Nikah dadakan karna di jodohkan ❌ Nikah dadakan gara gara prank ✅ Nikah dadakan karna di jodohkan mungkin bagi sebagian orang memang sudah biasa, tapi pernah gak sih kalian mendadak nikah gara gara prank yang kalian perbuat ? Emang prank macam apa sampe harus nikah segala ? Gw farel dan ini kisah gw, gara gara prank yang gw bikin gw harus bertanggung jawab dan nikahin si korban saat itu juga, penasaran gimana ceritanya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shusan SYD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31
Keesokan harinya, selepas pulang dari kuliah, aku dikejutkan oleh ajakan Alesha untuk berolahraga malam bersama. Itu bukan sesuatu yang biasa dia lakukan, terlebih aku tahu dia sedang datang bulan. Aku menyimpan keraguan. Setahuku, di saat seperti itu, perempuan tidak dianjurkan untuk melakukan aktivitas seksual karna suatu alasan. Namun, aku tak langsung bertanya.
“Alesha, serius kamu mau ?” tanyaku, mencoba memastikan.
Dia mengangguk kecil dan tersenyum tipis seraya menggodaku.
“Aku udah selesai, kok,” jawabnya ringan, seperti bisa membaca pikiranku.
Jawaban itu membuatku sedikit lega, tapi kegelisahan lain muncul di benakku. Aku tahu dengan olahraga malam bersama tanpa ikatan pun itu sudah dosa.
Aku sadar bahwa kebersamaan seperti ini akan menjerumuskan ku ke dalam hal yang tidak seharusnya. Aku tahu batasan, tahu apa yang benar dan salah. Tapi entah mengapa, melihat semangat di wajahnya, aku merasa berat untuk menolak.
“Yaudah ayok,” akhirnya aku menyetujui.
“Tapi sekali aja ya." ucapku, aku pun khawatir bila keseringan. Takut dia hamil dan aku tak bisa bertanggung jawab, karna memang selama berhubungan kita tak pernah memakai pengaman mungkin hanya saat pertama kali saja.
Dia tersenyum lebih lebar kali ini, seolah itu yang dia tunggu-tunggu. Kami pun memutuskan untuk melakukan saat itu juga.
Keesokan pagi, aku sudah siap berangkat kuliah, namun aku menyadari Alesha masih terbaring di tempat tidur dan tak menunjukkan tanda-tanda ingin bersiap. Aku menghampirinya dengan rasa khawatir.
“Sha, kamu baik-baik aja kan ?” tanyaku pelan.
Dia hanya mengangguk tanpa beranjak sedikitpun, namun raut wajahnya terlihat berbeda. Ketika aku mendekat, aku melihat bibirnya yang pucat. Hatiku langsung berdegup cemas.
“Kamu kenapa ? Sakit ?” tanyaku lagi, aku coba meraba dahinya namun dingin.
Dia menghela napas perlahan, lalu berkata.
“Aku cma pusing aja kok. Mungkin karna kurang tidur aja semalam.”
Jawabannya terdengar ringan, tetapi tetap saja aku ragu. Bagaimana mungkin aku tenang meninggalkannya sendirian di kosan dalam keadaan seperti ini ?
“Ayo kita periksa aja, biar tahu,” bujukku, meski aku tahu dia mungkin akan menolak.
Benar saja, dia menggeleng pelan.
“Enggak usah, entar juga sembuh sendiri, kamu berangkat aja nanti kesiangan loh.” katanya, berusaha meyakinkanku meskipun wajahnya terlihat tak yakin dan dia malah mengkhawatirkan ku akan datang terlambat ke kampus nanti.
Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Kuliah pagi itu penting, tapi meninggalkan Alesha sendirian dalam keadaan seperti ini terasa salah. Dan akhirnya, aku memilih untuk tinggal, setidaknya sampai aku yakin dia benar-benar membaik. Aku kembali menyimpan perakatan belajarku.
"Kamu gak jadi berangkat ?" tanya alesha.
"Enggak, aku khawatir sama kamu." jawabku.
"Gak usah khawatir, aku gak apa apa." ucapnya seraya bangkit, seolah meyakinkanku bahwa dia baik baik saja.
"Tapi sha ?" tanyaku ragu,
"Kuliahmu lebih penting, sana kamu jalab aja." ucapnya.
Akhirnya, meski dengan berat hati, aku menuruti keinginan Alesha dan memutuskan untuk tetap berangkat ke kampus. Namun, selama di kelas, pikiranku jadi bisa sepenuhnya fokus. Wajah pucat nya terus terbayang, dan setiap detik terasa seperti beban yang tak kunjung reda.
Aku mencoba mendengarkan dosen dan mencatat seperti biasa, tapi pikiranku terus melayang ke arah kosan.
“Apa dia sudah lebih baik? Atau malah kondisinya memburuk ?” pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku.
Diam diam aku membuka ponsel dan mengirimkan chat pada alesha namun tak kunjung ada jawaban membuatku semakin tak tenang.
Waktu pun terasa berjalan begitu lambat, hingga akhirnya bel tanda berakhirnya jam kuliah berbunyi, aku langsung membereskan barang-barangku dengan tergesa-gesa. Tidak ada waktu untuk mengobrol dengan teman-teman atau singgah ke tempat lain. Langkahku cepat menuju parkiran.
Aku langsung melajukan motor ke arah kostan alesha secepat yang aku bisa.
Setibanya di depan pintu kosan, aku mengetuk perlahan sambil memanggil namanya.
"Sha, aku udah pulang."
Jantungku berdebar kencang, berharap dia menjawab dengan suara ceria seperti biasa. Tapi keheningan yang menyambut membuatku semakin cemas.
Kosan begitu sepi saat aku tiba. Tidak ada suara langkah kaki atau suara televisi seperti biasa. Aku memanggil namanya beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Dengan rasa khawatir yang semakin membuncah, aku memeriksa setiap sudut ruangan seraya terus memanggil manggil namanya.
Saat membuka pintu kamar mandi, aku menemukan Alesha di sana. Tubuhnya condong ke arah kloset, tangan kirinya bertumpu di dinding, sementara tangan kanannya memegang perutnya. Raut wajahnya tampak kesakitan, dan meski ia terlihat mual, tidak ada apa pun yang berhasil ia keluarkan.
“Sha !” seruku, langsung mendekatinya.
"Kamu udah pulang ?" tanyanya seraya mencoba tersenyum.
“Kamu kenapa ? Ini udah gak bisa dibiarkan, ayo kita ke dokter sekarang !” ajaku setengah memaksa.
Dia menggeleng lemah, menolak mentah-mentah.
“Enggak perlu... Aku cuma masuk angin kok,” katanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Tapi lihat keadaan kamu sekarang,” bantahku, mencoba meyakinkannya.
Dia tetap bersikeras. Matanya memohon agar aku tidak memaksanya. Aku tidak ingin membuatnya semakin tertekan, jadi dengan berat hati, aku menurutinya untuk sementara waktu.
"Kamu udah makan belum ?" tanyaku, dia hanya menggeleng.
"Pantesan aja." ucapku, aku membawa alesha keluar kamar mandi dan duduk di tepi ranjang.
“Aku beliin makan dulu, ya,” kataku, berusaha mencari cara lain untuk membantunya.
"Gak usah farel, aku gak mau makan." ucapnya.
"Yaudah kalo gak mau di beliin, kita makan di luar yuk." ajakku.
"Enggak usah, kamu baru aja dateng. Pasti masih capek kan ?" tanyanya.
"Enggak." jawabku.
"Yuk, kamu mau keluar ?" tanyaku memastikan. Alesha hanya menggeleng. Akhirnya aku yang keluar sendiri untuk mencari makan. Kebetulan hari memang sudah sore. Pasti pedagang pangkalan sudah mulai mengeluarkan dagangannya.
Aku pergi dan kembali dengan sekotak bubur hangat, aku kembali dan membawanya ke tempat tidur.
Dengan perlahan, aku mencoba menyuapinya. Namun, baru beberapa suap, dia sudah memalingkan wajah, tampak lebih mual daripada sebelumnya.
“Aku gak bisa,” gumamnya lemah, menahan napas seperti berusaha mengendalikan rasa mualnya yang semakin menjadi.
Aku hanya bisa menatapnya dengan cemas, bingung harus berbuat apa. Kondisinya semakin membuatku yakin bahwa ini lebih dari sekadar masuk angin. Namun, meyakinkannya untuk mendapatkan bantuan medis sepertinya akan menjadi tantangan besar.
Setelah beberapa saat berbaring dengan lemas, Alesha tiba-tiba membuka mata dan menatapku.
“Farel, kayaknya aku pengen yang asem-asem deh,” ucapnya pelan.
Aku tertegun sejenak.
"Hah, yang asem asem ?" tanyaku memastikan.
Dia mengangguk pelan, masih dengan raut lelah.
“Iya, mungkin aku bakal mendingan kalau makan yang asem.”
Aku langsung bingung. Sore begini, makanan asam seperti apa yang bisa kudapatkan dengan cepat ? Tapi melihat sorot matanya yang berharap, aku tak ingin mengecewakannya.
"Yaudah, tunggu ya. Aku cari dulu.” ucapku seraya mengambil jaket dan berlalu tanpa peduli rasa lelahku.
Aku bergegas ke supermarket terdekat, menyusuri rak demi rak, berharap menemukan sesuatu yang bisa memenuhi keinginannya. Setelah beberapa menit mencari, aku menemukan beberapa buah yang rasanya asam, seperti jeruk nipis, kiwi, dan mangga muda. Aku juga membeli yogurt rasa buah yang sedikit kecut, siapa tahu dia suka.
Saat aku kembali ke kosan, Alesha langsung terlihat sedikit lebih cerah begitu melihat kantong belanjaan di tanganku.
“Dapet gak ?” tanyanya sambil mencoba duduk.
“Coba kamu lihat,” ucapku seraya mengeluarkan satu per satu buah yang sudah ku beli.
Dia langsung mengambil mangga muda dan mulai menggigitnya perlahan. Wajahnya yang tadi tampak menderita kini berubah ceria. Dia mengunyah dengan tenang, dan aku memperhatikan, rasa mualnya benar-benar berkurang.
“Makasih farel, ini rasanya enak banget,” katanya dengan nada puas, lalu tersenyum ke arahku, aku hanya mengangguk.
Aku memperhatikan Alesha yang dengan santai memakan mangga muda itu, tanpa ekspresi sedikit pun. Setiap gigitan terdengar renyah, tapi wajahnya tetap datar, seperti rasa asam itu sama sekali tidak mengganggunya.
Air liurku hampir jatuh hanya dengan melihatnya. Rasanya mangga itu begitu menggoda.
"Kamu mau coba ?" tanya alesha seraya menyodorkan. Karna penasaran aku memutuskan untuk ikut mencobanya juga. Aku mulai menggigitnya sedikit.
Begitu gigitan pertama mendarat, rasa asam yang luar biasa langsung menyerang lidahku. Aku refleks memejamkan mata, wajahku meringis tanpa bisa dicegah.
“Ya ampun, asam banget.” seruku, berusaha menelan sambil mencari air minum.
Alesha hanya tertawa kecil, terlihat sedikit terhibur oleh reaksiku.
“Kenapa ? Asam banget, ya?” tanyanya dengan nada menggoda.
“Banget !” jawabku sambil menatapnya heran.
“Kok kamu bisa makan ini tanpa ekspresi ? Bahkan kelihatan nikmat banget.”
Dia mengangkat bahu sambil mengambil gigitan lagi, tetap tanpa reaksi apa pun.
“Gak tahu, rasanya enak aja buat aku. Kayaknya aku lagi butuh yang asem-asem, makanya rasanya biasa aja.”
Aku hanya menggelengkan kepala, bingung sekaligus kagum. Bagaimana dia bisa menahan rasa asam itu seolah tidak ada apa-apa ? Mungkin memang benar, tubuhnya sedang menginginkan sesuatu yang asam untuk menyeimbangkan kondisi.