Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2_Hukuman, Perbedaan, dan Harapan
Saat ini, Santi tengah menerima hukuman membersihkan kamar mandi sekolah. Ketika murid lain sibuk menyimak penjelasan guru di dalam kelas, ia harus berkutat dengan sikat WC. Hukuman itu ia terima karena terlambat datang ke sekolah selama sepuluh menit. Hingga kamar mandi selesai dibersihkan, ia tidak diizinkan masuk ke kelas.
“Hei, kamu terlambat juga ya? Syukurlah, jadi aku punya teman,” ujar Ratna, teman sekelas Santi, yang baru saja memasuki kamar mandi dengan penampilan rapi dan wangi.
Berbeda dengan Ratna, Santi tampak kusut dengan pakaian yang sedikit berbau asap dapur. Seragam yang ia kenakan sudah kusam, peninggalan dari tetangganya yang telah tamat sekolah.
“Iya, Ratna. Kamu juga terlambat? Tumben, kok bisa?” tanya Santi heran. Selama ini, Ratna dikenal selalu datang tepat waktu.
“Iya nih, tadi malam aku terlalu capek, jadi pagi ini terlambat bangun,” jawab Ratna sambil mulai membantu menggosok lantai kamar mandi.
“Capek kenapa? Memangnya tadi malam kamu melakukan apa sampai kelelahan?” Santi bertanya dengan penasaran.
“Rahasia dong, kamu ingin tahu saja,” jawab Ratna sambil tersenyum jahil.
“Oh, begitu. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu selalu terlambat datang ke sekolah? Rumah kamu jauh, ya?” tanya Ratna, yang kini mulai penasaran.
“Jarak rumahku ke sekolah sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar empat kilometer,” jawab Santi.
“Empat kilometer? Itu kan cukup dekat. Tapi kenapa hampir setiap hari kamu terlambat? Ada apa?” tanya Ratna dengan nada heran.
Santi hanya diam sejenak, menghela napas panjang, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa menjawab.
“Eh, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Nikmati saja. Lagipula, hukuman seperti ini tidak terlalu buruk, kan? Malah lebih santai daripada mendengarkan guru di kelas,” ujar Ratna berusaha menghibur.
Santi hanya tersenyum tipis. “Bukan soal hukuman ini, Ratna. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Yang membuatku kesal adalah situasi di rumahku,” ucapnya dengan suara yang sarat emosi.
“Maksudmu? Memangnya kenapa dengan keluargamu? Keluargamu baik-baik saja, kan?” tanya Ratna dengan nada prihatin.
“Baik-baik saja? Tidak juga. Ayah dan ibuku tidak pernah benar-benar bertanggung jawab sebagai orang tua. Aku dan adik-adikku harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan kami,” ujar Santi dengan nada lirih.
Ratna terlihat terkejut. “Bukankah itu tugas orang tua? Memangnya bagaimana situasi di rumahmu?”
Santi menghela napas lagi sebelum melanjutkan. “Adik-adikku yang masih kecil saja sudah harus bekerja untuk mendapat uang jajan. Aku sendiri sering menunggak uang sekolah, bahkan buku pelajaran sering tidak bisa kubayar. Di rumah, aku juga harus mengurus pekerjaan rumah tangga setiap hari. Rasanya semua beban ada di pundakku. Kadang aku berpikir lebih baik berhenti sekolah dan bekerja saja,” kata Santi dengan nada getir.
“Jadi kamu benar-benar ingin bekerja? Memangnya kamu tidak takut pendidikanmu akan terputus?” tanya Ratna serius.
“Aku tidak punya pilihan lain, Ratna. Kalau ada pekerjaan paruh waktu, aku ingin mencobanya, apa pun itu. Mencuci piring di rumah makan, menjadi pelayan, atau bahkan menjadi asisten rumah tangga. Apa saja asalkan aku bisa mendapatkan uang,” pinta Santi penuh harap.
Ratna mengangguk pelan, memikirkan sesuatu. “Kamu benar-benar serius ingin bekerja?” tanyanya lagi.
“Tentu saja. Aku sangat membutuhkan pekerjaan,” jawab Santi tegas.
“Ada satu pekerjaan, tapi aku tidak yakin kamu mau,” ujar Ratna sambil menatap Santi penuh arti.
“Maksudmu apa?” tanya Santi penasaran.
“Kalau kamu mau, aku tahu ada pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang. Tapi ini bukan pekerjaan biasa,” jawab Ratna dengan nada serius.
“Jangan bilang kamu menyarankan aku melakukan sesuatu yang tidak pantas,” tebak Santi dengan nada curiga.
“Bukan begitu! Aku hanya memberi opsi. Kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa,” sahut Ratna santai.
“Ratna, aku butuh pekerjaan yang wajar. Kalau ada pekerjaan lain, tolong bantu aku,” ujar Santi dengan nada memohon.
Ratna menghela nafas, lalu tersenyum kecil. “Baiklah, kalau begitu kita cari jalan lain. Tapi aku tidak menjanjikan apa-apa. Oh ya, bagaimana kalau kita ke kantin? Aku traktir, anggap saja ini sebagai pelipur laramu,” ajak Ratna.
Santi sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu, Ratna hanya ingin membantu menghiburnya. Meski mereka tidak terlalu dekat, Ratna adalah salah satu orang yang memperlakukannya dengan baik di sekolah.