Sandra, gadis yang hidup sengsara di keluarga kaya Hartawan. Sejak kecil, ia diperlakukan kejam oleh orang tuanya, yang sering memukul, menyalahkannya, dan bahkan menjualnya kepada pria-pria tua demi uang agar memenuhi ambisi keuangan orang tuanya. Tanpa Sandra ketahui, ia bukan anak kandung keluarga Hartawan, melainkan hasil pertukaran bayi dengan bayi laki-laki mereka
Langit, yang dibesarkan dalam keluarga sederhana, bertemu Sandra tanpa mengetahui hubungan darah mereka. Ketika ia menyelidiki alasan perlakuan buruk keluarga Hartawan terhadap Sandra, ia menemukan kenyataan pahit tentang identitasnya. Kini, Langit harus memilih antara mengungkapkan kebenaran atau tetap bersama Sandra untuk melindunginya. Sementara Sandra, cinta pertamanya ternyata terikat oleh takdir yang rumit bersamanya.
#foreducation
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Littlesister, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ikut Bahagia
Di sebuah pusat perbelanjaan yang ramai, Damar dan Sandra terlihat berjalan berdampingan sambil membawa keranjang belanja. Mereka sedang membeli kebutuhan bulanan. Damar, yang tampaknya sedang dalam suasana hati yang ceria, terus melontarkan lelucon, membuat Sandra tersenyum dan tertawa sepanjang waktu, ia mulai nyaman dengan Damar.
"Sayang, kamu tau nggak kenapa sabun mandi itu nggak pernah sekolah?" tanya Damar
"Kenapa?" jawab Sandra.
"Karena dia udah pintar ngebersihin kotoran!" sambung Damar.
Sandra langsung tertawa lepas mendengar candaan itu, meskipun leluconnya terdengar receh. Damar ikut tertawa, merasa puas karena bisa membuat Sandra merasa nyaman. Mereka melanjutkan belanja sambil terus berbincang, hingga akhirnya mereka sampai di counter es krim.
"Itu, kan, Damar sama Sandra. Mereka kelihatan akur banget, ya?" tanya Raffi yang pertama kali menyadari keberadaan Sandra dan Damar.
"Yah, namanya juga pengantin baru. Lihat tuh, Sandra sampai ketawa lepas gitu." sahut teman Langit yang lain.
"Sayang, kamu mau es krim rasa cokelat atau vanila? Atau kamu mau yang lebih fancy, rasa matcha?" tawar Damar.
"Vanila aja, aku nggak terlalu suka yang aneh-aneh." ucap Sandra
Setelah membeli es krim, mereka duduk di food court. Sandra menikmati es krimnya sambil mendengarkan cerita-cerita lucu dari Damar. Tanpa mereka sadari, di meja seberang, Langit, Raffi, dan tiga teman lainnya sedang duduk bersama. Mereka memperhatikan kehadiran Damar dan Sandra dari jauh.
"Sayang, aku punya teka-teki. Kamu harus jawab ya." ucap Damar.
"Oke, aku coba. Apa teka-tekinya?" Sandra antusias menunggu teka-teki.
"Kenapa es krim nggak pernah sedih?" tanya Damar.
"Aduh, nggak tahu. Kenapa tuh?" balas Sandra.
"Karena dia selalu punya rasa!" jawab Damar.
"Itu receh banget, Mas. Tapi aku nggak tahu kenapa aku tetap ketawa." tawa Sandra terdengar dengan jelas sampai ke meja Langit dan teman-temannya.
"Yah, gue emang punya bakat bikin istri gue bahagia. Lagian siapa sih yang nggak senang lihat lo ketawa?" balas Damar.
Sandra tertawa lepas, merasa cukup nyaman dengan candaan Damar . Sementara itu, di meja seberang, Langit yang sedang duduk bersama teman-temannya mendengar suara tawa Sandra. Ia menoleh tanpa sadar, dan matanya langsung tertuju pada Sandra yang tertawa bahagia bersama Damar. Hatinya terasa tertusuk.
"Itu harusnya gue... Gue yang bikin dia ketawa kayak gitu." batin Langit.
Langit mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tawa Sandra terus terngiang di telinganya. Ia memegang gelas minumannya dengan erat, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah.
"Ngit, lo nggak apa-apa? Lo dari tadi kelihatan nggak fokus." tanya Raffi
"Nggak apa-apa. Gue cuma lagi mikir aja." jawab Langit
Namun, Raffi tahu bahwa Langit sedang mencoba menyembunyikan rasa kecewanya. Ia melirik ke arah Damar dan Sandra, lalu kembali melihat Langit dengan tatapan prihatin.
"Ngit, nggak usah dipikirin. Lo juga bakal nemuin kebahagiaan lo nanti." hibur Raffi
"Betul. Sekarang nikmatin aja waktunya sama kita. Lagian kita kan emang niat ke sini buat nonton film." sambung Teman Langit.
Langit hanya mengangguk pelan, berusaha mengalihkan pikirannya dari Sandra. Namun, sulit baginya untuk tidak memperhatikan kebahagiaan yang terpancar dari wajah Sandra bersama Damar.
Setelah selesai berbelanja, Damar dan Sandra memutuskan untuk menonton film terbaru yang sedang hits di bioskop. Mereka memilih kursi di bagian tengah, tepat di posisi yang strategis untuk menikmati film. Sandra tampak santai, sementara Damar menyiapkan popcorn dan minuman untuk mereka.
"Kalau filmnya membosankan, kamu jangan ketiduran, ya. Aku nggak mau popcorn aku habis karena kamu ngemil sambil tidur." ucap Damar
"Tenang aja, aku pasti nonton sampai habis." sahut Sandra.
Di kursi paling belakang, ternyata Langit, Raffi, dan teman-teman mereka juga berada di bioskop yang sama. Mereka memang datang untuk menonton film itu, tetapi niat Langit seakan berubah ketika ia melihat Damar dan Sandra di depan mereka.
"Ngit, fokus ke filmnya, bukan ke orang di depan." bisik Teman Langit.
"Iya, Ngit. Kita di sini buat nonton, bukan buat galau." sambung Raffi.
Langit tersenyum kecil, tetapi pandangannya terus tertuju pada Damar dan Sandra. Ia memperhatikan bagaimana Damar berbicara kepada Sandra dengan santai, bagaimana Sandra tersenyum dan tertawa kecil saat film menampilkan adegan lucu. Semua orang di bioskop tampaknya menikmati film, kecuali Langit. Di tengah kegelapan bioskop, ia merasa hatinya semakin kosong.
Mereka terlihat nyaman satu sama lain, tertawa bersama saat adegan lucu muncul di layar. Damar bahkan menyandarkan tangannya di bahu Sandra dengan santai serta mencium kepala Sandra, menunjukkan kedekatan mereka. Sandra hanya tersenyum kecil, merasa nyaman meskipun ia belum sepenuhnya mencintai Damar.
"Dia kelihatan bahagia. Harusnya gue ikut senang. Tapi kenapa rasanya justru sakit?" batin Langit.
"Damar memang orang yang menyenangkan. Mungkin aku bisa belajar mencintainya suatu saat nanti." batin Sandra.
Setelah menonton film bersama, Damar mengajak Anisa untuk mampir ke toko perlengkapan bayi yang ada di mall. Damar tampak antusias, sementara Sandra merasa sedikit canggung karena ia belum terbiasa membicarakan tentang perannya sebagai seorang ibu. Namun, melihat semangat Damar, ia mencoba mengikuti dengan senyum kecil di wajahnya.
"Yuk, Sayang, kita lihat-lihat dulu. Aku udah nggak sabar buat nyiapin semuanya. Aku pengen anak kita punya perlengkapan yang terbaik." ajak Damar.
"Oke, kalau itu bisa bikin kamu senang." Sandra masuk mengikuti Langkah Damar.
Mereka masuk ke toko yang dipenuhi dengan berbagai perlengkapan bayi. Damar dengan semangat mulai menunjuk barang-barang yang ia sukai, sementara Sandra dengan tenang memperhatikan. Ada kereta bayi, baju-baju kecil, dan mainan yang semuanya terlihat lucu.
"Sayang, lihat ini! Kereta bayi ini kelihatan keren banget. Aku pikir anak kita bakal kelihatan keren banget kalau duduk di sini. Kamu suka?" Damar antusias melihat beberapa perlengkapan bayi.
"Iya, bagus kok. Tapi aku pikir kita belum perlu beli sekarang, kan? Masih ada waktu." ragu Sandra.
"Nggak apa-apa, aku cuma mau kamu mulai ngerasa excited jadi ibu. Aku pengen kamu tahu kalau ini adalah hal yang paling membahagiakan buat kita." jelas Damar.
Sandra tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan. Ia masih berusaha memahami perannya sebagai istri dan calon ibu. Namun, ia tidak ingin mengecewakan Damar, jadi ia tetap menunjukkan antusiasme.
Di sisi lain, Langit dan teman-temannya kebetulan melewati toko perlengkapan bayi itu. Mereka sedang menikmati waktu bersama untuk merayakan kerja keras mereka selama satu semester yang akhirnya libur kuliah pun tiba. Namun, langkah Langit terhenti ketika ia melihat dan Sandra di dalam toko. Matanya langsung tertuju pada Sandra, yang sedang melihat-lihat perlengkapan bayi bersama Damar.
"Lihat deh, Ngit. Itu kan Sandra sama Damar Mereka lagi di toko bayi, kelihatannya lagi nyiapin perlengkapan buat anak mereka." ucap Teman Langit yang lain.
Langit tidak menjawab. Matanya tidak bisa lepas dari pemandangan itu. Melihat Sandra yang tersenyum, meskipun ia tahu itu mungkin senyum yang dipaksakan, membuat hatinya terasa sakit.
"Ngit, lo nggak apa-apa? Kalau lo nggak mau lihat, ayo kita pergi aja ke tempat lain." tanya Raffi.
Langit menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berada di sana. Melihat Sandra bersama Damar membuatnya merasa hancur. Ia akhirnya berbicara dengan nada pelan.
"Maaf, guys. Gue nggak bisa lanjut hari ini. Kalian lanjutin aja tanpa gue." ucap Langit tiba-tiba.
"Tapi Ngit, lo yang ngajak kita keluar. Masa lo yang ninggalin duluan?" tanya Raffi.
"Gue tau, Fi. Tapi... gue nggak bisa, oke? Gue nggak mau ngerusak hari kalian. Nikmatin aja hari ini, gue pulang duluan." jawab Langit.
Raffi dan teman-teman lainnya saling bertukar pandang, merasa kecewa tetapi memahami perasaan Langit. Mereka tahu betapa sulitnya bagi Langit untuk melihat Sandra bersama Damar. Akhirnya, Raffi mengangguk.
"Oke, Ngit. Kalau itu yang terbaik buat lo, kita nggak akan paksa. Tapi lo harus tahu, lo nggak sendirian." ucap Raffi.
Saat Langit hendak pulang, Sandra dan Damar keluar dari toko berjalan santai sambil membawa kantong belanjaan berisi beberapa baju bayi. Sandra terlihat membawa kantong belanjaan kecil di tangannya, sedangkan Damar tampak bangga menggenggam kantong yang lebih besar. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat Langit dan teman-temannya berdiri tak jauh dari toko.
Langit, yang baru saja berpamitan untuk pulang, tidak sengaja bertatapan langsung dengan Sandra. Matanya tertuju pada kantong belanjaan di tangan Sandra, dan perasaan sedih yang sempat ia coba pendam kembali menyeruak. Ia berdiri kaku, tidak mampu berkata apa-apa. Sementara itu, Damar, yang menyadari situasi tersebut, langsung memasang senyum lebar.
Langit yang baru saja berpamitan untuk pulang, tidak sengaja bertatapan langsung dengan Sandra. Matanya tertuju pada kantong belanjaan di tangan Sandra, dan perasaan sedih yang sempat ia coba pendam kembali menyeruak. Ia berdiri kaku, tidak mampu berkata apa-apa. Sementara itu, Damar, yang menyadari situasi tersebut, langsung memasang senyum lebar.
"Eh, Ngit! Raffi! Kalian ngapain di sini? Jalan-jalan juga, ya?" tanya Damar.
Raffi dan teman-temannya saling bertukar pandang, merasa situasi ini mulai canggung. Namun, mereka tetap mencoba bersikap ramah.
"Iya, Bang. Lagi libur kuliah kan, jadi kita sempatin buat kumpul bareng." jawab Raffi
Damar mendekat sambil menunjuk kantong belanjaan di tangannya dengan penuh kebanggaan. Ia melihat ini sebagai kesempatan untuk pamer kepada Langit dan teman-temannya.
"Kebetulan banget, gue sama Sandra baru aja belanja buat anak kita yang bakal lahir. Lihat nih, baju-baju kecil yang lucu banget. Kamu juga udah nggak sabar kan, Sayang?" pamer Damar menunggu reaksi istrinya.
Sandra hanya tersenyum kecil, merasa sedikit canggung dengan sikap Damar yang tampak terlalu antusias untuk memamerkan kehidupannya. Ia melirik sejenak, tetapi cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Langit hanya bisa berdiri diam, menahan perasaan yang semakin berat di dadanya.
"Gue masih nggak nyangka kalau sebentar lagi bakal jadi ayah. Ini momen terbaik dalam hidup gue, bro. Lo harus ngerasain juga nanti, Ngit." bangga Damar.
Langit memaksakan senyum kecil, mencoba menutupi rasa sakit di hatinya. Raffi, yang menyadari keadaan Reyhan, segera mengambil alih pembicaraan.
"Selamat ya, Bang. Kayaknya kalian berdua lagi bahagia banget. Mudah-mudahan semuanya lancar sampai lahirannya nanti." ucap Raffi.
"Pastinya! Sandra ini calon ibu yang hebat. Gue yakin anak gue nanti bakal secantik ibunya. Eh, iya kan, Sayang?" balas Damar.
Sandra tersenyum kecil, berusaha menanggapi dengan tenang meskipun merasa situasi ini semakin tidak nyaman.
"Makasih, Raffi. Aku juga berharap semuanya berjalan lancar." ucap Sandra.
Langit tetap diam, hanya menundukkan kepala sedikit, mencoba menghindari tatapan langsung dengan Sandra. Namun, hatinya terasa semakin hancur ketika mendengar kata-kata Damar yang terus-menerus memamerkan hubungan mereka.
"Gue balik duluan, guys. Kalian lanjutin aja." pamit Langit.
Tanpa menunggu jawaban, Langit segera berbalik dan pergi, meninggalkan tempat itu. Raffi menatap kepergian Langit dengan rasa prihatin, tahu betapa beratnya situasi ini bagi sahabatnya. Sementara itu, Damar hanya tersenyum puas, merasa bahwa ia telah membuktikan dirinya unggul di depan Langit.