Sebuah kecelakaan merenggut pengelihatannya. Dia merupakan dokter berbakat yang memiliki kecerdasan tinggi, tampan dan ramah menjadi pemarah.
Beberapa perawat yang dipekerjakan selalu menyerah setiap satu pekan bekerja.
Gistara, gadis yang baru lulus dari akademi keperawatan melamar, dengan gaji tinggi yang ditawarkan dia begitu bersemangat. Hampir menyerah karena tempramen si dokter, namun Gista maju terus pantang mundur.
" Pergi, adanya kamu nggak akan buatku bisa melihat lagi!"
" Haah, ya ya ya terserah saja. Yang penting saya kerja dapet gaji. Jadi terserah Anda mau bilang apa."
Bagaimna sabarnya Gista menghadapi pasien pertamanya ini?
Apakah si dokter akan bisa kembali melihat?
Lalu, sebenarnya teka-teki apa dibalik kecelakaan yang dialami si dokter?
Baca yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dokter dan Perawat 35
" Dokter Hasim, Dokter Eida nggak bisa dihubungin. Saya udah ngubungin dari tadi, tapi nggak diangkat."
" Tck, ya udah stop nelpon dia. Buka kamar lagi, persiapkan operasi untuk pasien satunya."
" Baik Dok!"
Hasim yang sudah selesai mencuci tangannya, berdecak kesal. Pria itu kemudian membuka kamar operasi dengan kakinya dan memulai pekerjaannya.
Seharusnya Eida tahu, meskipun sudah kembali ke rumah kalau memang ada panggilan darurat maka dia harus segera datang ke rumah sakit.
Departemen bedah menjadi departemen sibuk ke dua setelah UGD, karena mereka memang berkesinambungan. Pasien gawat darurat yang harus menjalani operasi tentu langsung dioper ke departemen bedah.
Satu jam berlalu, satu ruang operasi lain yang diminta oleh Hasim sudah siap. Dan di sana juga sudah mulai, namun sebagai dokter utama, Hasim juga harus berada di sana."
" Sambungkan," ucap Hasim memberi perintah kepada salah satu perawatnya yang menggenggam ponsel.
" Lakukan di awal dulu, setelah aku menyelesaikan pendarahan pada pasien di sini, aku akan segera datang ke sana."
" Baik Dokter, kami akan memulainya."
Hasim membuang nafasnya kasar, ia ingin sekali marah namun itu semua tidak ada guna.
" Kembali fokus, klep!"
Pria itu kembali memfokuskan dirinya agar segera bisa menyelesaikan pasien yang ada di sini sehingga bisa jump ke ruang operasi yang ada di sebelah. Seketika dia ingat pembicaraannya dengan Han tadi pagi.
" Untuk sementara jangan resign dulu, kalau bukan lo siapa lagi."
Kini Hasim tahu maksudnya. Eida yang selama ini berada di sisi Han ternyata belum memiliki kualifikasi yang memenuhi syarat untuk mengemban tanggung jawab yang besar.
Pimpinan atau wakil pimpinan departemen bedah tentu bukanlah perkara yang mudah. Hampir semua dokter membutuhkan departemen bedah, bisa dikatakan departemen bedah itu all in. Dan tentu saja perkejaan tidak mudah juga tidak sedikit.
" Semoga residen tahu depan banyak yang masuk ke departemen bedah. Punya satu yang mumpuni tapi tanggung jawabnya kurang banget. Haah, sabar ya istriku sayang, sedikit lagi, ya sedikit lagi aku bakalan nemenin kamu."
Hasim berbicara dalam hati. Hati Hasim selalu sakit ketika mengingat sang istri.
Sudah sekitar satu tahun istri Hasim depresi. Penyebabnya adalah dia kehilangan anaknya yang baru saja dilahirkan. Istri Hasim terlalu menyalahkan dirinya yang berakibat pada memburuknya kesehatan mentalnya.
Itulah sebab mengapa Hasim ingin resign dari pekerjaannya. Ia ingin fokus merawat istrinya.
Seperti yang dikatakan, ia sebenarnya ingin resign saat Han masih sehat. Tapi siapa sangka takdir berkata lain, kondisi Han yang saat ini sungguh tidak pernah terbayangkan.
Hasim pun mencoba untuk menundanya, dan melihat bagaimana peran Eida. Tidak dipungkiri Eida adalah wanita yang cerdas, cekatan dan ambisius. Dia juga mudah belajar. Namun sifat ambisiusnya ini menjadi sebuah kekurangannya. Dan semenjak Han tidak ada di sana, Eida menjadi bersikap sesuka hatinya.
" Dok!"
" Ya, mari kita lanjutkan. Irigasi!"
" Baik!"
Semalaman itu Hasim sangat sibuk. Dan Eida sama sekali tidak muncul. Itu jelas tidak mungkin terjadi karena wanita tersebut sekarang tengah tidur dengan pulas di sebuah kamar hotel yang mewah.
Malam bergulir dengan begitu cepat bagi Hasim dan departemen bedah. Sangat berbeda dengan Han yang merasa malam begitu panjang.
Ketika matahari bersinar dan menyambangi kamar Han, pria itu tersenyum. Sorot matahari pagi ini bisa dia rasakan dengan jelas. Ya sekarang penglihatan Han setingkat lebih jelas lagi dari pada kemarin.
" Alhamdulillah ya Allah, aku bia melihat lagi. Sungguh terimakasih atas keajaiban yang Engkau berikan kepada ku."
Han sungguh bersyukur atas apa yang terjadi pada dirinya. Kesembuhan yang tidak pernah ia sangka itu kini ia rasakan.
Tok tok tok
" Masuk!"
" Bang, ehmmm aku mau nanya. Aku lihat flyer yang di share di grub. Abang mau ngadain semacam acara kayak meet and great gitu di RSMH. Itu beneran?"
Rupanya Yoona yang masuk ke kamar Han. Adik dari Han itu bertanya perihal acara yang Han minta dibuatkan oleh Alex. Han sebenarnya belum lihat flyer tersebut, dan ia juga tidak menyangka ternyata Alex begitu cepat bergerak.
" Iya Yoon, kemarin Abang bilang ke Alex buat bantu Abang. Yah Abang rasa sudah waktunya buat Abang ke luar kamar."
Yoona tersenyum mendengar alasan yang diberikan oleh sang kakak. Ia lalu mendekat ke arah Han dan memeluknya dengan erat.
" Aku senang kalau Abang udah balik lagi kayak dulu."
Han membalas pelukan adiknya, ia juga mengusap lembut kepada Yoona. Han tentu sangat menyayangi adiknya itu, dan dia merasa sangat bersalah bahwasannya kemarin-kemarin sempat bersikap buruk.
Akan tetapi hati kecil Han sedikit tersentil. Dia mulai bangkit lagi saat penglihatannya mulai kembali. Dalam hati pun dia juga bertanya, jika dia sekarang masih buta akankah dirinya benar-benar bisa berdamai dengan dirinya sendiri? Akankan dia benar-benar bisa menerima keadaannya itu?
Selintas Han merasa dirinya sungguh pengecut, dia merasa bahwa dirinya merupakan seorang pecundang hebat. Terlebih saat dia ingat betapa ketus dan dinginnya dia terhadap adik dan kedua orang tuanya waktu itu.
" Maafin Abang ya Yoon. Abang kemarin suka marah-marah, dan bersikap dingin sama kamu, sama Appa dan Eomma juga."
" Nggak Bang, aku, Appa dan Eomma nggak mempermasalahkan itu. Kami sangat maklum, hal itu lumrah Bang. Jadi Abang nggak perlu menyalahkan diri sendiri. Yang perlu Abang inget adalah, kami selalu ada untuk Abang."
kata-kata lembut dan tulus dari Yoona membuat hati Han menghangat. Ia tentu tahu betul bahwa keluarganya begitu mencintainya. Hanya saja kemarin otaknya sedang konslet sehingga berpikiran seperti sempit.
" Adik Abang beneran udah gede ih. Ah iya, Alex suka gangguin kamu nggak?"
" Bang Alex? nggak sih, cuma sesekali nge-chat aja nanyain kabar Abang."
" Aah oke kalau gitu. Kalau buaya buntung itu macem-macem, langsung hubungin Abang ya."
" Hahaha, siap!"
Sudah lama Han dan Yoona tidak bicara dengan akrab seperti ini. Hal tersebut membuat Gista yang baru saja datang urung untuk masuk. Dia memilih untuk memutar tubuhnya dan kembali turun ke lantai bawah.
Ada secuil perasaan iri di hati Gista terhadap hangatnya hubungan keluarga di rumah ini. Dia yang anak tunggal tentu tidak pernah merasakan bahagianya punya saudara. Dan sekarang pun dia hanya tinggal bersama sang ibu. Ya, dia hanya punya ibunya saat ini.
" Yaah, itulah yang namanya hidup kan? Semua tidak akan sellau berjalan dengan keinginan kita. Tapi cuma bisa lihat gini aja udah bikin hepi, semoga keluarga ini selalu bahagia dan dihindarkan dari segala marabahaya, Aamiin."
TBC