Naas, kemarin Ceren memaksa hatinya untuk menerima Gilang, si teman sekolah yang jelas-jelas tidak termasuk ke dalam kriteria teman idaman, karena ternyata ia adalah anak dari seorang yang berpengaruh membolak-balikan nasib ekonomi ayah Ceren.
Namun baru saja ia menerima dengan hati ikhlas, takdir seperti sedang mempermainkan hatinya dengan membuat Ceren harus naik ranjang dengan kakak iparnya yang memiliki status duda anak satu sekaligus kepala sekolah di tempatnya menimba ilmu, pak Hilman Prambodo.
"Welcome to the world mrs. Bodo..." lirihnya.
Follow Ig ~> Thatha Chilli
.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDND ~ bab 6
Langkah yang semula bertujuan ke arah toilet berubah haluan seiring dengan interaksi manis antara ayah dan anak itu.
"Ceren," sapanya sengaja, biar kedua manusia yang ada di hadapannya itu menganggap keberadaannya.
Alis Ceren langsung menukik tajam persis aliran air terjun, "lo, ngapain disini? Belanja? Apa kerja?" cibir Ceren di akhir kalimat, ayahnya sudah terkejut dengan ucapan Ceren yang terkesan keterlaluan itu, namun ia juga memaklumi karena ketidaktauan Ceren.
"Nduk, ini mas---"
"Aku cuma kebetulan belanja aja disini," pungkas Gilang, membuat alis dan dahi pak Harun mengernyit kisut persis kerupuk kulit.
"Disini butik langganan ibuku," lanjutnya lagi. Tak sempat mendengarkan ucapan bapak, Ceren memilih segera pamit dari sana tak ingin berurusan lebih jauh lagi dengan Gilang, atau berbasa-basi tak penting yang bikin emosinya kembali meluap saat melihat Gilang.
"Aku pamit dulu deh pak, jangan lupa di makan. Assalamu'alaikum." ia menaikan kembali hoodienya dan bergegas pergi.
"Eh, iya. Wa'alaikumsalam." pak Harun masih berada dalam kebingungan, "den bagus kenal putri saya?" tanya pak Harun.
Gilang mengangguk, "Ceren sekolah di Pelita Raya kan, pak? Sama seperti saya..." ia memperlihatkan emblem logo sekolahnya yang seringkali luput dari penglihatan pak Harun karena jaket yang selalu membungkus badannya.
"Oalah, saya kira den Gilang ndak sekolah disana....taunya cuma den mas Hilman saja yang jadi kepseknya," angguk pak Harun meringis tak enak hati.
"Ngga apa-apa pak. Saya memang siswa yang ngga banyak bertingkah dan ngga punya banyak teman pula, seperti Ceren. Saya kira Ceren bukan anak bapak," Gilang tak memperdulikan ketidaktauan pak Harun atas dirinya, ia lebih tertarik dengan kenyataan jika Ceren adalah putri dari karyawan butik sang ibu.
Pak Harun mengurai senyum melihat keseriusan Gilang, "putri satu-satunya, teman hidup setelah istri meninggal...maaf kalau selama di sekolah, Ceren pernah berbuat salah disengaja atau tidak." Sebelum laporan kenakalan yang ia khawatirkan terjadi, pak Harun lebih dulu meminta ampun pada Gilang mengingat betapa magicnya sang putri di sekolah.
Gilang menggeleng tak setuju, justru yang ditangkap oleh sorot mata pak Harun adalah pandangan Gilang yang menghangat saat mereka membahas Ceren, "saya justru suka Ceren, pak."
"Waduh!" kaget pak Harun, apa yang sudah kamu lakukan nduk! Wanti-wantinya dalam hati, kenapa juga putra bosnya itu harus memiliki urusan dengan putrinya, salah-salah jika Ceren bertindak usil atau mencederai putra spesial majikannya itu, berabe urusannya! Coba, nanti sepulang dari sini ia akan memeriksa laci meja belajar Ceren atau lemarinya, siapa tau ada foto Gilang yang ditaro bareng kemenyan...
Ia tertawa sumbang dan garing, segaring kalo orang jemur kerupuk, "kok waduh, to?" Gilang mengehkeh.
"Waduh, shhhh..." jeda pak Harun menggaruk kepalanya mendadak gatel satu kepala.
"Kalo satu sekolah sama Ceren, otomatis den bagus tau to bagaimana Ceren? Sama den bagus tuh bagai langit dan inti bumi...."
Gilang dapat tertawa siang ini hanya dengan bersama Ceren dan pak Harun, ucapan pak Harun tentang Ceren sungguh bikin hatinya hangat dan nyaman.
"Bisa saja bapak. Aku serius e, pak. Aku suka Ceren, kira-kira bapak restui ta?" kini ucapan Gilang lebih serius namun kemudian ia tertawa bersamaan dengan masuknya ia dan pak Harun.
Saat pak Harun pulang, Ceren sudah terlelap tidur, memang sebelumnya ia sempat memberikan info jika dirinya pulang terlambat karena sidak sang majikan.
Saat pagi pun, Ceren lebih dulu terbangun untuk pergi sekolah dan hanya pamit saat bapaknya masih setengah tertidur.
Ia masuk ke dalam kamar bapak, dimana sinar mentari sudah ngintip dari celah-celah gordennya. Tak berani membangunkan bapaknya yang terlihat pulas dan lelah itu. Tapi apa daya, kantongnya begitu tipis dan kering tanpa oase saat bapak belum memberinya sumber-sumber kehidupan.
"Pak, bagi duit bekel..." bisiknya berjongkok di sisi lain ranjang kayu, dimana pak Harun tertidur tertelungkup sambil ngences.
Heh? Wajahnya itu loh! Ceren cengengesan, bapaknya mengangkat kepala setinggi yang ia mampu dengan kesadaran hanya 10 persen saja, sehingga matanya masih menutup rapat tak dapat terbuka.
"Bekel to pak, aku udah sarapan masak mie instan goreng, sekarang aku mau berangkat sekolah..."
"Di dzallemm zaku jelana." jawabnya tak koheren. Dosa betul, anak satu ini! Ia tak kuat menyemburkan tawanya pagi-pagi, "aku ambil ya pak. Terus berangkat, assalamu'alaikum."
"Kumsalam.." gumaman bapak yang terdengar olehnya, lalu sedetik kemudian bapak kembali terlelap. (wa'alaikumsalam)
Seperti biasa, ia akan berdiri di pinggir jalan, nunggu angkot bernomor 23 kemana jurusan yang melewati sekolahnya terlintasi.
Tangannya terulur melewati penumpang di depan untuk memberikan ongkosnya pada supir muda bergaya parlente itu, dengan logat bahasa medannya yang khas, meski ucapan terimakasih Ceren terkadang terdistrack oleh musik batak yang ia stel kencang memenuhi jalanan seolah jalan raya adalah lantai diskonya.
Ceren sampai hafal beberapa lirik lagu batak saking seringnya ia naik angkot itu.
Belum selesai dengan kegelian lagu batak yang menurut Ceren lucu, senyumnya harus redup dan mendung dengan kehadiran seseorang yang kini duduk di pos satpam dan menatapnya.
Ceren berjalan lurus saja berharap jika tebakannya akan salah, se salah jika ia bernafas di dalem kolam. Namun rupanya intuisi pertahanan dirinya begitu kuat, jika musuh kini justru sedang memperhatikannya dan menghampirinya.
"Aku baru tau kamu anak pak Harun," ujarnya tanpa pembukaan bismillah atau assalamu'alaikum terlebih dahulu.
"Gue juga baru tau kalo lo nyebelin. Ngapain sih nyapa gue, kaya orang penting aja...kalo lo anggap tindakan gue kemaren nolong lo itu sebagai tanda gue baik, mendingan ngga usah anggap itu pertolongan. Anggap aja gue itu se tan yang jerumusin lo jadi anak badung..." jelas Ceren panjang dan kejam melengos berjalan cepat.
Gilang justru mengehkeh renyah, menarik! Gadis menarik, ngga mau dianggap baik, maunya dianggap setan. Gilang berlari mengikuti Ceren, "Cer, aku mau ucapin makasih."
"Sama sama, dah kan?! Kita ngga punya urusan lagi!" Ceren semakin mempercepat langkahnya dan Gilang semakin menyamai langkah Ceren, gadis itu geram dan menghentikan langkahnya, menarik kerah baju Gilang untuk memberinya kepalan tangan, berharap Gilang akan jera ngintilin Ceren.
"Berhenti ikutin gue. Dan buang jauh-jauh pikiran kalo lo bisa deket sama gue, paham?!" pelototnya, Gilang membalas tatapan penuh amarah itu dengan kelembutan, "aku tau kamu sebenernya baik, karena pak Harun pun orangnya baik."
"Lu gila." Ceren melepaskan kerah Gilang membuat seragamnya itu kusut persis muka Ceren.
"Karena kamu."
Ceren kembali geram dan mengepalkan tangannya meski tak jua mendaratkan itu di wajah Gilang.
BUGH!
Gilang hampir tersungkur, memancing keributan di area selasar kelas IPS 3 dan 4 dimana Hanan, Faiz dan kawan-kawan Ceren lainnya berada. Ceren terdiam melihat Faiz meninju Gilang, "lo ngga denger kata Ceren, bro?!"
"Emh mamposss lo!" umpat Hanan.
"Lo ngapain ganggu Ceren?! Lo suka?!" Kanza kini yang bersuara. Faiz berjongkok lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah Gilang, "gue harap dengan pelajaran ini, lo jadi paham kalo Ceren ngga mau lo deketin."
"Cer!" susul Fira yang kemudian gadis itu mengajak Ceren berlalu meninggalkan Gilang dalam keheningan hatinya yang campur aduk, sorot mata keduanya bertemu dengan sorot mata getir dari Ceren, semoga ini bisa jadi pelajaran untuk Gilang untuk berhenti mendekatinya.
.
.
.
.
.
happy ending buat pasangan mas bodo dan cerenia, happy selalu bersama keluarga...makasih mbk sin, udah bikin novel yg greget kayak maa bodo
next, going to the next novel, gio adik bontotnya mas tama ya
kopi sudah otewe ya..