dibaca aja ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggun juntak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
melangkah bersama
Setelah kejadian di tepi sungai, suasana di antara Arka dan Maya menjadi lebih tenang, meski langkah mereka masih dibayangi rasa cemas. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah pohon besar yang rimbun, jauh dari tempat harimau hitam terakhir terlihat.
Arka memeriksa lukanya. Luka di lututnya cukup dalam, membuat setiap gerakan terasa menyakitkan. Maya, yang selalu membawa peralatan darurat di tas nya, mengeluarkan kain bersih dan botol kecil berisi antiseptik.
"Biar kan aku bersihkan," kata nya sambil berlutut di depan Arka.
Arka menggeleng. "Aku bisa sendiri."
"Tutup mulut mu, Arka," balas Maya dengan nada yang sama seperti sebelum nya. Namun kali ini, ada senyum kecil di wajah nya.
Arka menyerah dan membiarkan Maya membersih kan luka nya. Saat antiseptik menyentuh kulit nya, ia meringis.
"Masih keras kepala?" Maya menggoda sambil melilitkan kain bersih di sekitar lutut Arka.
Arka tertawa kecil, meski mata nya tetap serius. "Maya, terima kasih. Kamu benar. Aku terlalu memaksakan segala nya."
Maya mengangkat bahu, mengunci balutan kain dengan simpul. "Aku nggak butuh permintaan maaf, Arka. Aku cuma ingin kita saling mendengar. Kalau kita terus berseteru, kita nggak akan pernah selesai."
Arka mengangguk. "Mulai sekarang, kita jalan bareng, sepakat?"
"Sepakat," jawab Maya.
Setelah beristirahat sebentar, mereka kembali menatap peta yang mereka bawa. Peta itu menunjukkan tanda "X" di bagian barat lembah, tak jauh dari aliran sungai. Di sebelah nya ada tulisan kecil yang samar “Kunci kebenaran tersembunyi di dalam akar.”
"‘Akar’? Apa itu maksudnya pohon lagi?" gumam Maya, mencoba mencerna maksud petunjuk tersebut.
"Bisa jadi," jawab Arka. "Tapi kita nggak tahu pasti. Yang jelas, kita harus menuju ke sana."
Dengan langkah hati-hati, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Jalan setapak yang mereka lalui semakin sulit, dengan batu batu besar dan tanah licin di sana sini. Hutan juga semakin gelap, meskipun hari masih siang.
"Kamu pikir, apa yang sebenar nya kita cari?" tanya Maya saat mereka berjalan.
Arka menghela napas. "Aku nggak tahu pasti. Tapi nenek bilang ini adalah sesuatu yang penting, mungkin rahasia besar keluarga. Bagiku, ini tentang memahami siapa kita."
"Dan buatku, ini tentang keselamatan kita," balas Maya sambil melirik ke arah hutan di sekitar mereka. "Kamu tahu, harimau tadi bukan kebetulan. Seolah olah ada yang nggak mau kita lanjutkan perjalanan ini."
Arka terdiam. Kata-kata Maya membuat nya berpikir. "Kamu mungkin benar. Tapi kalau ada yang mencoba menghentikan kita, itu berarti yang kita cari benar-benar penting."
Maya hanya mengangguk, meski dalam hati nya ia masih meragukan apakah mereka siap menghadapi apa pun yang ada di ujung perjalanan ini.
---
Setelah berjalan selama satu jam, mereka tiba di sebuah tempat yang membuat langkah mereka terhenti. Sebuah pohon besar berdiri di tengah hutan, lebih besar dari pohon beringin mana pun yang pernah mereka lihat. Akar akar nya menjalar jauh ke segala arah, mencengkeram tanah seperti tangan raksasa.
"Ini pasti tempat nya," kata Arka sambil mendekati pohon itu.
Namun, Maya merasa ada sesuatu yang aneh. Udara di sekitar pohon terasa lebih dingin, dan suara hutan yang biasa nya ramai kini sunyi senyap. "Kamu nggak merasa tempat ini... menyeramkan?"
Arka menoleh pada nya. "Aku merasa, tapi kita nggak punya pilihan."
Mereka mulai memeriksa akar-akar pohon, mencari sesuatu yang mungkin tersembunyi di sana. Arka menemukan sebuah celah besar di salah satu akar yang tampak seperti pintu. Ia mencoba menariknya, tapi tidak bergerak sedikit pun.
"Seperti nya ini terkunci," kata nya, menatap Maya.
"Kamu punya kunci perunggu itu, kan?" tanya Maya.
Arka mengeluarkan kunci dari sakunya dan mencoba memasukkan nya ke celah tersebut. Dengan sedikit usaha, kunci itu berputar, dan terdengar suara klik yang menggema di sekitar mereka.
Akar itu perlahan terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang mengarah ke bawah.
Maya mundur selangkah, menatap lorong itu dengan ngeri. "Kamu yakin kita harus masuk?"
Arka menyalakan lentera yang mereka bawa, cahaya hangat menerangi lorong yang sempit. "Kita sudah sejauh ini. Kita nggak bisa mundur sekarang."
Meski ragu, Maya mengangguk. Mereka berdua masuk ke dalam lorong, menuruni tangga batu yang licin. Semakin dalam mereka berjalan, semakin terasa dingin dan pengap.
Di ujung lorong, mereka menemukan sebuah ruangan kecil dengan dinding batu. Di tengah ruangan, ada sebuah peti kayu besar yang dihiasi ukiran-ukiran rumit.
Maya menatap peti itu dengan waspada. "Kamu pikir ini aman untuk dibuka?"
Arka mendekati peti itu, mengamati ukiran nya. "Aku nggak tahu. Tapi kita nggak datang sejauh ini untuk mundur."
Ia membuka peti itu dengan hati-hati. Di dalam nya, ada sebuah buku tebal dengan sampul kulit, sebuah gulungan kertas, dan sebuah benda kecil yang tampak seperti liontin emas.
Maya mengambil gulungan kertas dan membuka nya. Mata mereka membelalak saat membaca isi nya.
“Rahasia ini adalah milik keluarga kita, tapi siapa pun yang menemukan nya harus bersiap menghadapi konsekuensi nya. Jangan biar kan siapa pun mengetahui isinya, atau bahaya besar akan datang.”
Maya menatap Arka dengan cemas. "Apa yang sebenar nya nenekmu sembunyikan?"
Arka mengangkat buku itu dan membuka halaman nya. Di dalam nya terdapat catatan catatan kuno, gambar peta, dan simbol-simbol aneh yang tidak mereka mengerti.
Liontin emas itu, yang di pegang Maya, mulai bersinar samar saat disentuh.
"Maya, letakkan itu," kata Arka, suara nya penuh kewaspadaan.
Namun sebelum Maya sempat melepaskan nya, ruangan itu mulai bergetar. Batu batu kecil jatuh dari dinding, dan suara gemuruh terdengar dari kejauhan.
"Kita harus keluar sekarang!" teriak Maya, meletakkan liontin itu kembali ke dalam peti.
Mereka berlari keluar lorong, mendaki tangga batu dengan sekuat tenaga. Getaran semakin kuat, membuat tanah di bawah mereka terasa seperti akan runtuh.
Ketika mereka akhir nya keluar dari lorong, akar akar pohon mulai bergerak sendiri, menutup pintu masuk dengan bunyi keras.
Maya terjatuh di tanah, napas nya tersengal sengal. "Apa yang barusan terjadi?"
Arka, yang masih memegang buku itu, menatap pohon besar itu dengan ekspresi serius. "Aku nggak tahu. Tapi apa pun ini, rahasia keluarga kita lebih besar daripada yang aku bayang kan."
Maya menatap nya tajam. "Kalau rahasia ini terlalu berbahaya, kita mungkin harus mempertimbangkan untuk meninggalkan nya di sini."
Arka menggeleng. "Tidak, Maya. Aku nggak bisa. Ini bagian dari kita, bagian dari keluarga kita. Tapi aku janji, aku akan lebih hati-hati mulai sekarang."
Maya menghela napas, lalu berdiri. "Baik lah. Tapi kita harus benar-benar siap menghadapi apa pun yang akan datang."
Arka tersenyum kecil. "Sepakat."
Dan dengan itu, mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka, kali ini dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
--
Bersambung...