinya dan menghancurkan kepercayaannya. Wanita itu meninggalkan luka yang begitu dalam hingga membuat Aldo bersumpah tidak akan pernah membiarkan dirinya terbuka lagi pada orang lain—sampai ia bertemu dengan Riska.
“Dia adalah cinta pertamaku, dan juga cinta terakhirku yang sesungguhnya,” ucap Aldo dengan suara bergetar, kenangan kelam itu tampak kembali menghantui pikirannya.
“Lalu, kenapa kamu masih berusaha menyakiti orang lain, termasuk aku, hanya karena luka masa lalumu itu?” Riska bertanya, suaranya mencerminkan ketidakmengertiannya.
“Aku tidak ingin menyakiti siapa pun,” balas Aldo tajam. “Aku hanya berusaha melindungi diriku. Jika aku tidak pernah membiarkan orang lain dekat, aku tak akan terluka lagi.”
Riska merasa hatinya remuk mendengar pernyataan Aldo. Ternyata segala tindakannya bukan sekadar kebencian, melainkan ketakutan yang mendalam untuk terluka kembali. Tapi di saat yang sama, ia sadar bahwa Aldo sudah terlalu jauh dalam luka itu, terlalu terjebak dalam kenangan masa lalu.
Perlahan, Riska mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Aldo yang dingin. “Aldo, aku tidak akan mengkhianatimu. Jika kamu terus hidup dalam bayang-bayang luka itu, kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.”
Aldo menatap tangan Riska di tangannya, dan untuk pertama kalinya, ada kilasan ragu di matanya. Namun, ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, menarik tangannya dengan perlahan dan berkata dengan nada dingin, “Jangan berpikir kamu bisa mengubahku, Riska. Aku sudah terlanjur hancur.”
Riska terkejut, hatinya kembali hancur. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, Aldo berdiri dan meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Ia meninggalkan Riska dalam keheningan yang mencekam, dengan hati yang penuh tanya.
Malam itu, Riska sadar bahwa perjuangannya belum selesai—dan mungkin tidak akan pernah selesai.