Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meniti Kembali
Setelah memutuskan untuk kembali bekerja paruh waktu, Keisha merasa hidupnya mulai kembali ke jalur yang sempat ia tinggalkan. Namun, tantangan baru mulai muncul, dan keseimbangan antara karir dan keluarga menjadi hal yang harus dipelajarinya lagi.
Suatu pagi, Keisha terlihat sibuk mempersiapkan dirinya untuk kembali ke kantor. Ia mengenakan pakaian kerjanya, sesuatu yang sudah lama tidak ia pakai, dan berdiri di depan cermin dengan perasaan campur aduk. "Aku merasa seperti akan memulai segalanya dari awal lagi," ucapnya pelan sambil merapikan rambut.
Raka, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, menoleh ke arahnya. "Kamu akan baik-baik saja, Keisha. Kamu hebat dalam segala hal yang kamu lakukan," katanya dengan senyuman.
Namun, pikiran Keisha masih berkecamuk. Bagaimana jika ia terlalu lelah dan tidak bisa memberikan perhatian penuh pada Aira setelah pulang bekerja? Apakah keputusan ini akan membawa dampak baik atau malah sebaliknya?
Di kantor, Keisha disambut dengan kehangatan oleh rekan-rekannya yang sudah lama tidak bertemu dengannya. "Keisha! Selamat datang kembali! Kami merindukanmu," sapa salah satu temannya, Sarah.
Keisha tersenyum canggung. "Terima kasih, Sarah. Rasanya agak canggung, tapi aku senang bisa kembali," jawabnya.
Meski hari pertamanya berjalan lancar, di rumah, Raka juga menghadapi kesulitannya sendiri. Aira rewel sepanjang sore, dan mencoba menidurkannya ternyata bukan tugas yang mudah. Saat Keisha pulang, ia langsung menemui Raka yang terlihat lelah di ruang tamu.
"Bagaimana hari ini?" tanya Keisha sambil mengambil alih menggendong Aira.
Raka tersenyum lelah. "Tidak semudah yang kubayangkan, tapi kita bisa melewati ini," katanya dengan semangat.
Malam itu, setelah Aira tertidur, mereka duduk bersama di sofa. Keisha menyandarkan kepala di bahu Raka dan menghela napas panjang. "Mungkin kita harus mengatur ulang rencana kita. Rasanya sulit sekali menjaga keseimbangan ini."
"Aku setuju. Tapi aku yakin kita bisa menemukan cara yang tepat. Mungkin kita perlu meminta bantuan orang lain, seperti pengasuh paruh waktu, atau mencari alternatif lain," jawab Raka dengan penuh perhatian.
Keisha berpikir sejenak. "Aku tidak ingin merasa seperti orang tua yang menyerah pada tanggung jawab. Tapi mungkin kamu benar, mencari bantuan bukan berarti kita tidak mampu, melainkan cara agar kita bisa menjadi lebih baik."
Pembicaraan mereka semakin mendalam saat Keisha dan Raka mulai membahas berbagai kemungkinan untuk membagi waktu dan tanggung jawab. Mereka tahu bahwa tidak akan selalu mudah, tapi komitmen mereka untuk menjaga keharmonisan keluarga menjadi kekuatan utama dalam menghadapi setiap tantangan.
Pagi itu, mentari masih malu-malu menampakkan dirinya, sementara Keisha sudah bersiap-siap di depan cermin. Ia menatap bayangannya dengan penuh perasaan; campuran antara antusiasme dan kekhawatiran membuncah di dalam dada. Ia mengenakan pakaian kerja formal yang sudah lama tidak disentuhnya—sebuah kemeja putih sederhana dengan celana panjang hitam, serta sedikit riasan wajah yang membuatnya tampak segar.
Sambil mematut diri, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari berbagai pikiran yang berkecamuk di kepala. "Kamu pasti bisa, Keisha. Ini hanya hari pertama," gumamnya pada diri sendiri.
Di dapur, aroma roti panggang yang baru matang memenuhi udara, sementara Raka dengan sigap menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Ia menoleh dan tersenyum melihat istrinya yang tampak berbeda hari itu. "Pagi, sayang. Kamu terlihat cantik sekali hari ini," sapa Raka sambil meletakkan segelas jus jeruk di meja makan.
Keisha tersenyum, sedikit malu-malu. "Terima kasih. Rasanya aneh memakai pakaian ini lagi. Sudah lama sekali," jawabnya, mengambil tempat duduk di meja makan.
"Kalau kamu gugup, itu wajar kok. Tapi ingat, kamu bisa melakukan ini. Lagipula, kamu dulu hebat sekali di pekerjaanmu, kan?" kata Raka dengan penuh keyakinan.
"Ya, aku tahu... hanya saja, aku merasa takut akan terlalu lelah dan tidak bisa memberikan yang terbaik untuk Aira ketika pulang," jawab Keisha dengan nada ragu. Kekhawatirannya muncul lagi, seperti kabut yang enggan pergi.
Raka duduk di hadapannya, menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku tahu kamu khawatir, tapi kita ada di sini bersama. Kita akan menemukan cara untuk menghadapi ini. Aku juga akan berusaha sebaik mungkin untuk membantu di rumah."
Ucapan Raka membuat Keisha merasa sedikit lebih tenang. "Aku bersyukur punya kamu, Raka. Kamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik," katanya sambil tersenyum.
Setelah sarapan selesai, Keisha mencium Aira yang masih tertidur lelap di kamar, dan kemudian berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, ia tak bisa menahan perasaan cemasnya. Bagaimana kalau ia tidak bisa menyeimbangkan semua ini? Bagaimana kalau keputusannya untuk bekerja kembali justru membuat segalanya semakin sulit?
Ketika sampai di kantor, ia disambut dengan pelukan hangat dari teman-teman kerjanya. "Keisha! Akhirnya kamu kembali juga. Kami sangat merindukanmu!" teriak Sarah, sahabatnya di kantor, dengan penuh antusias.
"Terima kasih, Sarah. Aku juga senang bisa kembali, meski agak gugup," jawab Keisha sambil tersenyum lebar. Ia mencoba menyingkirkan kekhawatiran di benaknya dan fokus untuk menikmati suasana menyenangkan ini.
Selama beberapa jam pertama, Keisha mulai terbiasa dengan ritme pekerjaannya. Ia terlibat dalam rapat, berbincang dengan rekan-rekannya, dan bahkan mengingat betapa menyenangkannya bekerja di tengah tawa dan canda orang-orang yang ia kenal baik. Tapi ketika jarum jam mendekati waktu pulang, pikirannya mulai melayang lagi ke rumah—ke Aira dan Raka. Apakah Raka baik-baik saja? Apakah Aira rewel sepanjang hari?
Di sisi lain, di rumah, Raka menghadapi tantangan yang tidak ia duga sebelumnya. Aira tampaknya sedang mengalami hari yang sulit, mungkin karena gigi yang mulai tumbuh atau sekadar merasa ingin lebih dekat dengan ibunya. Ia menangis hampir sepanjang sore, membuat Raka harus berusaha keras menenangkannya. Ia mencoba segala cara—menyanyikan lagu-lagu yang biasa membuatnya tenang, memberikan mainan favoritnya, bahkan mengajaknya berjalan-jalan di taman. Namun, Aira tetap rewel.
Ketika Keisha pulang, ia mendapati Raka duduk di ruang tamu dengan ekspresi lelah, sambil menggendong Aira yang akhirnya tertidur di dadanya. "Raka, bagaimana harimu?" tanya Keisha sambil duduk di sebelahnya, suaranya lembut namun terdengar khawatir.
Raka menatap Keisha dan tersenyum tipis, meski kelelahan tampak jelas di matanya. "Tidak semudah yang kubayangkan. Tapi, akhirnya berhasil. Aira baru saja tertidur," katanya pelan.
Keisha mengambil alih menggendong Aira dengan hati-hati, menatap putri kecilnya yang tampak damai. "Maaf aku tidak bisa membantumu hari ini," bisiknya, suara sedikit bergetar.
Raka menggelengkan kepala. "Jangan merasa begitu. Kamu melakukan hal yang luar biasa hari ini. Dan kita akan melewati ini bersama-sama, seperti yang selalu kita lakukan."
Malam itu, setelah memastikan Aira tertidur pulas di tempat tidurnya, Keisha dan Raka duduk bersama di ruang tamu. Keisha menyandarkan kepala di bahu Raka, membiarkan kehangatan tubuhnya menyelimuti dirinya. "Aku rasa... kita perlu mencari cara yang lebih baik untuk mengatur semua ini. Mungkin kita perlu mempertimbangkan bantuan dari luar, seperti pengasuh paruh waktu. Aku hanya tidak ingin merasa seperti menyerah."
"Keisha, meminta bantuan bukan berarti menyerah. Itu menunjukkan bahwa kita ingin memberikan yang terbaik, baik untuk Aira maupun untuk diri kita sendiri. Aku yakin kita bisa menemukan cara yang tepat," kata Raka dengan nada menenangkan.
Keisha terdiam sejenak, merenungi kata-kata suaminya. Ia tahu Raka benar. Mungkin sudah saatnya mereka mempertimbangkan opsi lain, meski sulit mengakui bahwa mereka tidak bisa melakukan semuanya sendiri. "Oke. Kita akan coba mencari solusi. Tapi aku ingin kita tetap bisa berperan aktif dalam membesarkan Aira, bukan menyerahkan semuanya ke orang lain."
"Aku setuju. Kita akan melakukannya dengan cara yang kita rasa paling benar," balas Raka sambil merangkul Keisha erat.
Pembicaraan malam itu menjadi momen penting bagi mereka. Keisha dan Raka akhirnya memutuskan untuk mulai mencari informasi tentang pengasuh anak yang bisa membantu mereka di waktu-waktu tertentu. Mereka juga merencanakan untuk membuat jadwal yang lebih teratur dan membagi tugas-tugas di rumah, agar tidak ada yang merasa terlalu terbebani.