Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Pembalasan yang Terencana
Ariella memandang keluar jendela dari kamar pribadinya di lantai atas, mengamati gemerlap kota yang terhampar luas di bawahnya. Suara hiruk-pikuk malam mulai mereda, namun di dalam dirinya, segala sesuatu terasa jauh dari tenang. Kini, setelah kematian Victor, dunia yang ia kenal telah berubah. Seluruh kehidupannya yang dulu dipenuhi dengan pelatihan dan strategi kini harus dimulai dari sebuah titik nol yang penuh ketegangan.
Pikiran Ariella berputar cepat. Ia tahu bahwa kekuasaan yang baru ia raih sangat rapuh, hanya sebuah ilusi yang bisa hancur dalam sekejap. Setiap keputusan yang diambil ke depan harus dihitung dengan matang, setiap langkah harus terencana dengan sempurna. Jika tidak, kekuasaan yang selama ini dijaga dengan darah dan air mata itu bisa lepas begitu saja.
"Ariella," suara lembut Rael menyentak dari lamunannya. Dia berdiri di pintu kamar, mengenakan pakaian gelap yang biasa ia kenakan. Ekspresinya serius, seolah tahu betul apa yang menggelayuti pikirannya.
Ariella berpaling, mencoba menyembunyikan ketegangan di wajahnya. "Apa yang terjadi?"
Rael berjalan mendekat, tangannya terlipat di depan dada. "Ada kabar dari luar. Beberapa organisasi kecil mulai bergerak. Mereka tahu bahwa Victor telah mati. Mereka berencana untuk mengambil alih beberapa wilayah yang sebelumnya berada di bawah kendali kita."
Ariella mengangguk, meresapi informasi itu dengan tenang. "Berapa banyak?" tanyanya datar.
"Tiga, mungkin empat. Organisasi-organisasi yang dulu hanya bergerak di bawah bayang-bayang. Sekarang mereka mulai menunjukkan diri mereka. Mereka tahu bahwa kita sedang lemah." Rael mengamati reaksi Ariella dengan cermat.
"Jadi kita harus membuktikan bahwa kita tidak lemah," kata Ariella, suara itu penuh dengan tekad. "Kita tidak bisa memberi ruang bagi mereka untuk berpikir kita akan jatuh begitu saja. Mereka ingin menguji kita? Biarkan mereka."
Rael menatap Ariella dalam diam, kemudian berkata, "Kita bisa mengirim pasukan untuk menghancurkan mereka. Cepat dan tanpa kompromi."
Ariella menoleh, matanya menyala dengan api yang tersembunyi. "Tidak. Kita akan lebih cerdik dari itu. Jika kita bergerak secara terbuka, kita hanya akan menunjukkan bahwa kita takut. Ini bukan tentang kekuatan fisik semata, Rael. Ini tentang bagaimana kita memainkan pikiran mereka."
Rael mengerutkan kening. "Apa yang kau maksud?"
"Aliansi," jawab Ariella. "Kita akan bersekutu dengan salah satu dari mereka. Membuat mereka merasa bahwa mereka lebih kuat jika mereka bersatu dengan kita. Setelah itu, kita ambil alih secara diam-diam."
Rael terdiam sejenak, merenungkan rencana Ariella. "Sungguh berisiko. Mereka tidak akan menerima begitu saja. Mereka pasti akan menguji kita lebih dulu."
Ariella tersenyum tipis. "Itulah yang mereka inginkan. Mereka ingin melihat apakah kita bisa dipermalukan. Tapi kita akan menunjukkan pada mereka bahwa kita tidak hanya kuat—kita lebih pintar. Mereka tidak akan tahu apa yang menghantam mereka sampai sudah terlambat."
Rael mengangguk perlahan, tetapi dia tetap terlihat cemas. "Kau yakin ini akan berhasil? Mereka semua berbahaya, Ariella."
"Aku tidak peduli seberapa berbahaya mereka. Mereka semua memiliki kelemahan," jawab Ariella dengan suara yang penuh ketegasan. "Dan kita akan menemukan kelemahan itu."
Ariella berjalan menuju meja besar yang terletak di tengah ruangan. Di atas meja itu terhampar beberapa peta dan dokumen yang menunjukkan jaringan pengaruh yang dimiliki organisasi-organisasi kecil yang kini mulai bergerak untuk merebut kekuasaan. Di sudut-sudut kota, nama-nama mereka tertera dengan jelas: The Raven Syndicate, Black Fang, dan Red Claw. Ketiga organisasi ini, meskipun kecil dibandingkan dengan kekuatan yang pernah dimiliki oleh Victor, kini mulai berkembang dengan cepat, memanfaatkan kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan.
"Tunggu apa lagi? Mulailah menyusun rencana. Kita akan mengambil langkah pertama malam ini," perintah Ariella, suaranya tegas.
Rael hanya mengangguk, meninggalkan ruangan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Ariella kembali menyendiri, menatap peta yang ada di depannya. Setiap langkah yang ia ambil sekarang adalah langkah besar—dan jika salah memilih, ia bisa kehilangan segalanya.
Di luar jendela, suara kendaraan dan langkah kaki mulai terdengar semakin keras. Kota ini, seperti dunia yang ia kendalikan, tak pernah tidur. Di balik semua gemerlap itu, ada permainan yang lebih besar yang tengah terjadi, dan Ariella harus siap menghadapi segala kemungkinan.
---
Pada malam yang sama, Ariella dan Rael bertemu dengan perwakilan dari Red Claw, salah satu organisasi yang baru mulai memperlihatkan kekuatannya. Kepala dari Red Claw, seorang pria bernama Darius, dikenal sebagai seseorang yang keras kepala dan tidak mudah percaya kepada siapa pun. Namun, ia juga sangat ambisius—dan itu adalah kelemahan yang bisa dimanfaatkan.
Ariella memutuskan untuk mengadakan pertemuan di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat kota, tempat yang tersembunyi namun penuh dengan aura elegan. Restoran ini, meskipun dikenal oleh banyak orang, memiliki ruangan-ruangan pribadi yang bisa digunakan untuk pertemuan-pertemuan rahasia.
Ariella duduk di meja, matanya menatap pintu besar yang akan segera dibuka. Tak lama kemudian, Darius masuk bersama dua orang pengawalnya yang besar dan menakutkan. Di balik penampilannya yang kasar, Ariella bisa merasakan bahwa Darius adalah pria yang cerdas, meski ia tidak pernah menunjukkan sisi itu secara terbuka.
Darius duduk tanpa bicara, menatap Ariella dengan tatapan tajam. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Ariella tersenyum dingin. "Aku ingin menawarkan sebuah kesempatan. Sebuah aliansi."
Darius mengangkat alis, tidak terkesan. "Aliansi? Apa yang membuatmu berpikir aku butuh aliansi denganmu?"
"Karena kita berdua memiliki musuh yang sama," jawab Ariella dengan suara tenang. "Kita berdua ingin menguasai kota ini. Dan untuk itu, kita perlu bekerja sama."
Darius menatapnya lebih lama, mencoba menilai apakah Ariella benar-benar serius. "Dan apa yang bisa kau tawarkan? Kekuatanmu seberapa besar?"
Ariella tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia memandang Darius dengan mata yang penuh perhitungan. "Kekuatan datang dengan perencanaan. Dan kami punya banyak cara untuk membuat musuh kita mundur sebelum mereka menyadari apa yang sedang terjadi."
Suasana di ruangan itu semakin tegang. Darius tampak berpikir keras, namun Ariella tahu bahwa dia sudah menang setengahnya. Di dunia ini, kekuatan bukan hanya tentang seberapa besar pasukan yang kamu miliki, tetapi juga seberapa mampu kamu memanipulasi situasi.
Ariella memberikan senyum tipis. "Bergabunglah dengan kami, Darius. Bersama-sama, kita bisa menghancurkan mereka yang berani menentang kita. Kalian tidak hanya akan menjadi bagian dari kerajaan yang baru—kalian akan menjadi pemimpin bersama kami."
Darius menatapnya dengan tatapan penuh perhitungan. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, ia mengangguk. "Baiklah. Tapi ingat, Ariella, aku tidak bekerja untuk siapa pun. Jika kau mengkhianatiku, aku akan menghancurkanmu."
Ariella tersenyum lebih lebar, namun ada ketegangan yang jelas di dalam tatapannya. "Aku tidak pernah mengkhianati orang yang bekerja untukku, Darius. Selama kau berkomitmen, kita akan menjadi lebih kuat dari yang kalian bayangkan."
Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan yang terlihat sederhana, tetapi Ariella tahu bahwa aliansi ini akan membawa mereka lebih dekat kepada tujuan mereka. Musuh-musuh mereka mungkin masih tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun dalam permainan ini, siapa yang paling cerdik akan keluar sebagai pemenang.
Di luar sana, permainan besar sedang dimulai—dan Ariella sudah siap menghadapi setiap tantangan yang datang.
---