Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Makan malam
Karin berlari menghampiri Tara yang berdiri mematung di tengah rintik hujan, payungnya terjatuh cukup jauh darinya.
"Mas, payungnya kenapa bisa terbang?" tanya Karin terengah-engah.
"Ah, itu anginnya kencang sekali tadi Rin. Jadi payungnya lepas begitu saja dari tangan saya," jawabnya terbata, matanya sesekali melirik ke arah lain.
"Mas kok enggak bilang kalau mau jemput saya? Untung saya belum pulang sama Mbak Sabrina," ucap Karin agak keras menyaingi suara hujan yang turun.
"Sa-brina?" Tara terbata, raut wajahnya tampak sedikit terkejut.
"Itu Mbak Sabrina atasan saya," jawab Karin sambul menunjuk Sabrina yang tengah dipayungi Pak Wijaya.
Karin menepuk pelan tangan Tara. "Ayo ikut saya Mas. Mumpung di sini, saya mau kenalin Mas sama Mbak Sabrina."
Karin mengajak Tara berjalan beriringan di bawah payungnya. Lalu langkah mereka terhenti di hadapan Sabrina dan Pak Wijaya. Tanpa diduga, Tara tetiba menggenggam tangan Karin dengan erat.
Karin melirik Tara, lalu Tara balas menatapnya sambil tersenyum hangat. Karin pun membiarkannya, walau jantungnya mulai kembali berdebar tak menentu.
"Mbak, kenalin ini Mas Tara yang aku ceritain tadi," ucap Karin, memperkenalkan Tara kepada Sabrina.
Sabrina terdiam, matanya hanya terpaku pada Tara.
"Mas, kenalkan ini Mbak Sabrina atasan saya, lalu ini Pak Wijaya, suaminya," lanjut Karin memperkenalkan Sabrina, dan Pak Wijaya kepada Tara.
Tara mengamati keduanya dengan saksama. Dia mengangguk, lalu mengulurkan tangannya ke arah Sabrina terlebih dahulu.
"Tara... Fabian Arkantara," ucap Tara, dengan penuh penekanan pada namanya.
Sabrina menyambut uluran tangan Tara dengan cepat, lalu menyembunyikan tangannya di belakang punggung.
"Sabrina," jawabnya singkat.
Sedangkan Pak Wijaya menyambut uluran tangan Tara dengan ramah. "Wijaya Mahendra," ucapnya.
"Dia ini teman atau pacar kamu, Rin?" tanya Pak Wijaya, matanya menatap Karin.
"Saya calon suaminya Karin," jawab Tara.
Karin sontak terkejut mendengar pengakuan Mas Tara. Tak dia sangka Tara akan mengatakan itu padahal dirinya belum memberi jawaban.
"Wah selamat ya, semoga lancar sampai hari H," ucap Pak Wijaya, tersenyum lebar.
"Terima kasih untuk doanya," jawab Karin dan Tara serempak.
Pak Wijaya lalu menatap Sabrina yang sedari tadi terdiam dan menunduk. "Oh, iya sayang, karena kita ketemu mereka dan ada kabar bahagia seperti ini. Gimana kalau kita makan malam bersama? Kita rayakan hari bahagia mereka. Kamu mau kan?" tanya Pak Wijaya kepada Sabrina.
"Ah tidak usah Pak, Mbak Sabrina dan Pak Wijaya pasti sudah ada rencana sendiri kan," ucap Karin berusaha menolak ajakan Pak Wijaya dengan halus.
"Sudahlah enggak apa-apa Rin. Kita makan bersama sambil berbicara lebih banyak lagi. Pasti seru," ucap Tara setuju.
"Kamu juga setuju kan sayang?" tanya Pak Wijaya, kembali meminta persetujuan kepada Sabrina.
Karin memperhatikan wajah Sabrina, raut wajahnya tampak tegang. Lalu dia menggeleng pelan.
"Maaf Mas, lain kali aja ya kita makan malam sama Karin dan calon suaminya. A-aku lagi enggak enak badan Mas," jawabnya terbata.
"Kamu enggak enak badan? Apa yang kerasa sakit? Bagian mana?" tanya Pak Wijaya khawatir sambil memegang pipi, dan juga kening Sabrina.
"Aku cuma pusing dan mual kok sayang," jawab Sabrina, matanya menatap Pak Wijaya dengan lembut.
"Kamu mual?" Pak Wijaya tersenyum mendengarnya. "Kamu sudah datang bulan belum sayang? Apa kita ke rumah sakit sekarang?"
Sabrina tersenyum malu, lalu memukul bahu Pak Wijaya dengan manja. "Mas ih malu ada Karin, sama pacarnya."
"Ah, iya aku lupa," jawab Pak Wijaya, ikut tersipu malu.
"Ya sudah sepertinya kita makan bersama lain waktu saja ya Karin, Tara," ucap Pak Wijaya sambil menatap Karin, dan Tara.
"Iya Pak," jawab Karin.
"Maaf ya Rin, Mbak pulang duluan," ucap Sabrina, matanya menatap Karin dengan sedikit rasa bersalah.
"Iya enggak apa-apa. Hati-hati, cepat sembuh Mbak," jawab Karin.
Sabrina mengangguk, lalu segera masuk ke mobilnya bersama Pak Wijaya. Lalu keduanya pun menghilang dari pandangan Karin.
Tara mulai melepaskan genggaman tangannya secara perlahan. Karin pun menoleh, dan dia menyadari kalau wajah Tara terlihat pucat, dan sedikit sendu.
"Mas," panggil Karin sedikit khawatir.
"Iya Rin?" jawabnya, matanya menatap Karin dengan tatapan yang tak bersemangat.
"Mas enggak apa-apa? Wajah Mas kok pucat?" tanya Karin semakin khawatir.
"Sa-saya enggak apa-apa kok. Wajah saya pasti terlihat pucat karena kedinginan. Lebih baik sekarang kita masuk ke mobil. Hujannya semakin deras, Rin," jawab Tara tergesa.
Hujan memang turun semakin deras, membasahi jalanan. Begitu masuk ke mobil, Tara segera melepaskan jasnya yang basah kuyup, lalu mengambil jas lain yang tergantung di sandaran kursi belakang, dan ternyata dia menyampirkan jas itu ke tubuh Karin.
"Kalau kedinginan nanti kamu bisa terkena flu," ucap Tara, matanya menatap Karin dengan penuh perhatian.
"Makasih Mas."
"Sama-sama," jawabnya, lalu menyalakan mesin mobil.
Hening kembali menyelimuti keduanya. Tara menghela napas berkali-kali, hingga akhirnya dia mulai angkat bicara.
"Maaf ya saya tak memberitahu kamu kalau saya akan datang. Kamu pasti kaget tadi," ucap Tara.
"Iya, saya enggak menyangka Mas akan datang ke area tempat kerja saya. Untung saya belum pergi sama Mbak Sabrina loh."
Tara terdiam lagi, raut wajahnya kembali berubah sendu. Matanya menatap ke depan, seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Kamu sepertinya dekat ya sama orang yang namanya Sabrina itu?" tanya Tara.
"Iya Mas, saya sudah menganggap Mbak Sabrina seperti kakak sendiri kalau diluar jam kerja. Dia baik, dan selalu menjadi tempat saya bercerita kalau ada masalah." Karin menceritakan kedekatannya dengan Sabrina.
"Oh begitu, lalu suaminya? Suaminya kerja apa kalau boleh saya tahu?" tanya Tara lagi, membuat Karin merasa aneh, dan mulai penasaran dengan alasan di balik pertanyaan yang dilontarkan oleh Tara.
"Pak Wijaya seorang pengacara Mas," jawab Karin sedikit ragu.
"Oh pengacara, apakah dia memperlakukan istrinya dengan baik?" tanya Tara dengan nada yang terdengar sedikit kesal.
Karin terdiam, menatap Tara dengan heran. "Mas kenapa penasaran soal itu?"
"Ah, itu... saya hanya penasaran saja. Kebanyakan orang berprofesi seperti itu suka berperilaku tak baik pada istrinya," jawabnya.
"Oh begitu..." jawab Karin sedikit lega.
"Aku hampir berpikiran kalau Mas Tara tertarik dengan Mbak Sabrina. Huh, benar-benar pemikiran bodoh," batin Karin.
"Tenang saja Mas, Pak Wijaya itu suami yang baik. Dia sangat meratukan Mbak Sabrina. Dan dia juga sangat setia sama Mbak Sabrina walau mereka belum memiliki keturunan," jelas Karin.
"Oh begitu."
Tara kembali terdiam seakan sedang memikirkan sesuatu. Karin pun merasakan ada sesuatu yang berbeda dari sikap Tara hari ini, dan dia merasa Tara sedang menyembunyikan sesuatu.
Karin ingin bertanya, tapi fokusnya tiba-tiba tertuju ke arah jalan. Karin mulai merasa gelisah, saat sadar jalan yang dia lalui tidak menuju ke rumahnya.
"Mas, ngomong-ngomong kita mau kemana? Kok ini beda sama jalan menuju ke rumah saya?" tanya Karin sedikit panik.
Tara menepuk jidatnya, "Ya ampun, saya lupa kasih tahu kamu. Saya mau ajak kamu makan malam sekarang."
"Maaf, saya benar-benar lupa bilang. Kamu jangan anggap saya mau menculik kamu ya." Tara terkekeh pelan
"Ya ampun Mas, saya enggak mikir gitu kok. Saya cuma kaget, dan bingung aja karena jalannya beda," jawab Karin ikut tertawa kecil.
"Memang kita mau makan malam dimana Mas?"
"Nanti juga kamu tahu kok. Tempatnya bagus, kamu pasti suka," jawab Tara sambil tersenyum manis.
Karin mengangguk mengerti, dan memilih menikmati pemandangan jalanan yang sudah mulai berubah gelap.
Tara rupanya membawa Karin ke sebuah restoran yang cukup terkenal di sosmed. Restoran mewah, yang terletak di puncak gedung tinggi. Dari jendela restoran tersebut mereka bisa melihat keindahan kota di malam hari, dan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seperti bintang.
Makanan pembuka sudah tersaji di hadapan Karin, tapi Tara sedang pamit kembali ke mobil sebentar. Dia bilang ada hal penting yang tertinggal.
Karin menunggu sambil melihat pemandangan, lalu tak lama kemudian Tara kembali dengan sebuket bunga mawar merah yang indah di tangannya.
"Ini buat perempuan spesialku," ucap Tara sambil mengulurkan buket di tangannya.
Karin merasa senang dan terharu. Seumur hidupnya, dan selama berpacaran dengan Cakra pun, dia tak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu.
"Mas," ucap Karin terharu sambil menerima bunga tersebut.
Tara Lalu duduk dihadapan Karin. Karin tak bisa berhenti tersenyum saat melihat bunga yang kini ada di tangannya.
"Saya harap kamu suka dengan bunganya. Itu sebagai permintaan maaf saya soal kejadian beberapa hari yang lalu," ucap Tara.
"Terima kasih Mas."
"Karin," Tara memanggil Karin dnegan pelan dan lembut.
"Saya sudah berpikir berkali-kali, dan akhirnya saya sadar. Mungkin saya sudah terlalu lancang dan tergesa dalam memutuskan semuanya. Padahal hati kamu mungkin masih terluka dan trauma untuk hal yang serius."
Karin menatap Tara, lalu mencerna semua ucapan Tara. Karin juga mulai sadar, mungkin tak seharusnya dia menolak niat baik Tara. Mungkin dia tidak akan bisa lagi menemukan orang sebaik dan sepengertian Tara di luar sana.
"Mas, soal itu..." ucap Karin ingin mengungkapkan perasaannya.
"Saya tidak akan memaksa kamu Karin. Tapi saya mau kita mencobanya Karin," potong Tara.
"Mencoba? Mencoba apa Mas?" tanya Karin penasaran.
"Mari kita coba jalani hubungan ini secara perlahan. Saya akan menunggu sampai kamu siap, dan pulih sepenuhnya dari rasa trauma," jawab Tara.
Karin terdiam memikirkan semua yang telah terjadi. Lalu Tara mengulurkan tangannya, dan kemudian menggenggam tangan Karin.
"Kamu mau kan Karin?"
"A-apa maksudnya kita pacaran dulu?" tanya Karin tak ingin salah mengartikan.
"Iya, itu maksud saya. Kamu mau kan jadi pacar saya mulai sekarang?" tanya Tara dengan sungguh-sungguh.
Karin menimbang-nimbang, mengingat semua kejadian dan perasaan yang mulai muncul di hatinya. Walau sebenarnya dia masih ragu juga takut, tapi tak ada salahnya untuk mencoba memulai lagi.
"Baiklah Mas, saya mau jadi pacar Mas Tara."
Tara tersenyum lebar, matanya begitu berbinar-binar mendengar jawaban Karin. "Terima kasih Karin, saya berjanji tidak akan pernah menyakiti, dan membuat kamu menangis."