800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Bara yang Menyala di Pelosok
Serangan besar di Kota Cakar berhasil menggetarkan kekuasaan Atlantis, tetapi Athena tahu kemenangan kecil ini tidak akan bertahan lama tanpa pergerakan yang lebih luas. Di seluruh wilayah yang dikuasai Atlantis, perlawanan mulai bermunculan seperti api kecil yang tersebar. Namun, untuk melawan kekuatan sebesar Atlantis, pemberontakan ini harus terkoordinasi. Athena dan kelompoknya mulai menyusun strategi untuk menyatukan kota-kota kecil yang telah menunjukkan tanda-tanda perlawanan.
Dalam kegelapan ruang bawah tanah yang tersembunyi, Athena dan para pemimpin pemberontakan lainnya memetakan langkah berikutnya. Dengan bantuan beberapa mantan teknisi komunikasi, mereka berhasil meretas salah satu stasiun radio lama Atlantis.
Malam itu, suara Athena terdengar di berbagai kota di wilayah jajahan:
“Kepada mereka yang merasa ditindas, kepada mereka yang kehilangan rumah dan keluarga karena Atlantis—kalian tidak sendiri. Kita telah memukul mereka di Kota Cakar, dan kita akan terus melawan. Ini saatnya bersatu, untuk merebut kembali kebebasan kita. Kepada setiap pemimpin perlawanan, setiap jiwa yang mendambakan kebebasan, kita tunggu kalian di perbatasan Nirang. Bersama, kita akan melawan tirani mereka.”
Pesan itu menyebar luas, memicu berbagai reaksi. Di beberapa kota kecil, kelompok pemberontak yang sebelumnya terisolasi mulai bergerak. Di sisi lain, militer Atlantis meningkatkan pengawasan mereka, memburu siapa pun yang berani menyebarkan pesan tersebut.
Athena memutuskan untuk pergi ke kota kecil Alara, salah satu wilayah yang baru saja memulai pemberontakan. Kota itu merupakan pusat tambang logam yang selama ini dieksploitasi Atlantis. Rakyat di sana telah mulai menolak bekerja untuk pasukan musuh, tetapi tanpa perlindungan dan senjata, mereka berada dalam posisi yang rentan.
Athena dan timnya menyusup ke Alara saat fajar menyingsing. Mereka disambut oleh sekelompok warga yang lelah, dipimpin oleh seorang pria tua bernama Kalen.
“Kalian benar-benar datang,” kata Kalen dengan suara penuh haru. “Kami pikir kami sudah dilupakan.”
“Kalian tidak sendirian,” jawab Athena dengan tegas. “Tapi jika ingin bertahan, kalian harus bersiap untuk perlawanan nyata. Atlantis tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja.”
Athena dan timnya mulai melatih warga Alara cara menggunakan senjata sederhana dan merancang jebakan untuk melawan patroli militer Atlantis. Mereka juga mengatur strategi untuk menyerang gudang suplai kecil di pinggir kota, yang dapat memberikan mereka senjata dan makanan.
---
Tiga hari kemudian, serangan dimulai. Dengan koordinasi yang rapi, Athena memimpin kelompok kecil pemberontak Alara menyerang gudang suplai milik Atlantis. Serangan itu berjalan mulus di awal, dengan para penjaga musuh tidak menyadari kehadiran mereka.
Namun, tak lama setelah mereka berhasil menguasai gudang, suara deru kendaraan militer terdengar di kejauhan. Pasukan Atlantis yang dipimpin oleh Kapten Elara, salah satu komandan paling brutal, tiba di tempat itu dengan jumlah yang jauh lebih besar.
Athena menyadari bahwa mereka tidak punya cukup waktu untuk membawa semua suplai yang mereka butuhkan.
“Kita harus mundur,” serunya kepada Kalen.
“Tapi senjata-senjata ini—” protes Kalen.
“Senjata tidak berguna jika kita semua mati di sini,” jawab Athena tegas.
Dengan berat hati, mereka meninggalkan sebagian besar suplai yang telah mereka rebut dan melarikan diri ke dalam hutan di sekitar Alara. Pasukan Atlantis mengejar mereka tanpa henti, menyebabkan korban jiwa di pihak pemberontak.
Ketika Athena dan kelompoknya akhirnya berhasil kembali ke kota, mereka disambut dengan kesedihan. Banyak pemberontak yang gugur dalam pengejaran tersebut, termasuk beberapa pemuda yang baru bergabung. Kalen memandang Athena dengan wajah penuh duka.
“Kami percaya padamu, Athena. Tapi apakah semua ini layak?”
Athena merasa bebannya semakin berat. Ia tahu bahwa setiap kekalahan, setiap nyawa yang hilang, akan terus menghantuinya. Namun, ia juga tahu bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain.
“Layak atau tidak, ini adalah satu-satunya jalan untuk merebut kembali kebebasan kita,” jawabnya.
Athena menghabiskan malam itu bersama Sila dan beberapa pemberontak lainnya, merencanakan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa jika perlawanan terus terpecah-pecah seperti ini, mereka tidak akan pernah mampu melawan Atlantis.
“Kita butuh sekutu,” katanya kepada Sila. “Tidak hanya dari kota-kota kecil, tapi dari dalam Atlantis sendiri. Pasti ada orang-orang di sana yang juga ingin melihat kejatuhan rezim ini.”
---
Mata-Mata dari Dalam
Di tengah diskusi itu, salah satu anggota kelompok Athena, seorang pemuda bernama Darek, menawarkan sebuah ide berbahaya.
“Aku punya kontak di Kota Emas, salah satu wilayah utama Atlantis. Dia bekerja sebagai teknisi di salah satu fasilitas militer mereka. Jika kita bisa menghubunginya, mungkin dia bisa membantu kita mendapatkan informasi penting.”
Athena memandang Darek dengan ragu. “Ini terlalu berisiko. Jika dia tertangkap, kita semua dalam bahaya.”
“Tapi jika berhasil, ini bisa menjadi keuntungan besar bagi kita,” desak Darek.
Setelah berdiskusi panjang, Athena akhirnya setuju untuk mengirim Darek ke Kota Emas. Namun, ia tahu bahwa keputusan ini bisa menjadi titik balik—atau justru membawa kehancuran bagi perlawanan mereka.
Di Alara, rakyat mulai mempersiapkan diri untuk serangan balasan yang pasti akan datang. Athena, dengan semangat yang mulai terguncang, tetap berdiri sebagai pemimpin. Di hatinya, ia tahu bahwa perjuangan ini baru saja dimulai, dan pengorbanan yang lebih besar mungkin masih akan datang.
Di kejauhan, langit Kota Cakar tampak gelap. Namun, di mata Athena, setiap langkah kecil yang mereka ambil adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Perlawanan harus terus hidup.