Di sebuah desa kecil bernama Pasir, Fatur, seorang pemuda kutu buku, harus menghadapi kehidupan yang sulit. Sering di bully, di tinggal oleh kedua orang tuanya yang bercerai, harus berpisah dengan adik-adiknya selama bertahun-tahun. Kehidupan di desa Pasir, tidak pernah sederhana. Ada rahasia kelam, yang tersembunyi dibalik ketenangan yang muncul dipermukaan. Fatur terjebak dalam lorong kehidupan yang penuh teka-teki, intrik, kematian, dan penderitaan bathin.
Hasan, ayah Fatur, adalah dalang dari masalah yang terjadi di desa Pasir. Selain beliau seorang pemarah, bikin onar, ternyata dia juga menyimpan rahasia besar yang tidak diketahui oleh keluarganya. Fatur sebagai anak, memendam kebencian terhadap sang ayah, karena berselingkuh dengan pacarnya sendiri bernama Eva. Hubungan Hasan dan Fatur tidak pernah baik-baik saja, saat Fatur memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi anak Hasan Bahri. Baginya, Hasan adalah sosok ayah yang gagal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cindai
Saat tim forensik menguji abu yang diambil dari tempat pembakaran, mereka menemukan partikel-partikel kecil yang teridentifikasi sebagai komponen elektronik yang hancur. Ini semakin menguatkan dugaan bahwa para pelaku berusaha menghilangkan bukti yang dapat menghubungkan mereka dengan kasus tersebut.
Para polisi semakin memperluas pencarian mereka. Membagi tim untuk mencari bukti selanjutnya. Mencari dirumah-rumah kosong yang ada di desa Pasir yang memungkinkan menjadi tempat persembunyian pria itu. Jejak ban motor yang ditemukan di sekitar desa Pasir semakin mengarah pada satu titik, namun masih ada banyak titik yang harus dicari untuk memastikannya.
Sebagian dari polisi juga mencari tahu jejak Joni dan teman-temannya. Hilangnya mereka dari desa Pasir menimbulkan kecurigaan bagi polisi. Secara akal sehat, jika tidak bersalah kenapa malah melarikan diri.
Beberapa petunjuk yang ditemukan di sekitar tempat kejadian, serta keterangan saksi, mengarah pada kemungkinan bahwa mereka terlibat dalam kasus ini. Polisi melacak aktivitas mereka melalui rekaman CCTV, jejak-jejak digital, serta informasi dari warga desa yang sempat melihat mereka berkeliling di sekitar daerah tersebut.
Para polisi juga mencari tahu alasan dibalik tindakkan Joni dan kawan-kawannya. Mencari tahu lebih dalam tentang hubungan Joni dan Eva. Apakah Joni dan teman-temannya ini pelaku, atau hanya tertuduh saja.
Tim polisi mengalami beberapa kali kendala dalam menangani kasus. Motor-motor yang mereka kendarai tiba-tiba berhenti. Setelah diperiksa ban motor yang mereka kendarai kempis dan disekitar motor banyak terdapat paku di tebar sepanjang jalan.
Telepon para polisi berdering tanpa henti. Saat di angkat pasti yang menelpon polisi mengancam polisi. Walaupun terlihat sepele, tim-tim penyidik selalu diganggu oleh ancaman lewat telepon seperti ini.
"Dia itu pelaku, bukan korban." ujar orang disebrang telepon sebelum mematikan sambungan telepon.
Saat dilacak, lokasi terakhir berada didesa Pasir. Kepala tim, inspektur Ali memutuskan untuk melakukan pengamanan ketat diseluruh area penyidik. Ia tahu bahwa ancaman ini lebih dari sekadar gertakan, pelaku dengan sengaja ingin mengintimidasi polisi dan menghambat penyelidikan mereka.
Saat beberapa polisi patroli mencari jejak pelaku. Sebuah kendaraan melaju kencang dan menendang motor para polisi dan berakhir masuk ke parit.
Salah satu anggota terluka, tetapi mereka berhasil memanggil bantuan melalui panggilan telepon. Insiden ini menegaskan bahwa pelaku siap mengambil tindakan fisik untuk mengintimidasi mereka.
Semakin hari teror semakin menjadi-jadi meneror polisi. Saat di posko, sedang membahas rencana untuk menangkap para pelaku. Lampu genset mereka tiba-tiba mati.
“Ini pasti ulang mereka,” ujar Inspektur Ali dengan nada tegas. “Mereka sengaja memutus listrik."
Ketika tim mendekat, mereka menemukan satu unit generator milik warga desa telah dihancurkan.
Saat tim kembali ke posko, situasi semakin kacau. Beberapa rekaman penting yang disimpan di laptop tiba-tiba tidak bisa diakses. Tampaknya ada upaya peretasan, dan file-file penting telah dienkripsi oleh pelaku. Di layar laptop muncul pesan:
"Pergi dari sini, atau data kalian akan tersebar ke publik. Kami sudah cukup sabar."
Inspektur Andi menahan amarahnya. Ini bukan hanya teror fisik melainkan juga mental mereka. Belum sempat mereka berpikir dengan waras. Seorang warga berlari ke arah mereka dan berteriak minta minta tolong.
"Ada apa?" seru polisi melihat warga yang berteriak.
"Rumah bu Eva terbakar... Tolong pak..." ujar warga itu terengah.
Para polisi hanya menghela napas panjang dan segera ke lokasi kejadian. Mereka berusaha memadamkan api dengan membawa ember.
"Apakah bu Eva ada didalam?" tanya polisi.
"Kami tidak tahu... Ada beberapa warga tadi memeriksa didalam namun bu Eva tidak ditemukan..." jelas warga.
Satu polisi berusaha masuk ke dalam kobaran api. Melihat ke dalam sana, apakah masih ada Eva. Namun beberapa menit kemudian, Eva tidak ditemukan. Polisi lain segera mencari Eva disekitar kejadian.
Mata polisi tertuju pada goni besar di pinggir jalan. Polisi mendekatinya dengan hati-hati. Dia melihat ada yang bergerak. Dia mencoba membuka goni berukuran besar itu. Polisi terkejut saat melihat Eva menangis dan masih bisa bernapas. Polisi segera membawa Eva dan menenangkannya.
Tim dan warga begera bekerja keras untuk memadamkan api, tetapi banyak perlengkapan yang tak bisa diselamatkan.
“Pelaku ini semakin berani," kata Briptu Abbas, yang wajahnya penuh keringat setelah membantu memadamkan api.
Para polisi menyisir kembali lokasi kejadian sebelumnya. Berharap menemukan petunjuk tambahan. Namun mereka malah di jebak. Saat mendekati rumah kosong, pintu rumah tiba-tiba tertutup. Pak polisi tetap siaga dan mencoba membuka pintu. Mereka mendengar suara seperti orang menyiram, dan terdengar seseorang memantik mancis dan melemparkannya ke arah rumah.
“Semuanya, keluar sekarang!” teriak salah satu anggota.
Tim berusaha membuka pintu dengan paksa, tetapi tidak berhasil. Dalam situasi genting itu, seorang polisi dengan cepat menendang dan mendobrak jendela kayu rumah itu memungkinkan mereka untuk keluar satu per satu. Mereka berhasil selamat, tetapi insiden itu membuat mereka semakin waspada.
Mereka melihat rumah kosong itu terbakar. Para warga yang melihat dan polisi kembali bekerjsama memadamkan api. Polisi lain mencari pelaku. Namun si pelaku sangat cerdik, malah berbaur dengan warga memadamkan api.
Tidak habis-habis si pelaku mengusik polisinya. Paginya para polisi dan warga digemparkan oleh poster berwajah polisi yang bertugas, dan wajah mereka disilang merah. Di bawahnya tertulis pesan.
"Berhenti sebelum nama kalian hanya menjadi kenangan."
Polisi nampak geram, "Aku bersumpah, jika ku dapatkan pelaku ini, akan ku buat dia minta ampun padaku... Menyusahkan polisi saja..." ujar inspektur Ali.
Seketika dia mendapat sms dari orang asing, "Jika tidak mau disusahkan jangan jadi polisi... Bukankah itu kerjaan kalian. Biar gak makan buta saja kalian." Ali geram dan berteriak frustasi.
"Tuhan, pengen rasanya ku hisap darahnya dan kumakan dagingnya..." teriak Ali didepan semua orang.
Bukannya malah membuat orang-orang kasihan, malah para polisi lainnya dan para warga tertawa. Ali mengerutkan keningnya.
"Kenapa tertawa? Ada yang lucu?" tanya nya.
"Gak, cuma heran aja. Emang kau bisa menghisap darah dia? Udah kek cindai aja lu..." tawa polisi lainnya meledak.
"Lu harus cosplay jadi cindai dulu baru bisa menghisap darahnya..." sambung polisi lain. Cindai itu sejenis hantu yang cuma dibagian tubuhnya cuma ada kepala dan bagian usus aja. Kerjaanya menghisap darah anak-anak didalam kandungan. Kalau bahasa indonesianya itu kuyang.
"Bisa-bisanya kalian masih bisa tertawa disaat kita diserang habis-habisan sama si pelaku itu." kesal Ali.
ALi menatap rekan-rekannya dengan wajah merah padam. Hatinya berkecamuk antara frustasi dan heran. Bagaimana mungkin, di tengah teror yang mereka alami, mereka masih bisa tertawa seolah tidak terjadi apa-apa?
"Tertawa itu bentuk pelampiasan juga, Li," kata Briptu Abbas sambil menepuk pundaknya.
"Kalau nggak begini, kita bisa stres mikirin ini kasus."
Ali mendengus, melemparkan ponselnya ke meja. Pesan singkat dari orang asing itu masih terbayang di kepalanya.
"Lucu ya, mereka bisa bermain-main sama kita... Bahkan merencana membunuh kita. Sementara kita hanya cuma bisa bertahan. " gumam Ali.
"Salah! Malah kita yang sedang bermain-main dengan meraka. Memberi mereka harapan, yang akhirnya mereka akan kita dapatkan." Abbas berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi serius.
"Kita ini polisi, Li. Kita ada di garis depan, tapi bukan cuma buat diri kita. Kita buat mereka yang diam-diam berharap kita bisa selamatkan desa ini.”Ali terdiam.
Kata-kata itu membuatnya sadar. Namun sebelum dia.menjawab Abbas. Sms masuk ke hpnya.
"Kalau terlalu berat jadi polisi, kenapa nggak jadi petani saja? Lebih tenang, nggak perlu urus darah orang."
Andi mengangkat alis, lalu menunjukkan pesan itu ke semua orang. Wajah-wajah mereka mulai berubah serius.
“Ini bukan lelucon lagi,” kata Ali tegas.
“Mereka memantau kita, bahkan sampai ke komunikasi pribadi. Kita perlu strategi baru. Dan untuk itu, kita butuh pikiran jernih."
Namun ditengah pembahasan yang serius itu. Abbas kembali berbicara dengan nada bercanda.
“Li, kalau nanti ketemu pelakunya, jangan lupa cosplay jadi cindai dulu, ya. Biar kelihatan serem dikit.” katanya sambil tertawa.
Tawa itu kembali meledak di ruangan, meskipun Ali hanya mendengus kesal.
“Kenapa sih kalian nggak bisa serius sedikit?” bentak Ali.
“Kami serius, Li. Serius pengen lihat kamu cosplay,” jawab Abbas sambil terkekeh, membuat tawa lainnya makin keras. Ali mengusap wajahnya frustasi. Namun tawa ini bisa membuat mereka bisa lebih waras lagi dalam bertindak.
Ali hanya bisa mengusap wajahnya dengan frustasi. Tapi dalam hati, ia tahu bahwa tawa ini adalah cara mereka untuk bertahan. Di tengah tekanan, bahkan humor yang aneh sekalipun bisa menjadi senjata untuk tetap waras.