Dari Terpaksa Menjadi Cinta

Ibu Yesi yang baru saja sampai di rumah terlihat begitu sangat marah. Ingin meledak sejak tadi sebenarnya namun tak bisa menunjukkannya di hadapan semua orang. Bisa-bisa dia semakin tak mendapatkan simpati dari keluarga Davis.

"Anak kamu itu sebenarnya anggap kita itu apa? ambil keputusan besar seenaknya sendiri." katanya dengan tangan menutup pintu kamar dengan kencang sehingga mengeluarkan suara yang begitu sangat keras hingga sedikit memekakkan telinga.

"Kamu tadi dengar sendirikan apa yang dia katakan ketika aku mengatakan hal yang sama seperti yang kamu katakan saat ini." sahut tuan Ferdian yang sudah menghempaskan bokongnya di ranjang.

"Lagian kamu ini juga aneh pi, kamu itu orangtuanya ... Ayahnya, masa sama anak sendiri kalah." kata nyonya Yesi yang menganggap suaminya ini terlalu lembek dengan anaknya. "Sebagai seorang ayah, harusnya kamu itu bisa mengendalikan anak kamu " sambungnya dengan nada menggebu.

"Aku gak bisa terlalu menentang Brian." katanya dengan tertunduk lesu seolah menunjukkan ketidak berdayaannya saat ini.

"Kamu itu jadi laki-laki memang dasar gak bisa di andalkan pi, bahkan terang-terangan anak kamu menyepelekan dan tak menganggap kita saja kamu tak bisa bertindak." kata nyonya Yesi yang bertambah kesal.

Wanita itu lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri tanpa menghiraukan suaminya lagi.

Geram sebenarnya dengan sang suami. Bagaimana tidak, suaminya itu seolah takut dengan anaknya sendiri dan lebih lagi dia tak bisa menguasai kediaman utama yang sudah di impikannya sejak dulu, karena nyatanya rumah itu di tinggali oleh Brian dan dia malah di ajak untuk tinggal di rumah lain yang jauh lebih kecil serta tak semewah kediaman utama.

"Kalau aku gak bisa gagalin pernikahan anak itu, paling tidak aku harus bisa pindah ke rumah utama." gumam nyonya Yesi. "Itu adalah rumah suamiku jadi aku lebih berhak tinggal di sana bersama suamiku daripada anak br****ek itu bersama istri kampungannya." katanya dengan rahang yang mengeras. "Enak saja mereka mau menguasai harta suamiku, oh tidak bisa ... percuma dong aku nikah sama dia kalau tak dapatkan apa-apa." imbuhnya.

❤️

Di lain tempat, Brian saat ini sedang duduk bersama dengan keluarga sang ibu di kediamannya. Tadi dirinya sempat mengantar sang kekasih pulang terlebih dahulu karena Kaila menolak untuk menginap di rumahnya. Lah kan memang harus ya, karena hubungan mereka belum resmi dan sah secara hukum serta negara.

"Kamu gak mau ambil alih perusahaan yang di pegang papimu Bri?" tanya tante Paula yang merasa tak suka dengan sikap istri dari mantan suami kakak iparnya itu. Menurutnya terlalu sombong dan congkak, sedangkan papinya Brian terlihat begitu mencintainya sehingga terlalu abai dan jauh dengan Brian semenjak menikah.

Keluarga Brian dari pihak sang ibu memang tau semua yang terjadi pada Brian, karena mereka selalu bertukar kabar dengan tante Wanda juga om Andreas.

"Belum saatnya tan." jawab Brian.

Dia belum setega itu untuk membuat sang papi sengsara, tapi kalau memang nanti sudah keterlaluan, ya apa boleh buat.

"Tante sama om beneran nih gak apa-apa tinggal di sini lama?" tanya Brian untuk memastikan bahwa acaranya ini tidak menganggu kegiatan mereka.

"Gak apa-apalah Bri, hitung-hitung liburan." jawab om Galen. "Kapan lagi kan bisa liburan lama kayak gini." sambungnya lagi.

"Lagian kerjaan kan masih bisa di pantau dari sini Bri." timpal tante Paula. "Kamu ini sudah om sama tante anggap anak sendiri seperti Celsi dan Fransiska, masa anak sendiri mau nikah ... Kami malah sibuk sama kerjaan, kan gak lucu." imbuhnya yang membuat perasaan Brian terasa menghangat.

Dia memang sudah tak memiliki seorang ibu bahkan kasih sayang seorang ayah pun seperti sudah tak dia rasakan lagi, namun di balik itu semua masih ada orang-orang yang begitu menyayanginya ... yaitu keluarga sang mami juga sang papi dan kini bertambah lagi dengan Kaila.

"Sudah larut, lebih baik sekarang kita istirahat ... lagian kamu besok juga masih harus ngantorkan." kata om Galen yang di angguki oleh Brian.

Untuk Oma Celina dan opa Glen serta Celsi dan Fransiska, mereka sudah masuk ke kamar masing-masing begitu sampai tadi, mereka mengatakan jika lelah dan butuh untuk segera beristirahat.

❤️

"Bagaimana pesanan kamu begitu tau jika Brian akan segera menikah, hem?" tanya Lucas dengan posisi memeluk tubuh polos Isabela dari belakang sambil sesekali mengendus leher jenjang yang ada di hadapannya. Salah satu tangan pria itupun bertengger manis di salah satu aset Isabela dengan sesekali memainkannya sehingga membuat si wanita sesekali mend***h.

"Aku ... em ya gak gimana-gimana." jawab Isabela.

Padahal jauh di lubuk hatinya, dia sangat marah dan tak terima jika Brian begitu cepat mendapatkan penggantinya dan lebih dulu menikah.

"Em Luc, kapan kita akan menikah?" tanya Isabela dengan sesekali menggigit bibir bawahnya karena aktivitas dari Lucas yang sedari tadi terus saja menjelajahi pundak serta lehernya.

"Segera baby." jawab Lucas.

Lucas yang sudah kembali di pehuni dengan nafsu langsung melancarkan serangnya pada Isabela sehingga pergulatan panas kembali terjadi tanpa terelakkan.

Nafsu dan nafsu, mereka terus saja berkubang di sana tanpa takut dengan dosa yang semakin bertambah.

Sedangkan Kaila sendiri saat ini sibuk berguling kesana kemari di atas ranjangnya.

Bayang-bayang bagaimana tadi Brian melamarnya terus saja terlihat di pelupuk mata sehingga membuat wanita itu tersenyum-senyum dan salah tingkah sendiri.

Tapi ketika matanya tak sengaja melihat ke arah photo besar yang ada di salah satu dinding kamar, senyum itu langsung pudar dan hatinya menjadi sedih ... bahkan air mata langsung tergenang di matanya.

Kaila pun memilih bangun dan mendekat ke arah figura tersebut, yang mana di sana ada photo ayah serta ibunya yang terlihat sedang tersenyum bahagia.

Sebuah photo keluarga yang sengaja di ambil satu hari sebelum kejadian naas itu terjadi. Mungkin sudah ada firasat, sang ayah yang biasanya sangat sulit di ajak untuk berphoto ... tiba-tiba mengajak Kaila dan ibunya untuk photo studio.

"Ayah, ibu." lirih Kaila dengan tangan yang sudah terulur menyentuh figura tersebut. "Aku harap kalian bahagia di sana." sambungnya. "Anak kalian ini sebentar lagi akan segera menikah, tolong restui pernikahan Kaila yah, bu." imbuhnya.

Kaila memutuskan untuk menurunkan photo tersebut dan memeluknya sambil berbaring di ranjang hingga tanpa sadar dirinya tertidur.

Anak mana yang tak akan sedih jika di hari bahagianya, kedua orangtuanya sudah tak ada. Iri? Tentu saja dia merasa iri pada anak perempuan lainnya yang menikah ditemani oleh kedua orangtuanya, tapi apa boleh buat semua itu sudah takdir yang di gariskan untuknya dan dia tak bisa untuk melawan takdir.