Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyeramkan
Cukup lama berada di dalam kamar mandi, Dominic akhirnya segera keluar. Dia melilitkan handuk ke pinggangnya, lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi.
Ruby melihat Dominic berjalan keluar dari kamar mandi dan menuju walk in closet. Dia merasa malu saat mengingat kembali kejadian di kamar mandi tadi.
"CK, aku tahu ini kamarnya, tetapi kenapa dia harus kembali ke kamar ini? Sudah sangat bagus dia berada di ruangan penuh buku itu!" gerutu Ruby dengan pelan.
Tidak lama kemudian, Dominic keluar dari walk in closet dengan hanya mengenakan boxer saja. Ruby langsung memandang sesuatu di antara pangkal paha Dominic. Benda di sana tercetak sempurna dan mampu membuat Ruby menahan nafasnya.
"Semakin panas, aku kepanasan sekarang," gumam Ruby dengan geram.
Ruby duduk di tepi ranjang, kakinya diayunkan, sembari matanya menatap ke arah Dominic yang kini tampak sibuk dengan laptop di atas meja.
Ruby tersenyum tipis melihat raut wajah serius suaminya itu. "Dia tampan sekali," gumamnya, kemudian Ruby menggelengkan kepalanya, merasa heran dengan pujian yang baru saja dia lontarkan. "Untung saja dia tidak dengar. Jika dia sampai mendengarnya, dia pasti akan besar kepala!"
"Kau sudah makan malam?" tanya Ruby.
"Belum," jawab Dominic, tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Kau ingin makan malam di kamar? Aku akan meminta pelayan mengantarkan makan malam untukmu," kata Ruby.
"Ya, sekalian suapi aku," sahut Dominic.
"Apa? Menyuapimu? Kenapa kau perlu disuapi?"
Dominic menoleh ke samping dan menatap Ruby. "Karena aku sedang sibuk."
"Bagaimana jika Robin saja yang menyuapimu?" tanya Ruby.
"Kau sudah gila?" balas Dominic dengan tatapan tajam.
"Kau kan sangat dekat dengan Robin. Aku yang istrimu saja kalah dengan Robin. Kalian seperti pasangan yang tak terpisahkan," ucap Ruby penuh dengan ejekan.
Tanpa mengatakan apa pun, Dominic langsung berdiri dan berjalan mendekati Ruby.
Melihat Dominic berjalan mendekat, Ruby yang sedang duduk di tepi ranjang, segera berdiri dan melangkah mundur.
"Mau apa kau, Dominic?"
"Menurutmu apa?" balas Dominic bertanya.
"Jangan macam-macam!"
Dominic tertawa kecil. Tangannya akan meraih tangan Ruby, namun wanita itu dengan cepat menjauhkannya dari Dominic.
Ruby semakin terpojok, punggungnya menekan jendela kaca yang dingin dan menyebabkan gemetar ringan pada tubuhnya.
Tak ada jalan lain untuk menghindar dari pandangan tajam Dominic yang kini hanya beberapa inci dari wajahnya. Tangannya yang kasar menyentuh jendela, membatasi ruang gerak Ruby.
"A-apa yang kau lakukan, Dominic?" suara Ruby tergagap, lampu di kamar menciptakan bayangan yang membuat wajah Dominic terlihat lebih menyeramkan.
"Tadi kau bilang aku dekat dengan Robin bukan? Jadi sekarang aku mencoba dekat denganmu, supaya kau ingat bahwa kau lah istriku, bukan Robin!" suara Dominic berbisik serak, penuh emosi yang tidak bisa disembunyikan.
Nafasnya yang hangat terasa di leher Ruby, membuat bulu kuduknya berdiri. Ruby mencoba menelan ludah, mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan situasi tapi suaranya tercekat. Wajah Dominic yang sudah cukup menyeramkan, kini terlihat begitu bertambah menyeramkan. Hatinya berdebar kencang, mencoba memproses situasi yang kian menegang.
Tiba-tiba Dominic tertawa. "Wajahmu kenapa begitu? Baru didekati seperti ini saja kau sudah ketakutan."
"Kau menyeramkan!" sahut Ruby.
"Aku bisa lebih menyeramkan lagi," balas Dominic berbisik, sangat dekat dengan telinga Ruby. "Di atas ranjang."
Ruby bergidik ngeri mendengarnya. Dia tidak berani menatap wajah Dominic yang sangat dekat dengan wajahnya.
Puas membuat Ruby merasa takut, senyum sinis Dominic berkembang di sudut bibirnya. Dengan langkah angkuh, dia berbalik dan kembali menuju sofa. Ruby menarik nafas panjang, jantungnya masih berdegup kencang. Tangan gemetarnya memegang erat dadanya, dia bersyukur Dominic tidak melanjutkan aksinya.
"Sekarang dia mulai membahas tentang ranjang, mengerikan sekali," gumam Ruby.
...----------------...
Pukul 12 malam, waktu setempat..
Dominic yang masih terjaga, berdiri di tepi ranjang. Dia terus memandang Ruby yang terlelap dengan napas lembut dan teratur.
Wajahnya tampak tenang, tanpa mengetahui apa yang sedang direncanakan pria di sampingnya. Cahaya remang-remang dari lampu meja memberikan bayangan samar pada ruangan.
Perlahan, Dominic mengambil ponsel Ruby dari meja samping. Tangannya bergerak hati-hati, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur wanita itu. Dia menempelkan jari Ruby ke sensor sidik jari.
Layar ponsel menyala, terbuka dengan mudah.
Dominic segera mencari kontak bernama "Ayah." Setelah menemukannya, alisnya mengernyit.
Penasaran, dia melanjutkan pencariannya, memeriksa keberadaan Ayah, Ibu, dan Kakak Ruby menggunakan fitur pelacak lokasi di ponsel itu. Namun, karena ponsel Ruby terbatas fungsinya, Dominic terpaksa melacak melalui laptopnya yang masih menyala.
Hasilnya membuat Dominic terdiam. Ketiga titik lokasi menunjukkan satu tempat yang sama—sebuah rumah yang tampak tidak asing di layar.
Mata Dominic menyipit. "Di sini? Bukankah ini rumahnya sendiri? Mereka bertiga masih ada di rumah," gumamnya pelan. Keanehan ini membuat pikirannya berputar-putar.
Dominic mencoba menghubungkan fakta-fakta. Mereka semua ada di tempat yang sama. Namun, Mengapa mereka tidak menjawab panggilan Ruby, meskipun ponselnya jelas aktif?
"Ada apa ini? Apakah tiga orang ini dicelakai oleh keluargaku?" gumam Dominic, mengingat bagaimana kejamnya keluarganya.
Dominic memutuskan untuk memeriksa lebih lanjut. Namun, sesuatu yang mengganjal mulai tumbuh dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Seolah-olah ada rahasia besar yang tersembunyi di balik keheningan keluarga Ruby.
Matanya melirik ke arah Ruby yang masih tertidur. Dia bertanya-tanya apakah wanita itu mengetahui sesuatu, atau justru sama terkejutnya jika mengetahui fakta ini.
Di tengah malam yang sunyi itu, Dominic berdiri terpaku. Ponsel di tangannya terasa dingin, dan intuisi dalam dirinya berkata bahwa ini baru awal dari misteri yang jauh lebih besar.
"Aku akan ke rumah itu sekarang," gumamnya.
Dominic berdiri dari duduknya. Dia berjalan ke walk in closet dan mengganti pakaiannya. Dominic mengenakan setelan berwarna hitam dengan sarung tangan kulit hitam. Malam ini dia akan pergi sendiri, sebab Robin sedang berada di Palermo untuk memeriksa markas mereka.
...****************...