"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Lima Belas
“Mba, Anisha dimana?”
“Kau itu ya! Disuruh jaga nona Anisha, malah kau ikutan tidur. Tidur di tempat tidurnya lagi.”
“Mba, jangan ngomel terus deh. Telingaku sakit dengarnya.” Dewi mengorek-ngorek telinga dengan ujung jarinya.
“Aku harus cari si Anisha.”
“Dia sudah bangun dan sekarang ada bersama Bu Alisha. Aku disuruh untuk membangunkanmu. Kau tahu gak ini sudah jam berapa?”
“Memangnya jam berapa?” Dewi merapikan selimut.
“Noh! Lihat jam dinding, gak bisa lihat? Udah maghrib!”
“Hah? Ya ampun, udah jam segini? Padahal aku tidurnya baru sebentar, baru satu jam-
“Jangan bohong! Kau pikir kami gak tahu? Nona Anisha sudah bangun berapa jam yang lalu. Dewi, kalau kau malas-malasan kayak gini, bisa-bisa kau dipecat Tuan Sadewa nanti.”
“Gak mungkin!”
“Apanya yang gak mungkin? Berapa kali kau gak becus kerja?”
“Sudahlah Mba! Kenapa kau begitu marah-marah padaku? Padahal kita kan sama-sama babu disini. Termasuk perempuan itu.”
“Hey!!” Lilis mentower kepala Dewi saking gregetannya, “Jangan sembarangan bicara. Walau Bu Alisha dibayar, tapi posisinya jauh lebih tinggi daripada kita semua yang bekerja di sini. Kalau kau mau tetap aman, sopan dan jaga mulutmu.”
“Ck!” Dewi tetap bebal dinasihati. Demi menjaga kewarasan dan emosinya, Lilis pergi, keluar dari kamar Anisha, “Jangan lupa bereskan dan rapikan kamar nona Anisha! Kau sudah banyak beristirahat kan? Jangan malas!”
Setelah Lilis pergi, barulah Dewi mengomel sendiri.
‘Memangnya apa hebatnya sih wanita itu? Aku yakin, dari segi usia, aku lebih tua dari perempuan itu. Tapi, kenapa aku malah disuruh mengalah? Menyebalkan! Gimana caranya supaya anak kecil itu membenci Alisha ya?’
*
“Gimana rasanya Sayang?” tanya Alisha pada Anisha, yang sedang makan bubur nasi dicampur daging, udang dan telur, juga potongan sayuran hijau.
“Yasanya enak, Ma. Anis, gak suka bubul. Tapi ini enak banget Ma. Ada banyak daging dan udangnya. Anish suka banget Ma.” Jawabnya dengan sangat bersemangat.
“Syukurlah kalau kamu suka, Sayang.” Alisha mengusap kepala Anisha.
Alisha melihat Dewi turun tangga, mereka saling bertemu tatap dengan ekspresi wajah yang berbeda.
“Non Anisha, saya akan menyiapkan makan ma… loh, Non sudah makan?” Dewi, mengabaikan Alisha, dan berdiri disamping Anisha.
“Bukan ‘Sudah’ tapi ‘Sedang’ makan.” Ucap Alisha dengan nada datarnya.
“Iya, maksud saya juga begitu.”
“Gimana tidurnya? Puas? Apa masih mengantuk? Kalau masih ngantuk, tidur lagi aja.” Sindirnya.
“Gak kok Bu, saya sudah tidak mengantuk lagi. Saya kan disuruh tuan Sadewa untuk menjaga Anisha di kamarnya.”
“Tapi malah ketiduran ya?” sindirnya lagi.
“Ya, gimana ya. Mungkin karena saya kecapek-an. Ibu kan tahu, saya punya banyak kerjaan di sini.” Dewi balas menyindir Alisha.
“Banyak kerjaan? Kerjanya makan, tidur, main hp, ngemil, itu aja bikin kamu capek juga ya?”
“Bu! Kalau Ibu gak tahu kerjaan saya apa saja, mending Ibu diam saja! Apa saya salah kalau tidur siang disana-
“Kenapa kalian ini berisik? Apa kalian bertengkar?”
“Papa…”
Lilis menerima tas kerja dan jas yang baru Sadewa lepas, “Anisha, apa kamu sedang makan, Nak?” Sadewa mengusap kepala puterinya.
“Iya Pa. Mama yang buatin bubul untuk Anis. Yasanya enak banget Pa.” betapa semangat dan senangnya dia menunjukan makanannya pada Sadewa.
Sadewa melihat bubur nasi yang disantap Anisha, dia ingin memastikan tidak ada makanan ‘Terlarang’ didalam piringnya.
“Iya, nanti Papa makan ya. Sekarang, kamu nikmati makannya dulu. Papa mau mandi dulu.”
“Papa makan dulu bayeng kami. Ada Mama juga kok. Papa gak nyapa Mama?”
“Eh..?” Alisha gugup ketika bapak si anak melihat kearahnya.
“Ehem, terima kasih, Alisha karena membuatkan bubur untuk Anisha.”
“I-iya, sama-sama.” Alisha menggaruk keningnya karena terasa canggung.
‘Cih, sok ramah banget. Padahal tadi suaranya tinggi.’ Pikir Dewi.
“Papa dan Mama, pokoknya ayo makan bayeng.”
“Iya, iya. Lisha, kau duduklah. Anak kita meminta kita juga ikut makan kan?”
‘A-anak… kita? Apa dia sekarang sedang menjahiliku?’
“Iya Sayang.” Balas Alisha tersenyum.
Mereka bertiga pun makan bersama.
“Tuan, ada nona Miranda.” Pembantu Sadewa memberi informasi.
‘Apa? Nona Miranda datang? Wah, baguslah. Biar gak kepedean lagi nih perempuan.’ Dewi mendengar bisikan itu.
“Selamat malam, Anisha, Sadewa.” Belum disuruh masuk, Miranda datang membawa banyak camilan.
Suasana didalam ruangan itu langsung berubah. Kehangatan dan keramahan, menghilang menjadi kaku karena Miranda yang datang.
Tidak ada yang menggubris Miranda selain Dewi, “Nona Miranda, anda datang? Apa anda mau makan malam juga? Kebetulan Tuan sedang makan malam juga.” Kata Dewi yang begitu semangat menyambutnya.
“Oh, boleh, sebenarnya aku sudah makan malam, tapi gak apa-apa kan, makan malam bersama keluarga masa depanku.” Miranda menarik satu kursi kosong disebelah Sadewa, karena disebelahnya lagi sudah ada Alisha dan Anisha.
“Nona mau makan apa? Biar saya siapkan.” Ucap Dewi lagi.
‘Lihat itu, kenapa dia begitu akrab dengan wanita ini? Jelas sekali dia membenciku dan menyukai wanita ini.’ Pikir Alisha.
“Kenapa kau datang, Miranda?” tanya Sadewa.
“Kenapa? Karena aku ingin bertemu denganmu, juga Anisha, yang akan menjadi anakku nantinya ketika kita sudah menikah.”
“Gak mau! Memangnya siapa yang suyuh Tante nikah sama Papa? Aku kan punya Mama, Mama juga punya Papa!” ucap Anisha menolak keras.
‘Anak sialan ini!’ dalam hati Dewi dan Miranda.
“Mmm, sebaiknya aku bawa Anisha dulu. Karena dia sudah makan, aku akan memberinya obat.” Alisha bangkit dari kursinya dan ingin menggendong Anisha, “Ayo Nak, kita ke kamar.”
Sadewa melihat piring makan Alisha yang masih belum dia sentuh, ‘Padahal dia baru mau makan.’
“Sayang, gimana kabarmu? Kamu baru pulang kerja ya?”
“Dewi, ikuti Alisha, dan bantu dia mengurus Anisha!” suruh Sadewa.
“I-iya Tuan-
“Jangan! Tidak perlu!” Alisha menolaknya, padahal dia sudah ada di tangga, “Maksudku, aku bisa mengurus Anisha sendiri.” Ucapnya lagi. Sebenarnya, itu karena Alisha tidak mau perang urat syaraf dengan Dewi yang selalu membalas omongannya. Juga, dia tahu, kalau Dewi tidak suka padanya lebih dulu, sejak awal mereka bertemu.
Dewi pun jadi bingung mau ke mana.
“Ya sudah, Dewi, kau bantu saja orang di dapur.”
“Ta-tapi Tuan-
Bragh!
Sumbu kesabaran Sadewa sangat pendek, makanya, jika ada orang yang membantah perintahnya, dia akan marah. Dia menggebrak meja, membuat Miranda dan Dewi terkejut, “Dewi! Aku tidak suka kau selalu ada alasan untuk menolak pekerjaanmu. Kau disini, aku yang bayar.” Ucapnya tanpa melihat kebelakang dimana Dewi berdiri disana.
“I-iya Tuan. Sa-saya akan mengerjakannya.” Dan Dewi pergi ke dapur.
‘Wah… mengagetkan sekali. Hampir saja jantungku copot.’ Ucap Alisha didalam hati.
“De-Dewa, kenapa kau marah terus? Jangan marah begitu dong, nanti Anisha jadi terkejut.” Miranda berusaha membujuk Sadewa walau dia juga takut.
“Miranda, kalau kau mau makan malam, cepat habiskan makananmu dan segera keluar dari sini.”
“Apa?”