Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Hari-hari setelah penculikan itu terasa lebih tenang bagi Dasha dan Gavin, meskipun rasa khawatir masih terus menghantui mereka. Nathan kembali ke kehidupan normalnya, perlahan-lahan melupakan ketegangan yang pernah terjadi. Dasha dan Gavin merasa lega bisa kembali bersama Nathan, memberikan kenyamanan yang dulu sempat hilang, meskipun perasaan cemas tetap ada, terutama terhadap Clara yang belum menyerah begitu saja.
Setelah satu minggu izin, Nathan akhirnya memutuskan untuk kembali bersekolah. Di pagi hari, dia terlihat sedikit ragu saat memakai tas sekolahnya. Dasha, dengan senyum lembut, membantu menyemangatinya. "Kamu siap, sayang?" tanyanya penuh kasih.
Nathan mengangguk kecil, meskipun matanya masih tampak sedikit sendu. "Aku cuma takut," ujarnya pelan.
Dasha menunduk untuk melihat mata Nathan, memberikan pelukan yang menenangkan. "Tidak ada yang perlu kamu takuti, Nathan. Kita semua di sini untuk kamu. Kamu selalu bisa pulang ke rumah dengan aman."
Gavin, yang berdiri di samping mereka, menambahkan dengan senyum hangat. "Dan ingat, kita selalu ada di belakang kamu. Sekolah itu tempat yang menyenangkan. Kamu akan bertemu teman-teman baru."
Setelah berpamitan, Nathan pergi dengan langkah yang lebih ringan, meskipun hatinya tetap merasa cemas. Dasha dan Gavin mengawasi dari jendela, memastikan Nathan berjalan dengan baik menuju sekolah.
Di sisi lain, Clara yang masih terperangkap dalam kebenciannya terus merencanakan langkah selanjutnya. Meski ia kehilangan Nathan untuk sementara waktu, dendamnya terhadap Dasha dan Gavin belum selesai. Clara tahu, suatu hari nanti, ia akan kembali untuk merebut apa yang menurutnya seharusnya menjadi miliknya.
Namun untuk sementara, Dasha dan Gavin berusaha menjaga kedamaian dalam keluarga mereka, menjalani hari-hari yang penuh kasih sayang. Meskipun mereka tahu, ancaman Clara masih mengintai, mereka memutuskan untuk tetap tegar. Kini, mereka hanya bisa berharap bahwa kebahagiaan mereka bersama Nathan akan tetap bertahan, tanpa gangguan dari masa lalu yang kelam.
Minggu-minggu berlalu dengan ritme yang perlahan kembali normal bagi Dasha, Gavin, dan Nathan. Sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi Nathan, meskipun terkadang dia teringat akan kejadian yang telah membuatnya begitu ketakutan. Namun, dengan dukungan dari Dasha dan Gavin, ia berusaha menghadapinya dengan berani. Setiap hari setelah sekolah, mereka duduk bersama, mendengarkan cerita tentang teman-temannya dan petualangan kecil yang ia alami di kelas.
Gavin dan Dasha tak pernah melewatkan kesempatan untuk memberikan kenyamanan dan kehangatan yang dibutuhkan Nathan. Setiap malam, mereka bercerita sebelum tidur, menjaga ikatan yang kuat antara mereka bertiga. Mereka tahu bahwa meskipun dunia luar penuh ketegangan, rumah mereka adalah tempat perlindungan yang aman bagi Nathan.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Clara, yang terus menghabiskan waktunya merencanakan cara untuk merebut Nathan kembali, mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tak akan berhenti begitu saja. Meskipun berbulan-bulan berlalu tanpa kabar, Clara menemukan cara untuk mendekati keluarga Gavin dan Dasha secara diam-diam.
Suatu hari, tanpa mereka ketahui, Clara berhasil menghubungi salah satu teman lama Gavin yang bekerja sebagai pengasuh anak-anak. Teman itu, yang tidak tahu siapa Clara sebenarnya, memberi tahu dia tentang rutinitas Nathan jam-jam pulang sekolah, tempat yang sering ia kunjungi, bahkan detail kecil tentang kehidupan sehari-hari mereka. Clara merasa ini adalah kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
Pagi itu, Dasha dan Gavin baru saja mengantarkan Nathan ke sekolah, merasa yakin bahwa hari itu akan berjalan seperti biasa. Namun, begitu mereka berbalik menuju rumah, perasaan tidak enak menyelimuti mereka. Di sebuah sudut jalan dekat sekolah, mereka melihat seorang wanita berambut cokelat panjang dan mengenakan jaket hitam, mengamati mereka dari kejauhan. Dasha merasa familiar dengan sosok itu, meskipun wajahnya sebagian besar tertutup oleh masker.
“Gavin itu” Dasha berkata perlahan, jantungnya berdegup kencang.
Gavin menoleh, melihat sosok itu dengan hati-hati. "Clara," jawabnya, matanya menyipit penuh waspada.
Dasha menarik tangan Gavin. "Kita harus pergi dari sini, sekarang. Dia sedang mengawasi kita."
Mereka bergegas kembali ke mobil, namun rasa cemas terus merayapi hati mereka. Clara tak hanya mengamati, tapi dia mulai menunjukkan bahwa dia siap untuk bertindak. Bahkan tanpa kata-kata, hanya dengan pandangan matanya yang tajam, Clara sudah memberi sinyal bahwa ini baru permulaan dari permainan berbahaya yang tak akan mudah berakhir.
Kembali ke rumah, Dasha dan Gavin mulai merencanakan langkah mereka selanjutnya. Mereka tahu, Clara tidak akan mundur tanpa perlawanan. Namun, mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan menyerah pada ancaman itu. Gavin menyarankan untuk lebih hati-hati dengan langkah-langkah yang mereka ambil, mencari perlindungan yang lebih ketat untuk Nathan.
Dasha menatap Nathan yang baru saja pulang dari sekolah, melihat senyum kecilnya yang sudah mulai kembali. “Kita harus tetap kuat, demi Nathan,” bisiknya kepada Gavin.
Dan di saat yang sama, Clara, yang masih tersembunyi dalam bayang-bayang, mengatur rencananya lebih lanjut. Meskipun Nathan kini berada dalam pelukan kasih sayang Dasha dan Gavin, ia bertekad untuk merebut kembali apa yang ia anggap miliknya, dengan cara apa pun.
Perebutan ini baru saja dimulai.
.
.
.
.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Dasha dan Gavin memperketat pengawasan terhadap Nathan. Mereka memutuskan untuk tidak lagi mengizinkannya pulang sendirian dari sekolah. Setiap kali ia keluar, Gavin atau Dasha selalu mengantar atau menjemputnya. Mereka merasa bahwa meskipun mereka sudah memulihkan sebagian ketenangan, ancaman Clara masih bisa datang kapan saja, dan mereka tak ingin mengambil risiko.
Nathan merasakan perubahan itu, namun ia juga mengerti bahwa itu dilakukan untuk melindunginya. Terkadang, ia merasa sedikit cemas, namun selalu ada pelukan hangat dari Dasha yang membuatnya merasa lebih tenang. Gavin juga menghabiskan waktu lebih banyak di rumah, bekerja dari sana, agar bisa selalu waspada.
Namun, ketenangan mereka mulai terguncang lagi ketika suatu pagi, tepat sebelum berangkat sekolah, Nathan menerima sebuah pesan singkat di ponselnya. Pesan itu berasal dari nomor yang tidak dikenal, hanya berisi kata-kata yang sangat singkat "Kamu sudah terlindungi, tapi mama akan selalu mencarimu."
Nathan langsung terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak memberitahukan Dasha atau Gavin tentang pesan itu, takut mereka akan khawatir lebih lagi. Namun, rasa takut itu tetap membayanginya sepanjang hari. Sesampainya di sekolah, ia merasa seolah ada yang mengawasi setiap langkahnya.
Di sisi lain, Clara semakin mendekati titik akhir dari rencananya. Meskipun sudah berbulan-bulan sejak penculikan, ia masih merasa ada kekosongan yang harus diisi. Clara tahu betul bahwa dengan menekan psikologis Nathan memunculkan rasa ketakutan dan kebingungannya ia bisa mulai menggoyahkan ketahanan mental anak itu. Ia juga mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya untuk mendapatkan akses lebih dekat kepada Nathan.
Suatu malam, Clara menemui teman lama Gavin yang pernah bekerja sebagai pengasuh anak-anak, yang sebelumnya memberi informasi mengenai rutinitas Nathan. Clara memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mengikuti jejak langkah Gavin dan Dasha, mengamati lokasi-lokasi yang mereka kunjungi, dan mencatat setiap perubahan kecil yang mereka buat.
Dengan kesabaran, Clara menyusun langkah-langkah kecil. Ia tahu, untuk merebut Nathan, ia harus mengubah cara pandangnya terhadap dunia menggunakan taktik yang lebih halus namun berbahaya.
Sementara itu, Gavin dan Dasha, yang mulai merasakan ada sesuatu yang tak beres, mulai lebih berhati-hati. Mereka mulai memperhatikan perubahan pada Nathan. Meskipun anak itu tetap ceria dan semangat bersekolah, ada ketegangan di wajahnya yang tak bisa mereka abaikan.
Pada suatu malam, setelah makan malam, Gavin memutuskan untuk berbicara dengan Nathan. "Sayang, kamu merasa baik-baik saja?" tanyanya sambil menyentuh kepala Nathan dengan lembut.
Nathan menunduk, ragu-ragu untuk berbicara. "Aku aku dapat pesan dari seseorang," jawabnya pelan. "Dia bilang Mama Clara akan selalu mencariku."
Dasha langsung terdiam, wajahnya berubah pucat. "Nathan, siapa yang mengirim pesan itu?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Nomor tidak dikenal," jawab Nathan. "Aku aku takut, Bun. Apa kalau kalau dia datang lagi?"
Gavin dan Dasha saling pandang, mengetahui bahwa ancaman Clara semakin dekat. Dasha merangkul Nathan erat-erat. "Tidak ada yang perlu kamu takutkan, sayang," ujarnya, mencoba menenangkan anak itu, meski hatinya sendiri dipenuhi kecemasan. "Kami akan selalu melindungimu."
Namun, meski Dasha mencoba menenangkan, ia tahu bahwa mereka tak bisa lagi bersikap santai. Clara semakin mendekat, dan mereka harus siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi. Langkah-langkah perlindungan lebih lanjut harus segera diambil.
Dalam hati mereka, mereka tahu satu hal: ini bukan sekadar masalah menjaga Nathan, tetapi juga tentang melindungi masa depan mereka dari bayang-bayang Clara yang gelap.