"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Titik Balik
...Happy reading!...
...•••...
Untuk perempuan diluar sana, bukan beginilah cara kalian mendapatkan uang, bukan dengan cara merendahkan diri kalian dibawah selan*kangan laki-laki, bukan cara kalian tertidur pasrah diatas ranjang sambil melebarkan kaki, bukan dengan cara beginilah kalian harus menghinakan diri.
Jika masih banyak jalan yang lebih bisa memberikan kalian rasa berharga walaupun mendapatkan nya setengah mati, sungguhan itu lebih baik dari pada harus bersujud dibawah kaki laki-laki banci yang tidak tahu diri. Yang hanya mengingini barang perempuan dibalik pakaian bawahnya, yang hanya bisa bersumput diri kala ia takut dikenakan sanksi sosial akibat takut dirinya dihinakan ditengah masyarakat yang masih memegang paham adat-istiadat ini, itulah, itulah laki-laki penjahat kelam*n yang masih banyak bertebaran didunia ini.
Tapi ada pula mereka yang sudah terjerumus kedalam neraka ini, ialah perempuan yang dihimpit oleh keadaan pelik, menyedihkan bahkan ancaman dari lingkungannya sendiri, keluarganya bisa berbuat jahat, tetangga, orang-orang disekitar bahkan yang paling berpengaruh adalah keadaan mendesak yang membuatnya terpaksa melakukan ini.
Terkadang, keputusan buruk dibuat bukan karena niat untuk merendahkan diri, melainkan karena keadaan yang memaksa. Dunia ini tidak adil, dan dalam keadilan yang cacat, perempuan-perempuan ini terjebak dalam lingkaran yang tampak tidak berujung.
Namun, selalu ada jalan keluar. Selalu ada secercah cahaya, meski kecil, meski samar. Mungkin jalan itu sulit ditemukan, mungkin penuh duri dan rintangan, tapi ia ada.
Untuk perempuan yang merasa terjebak, yang merasa bahwa hidup hanya memberi pilihan-pilihan pahit, ketahuilah bahwa kalian tidak sendirian. Banyak di luar sana yang pernah berada di posisi yang sama, namun berhasil bangkit, berhasil merebut kembali kendali atas hidup mereka.
Jangan biarkan diri kalian hancur hanya karena tuntutan dunia yang jahat. Berjuanglah, meski terasa tak mungkin, karena martabat kalian tidak ternilai. Tidak ada yang berhak mengambil itu dari kalian, tidak ada satu pun orang yang berhak menginjak-injak nilai diri kalian. Perempuan adalah kekuatan, dan di balik setiap luka, ada potensi untuk tumbuh lebih kuat.
Mungkin hari ini terasa seperti neraka, tetapi besok bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang lebih baik. Percayalah bahwa kupu-kupu saja bisa terbang bebas setelah bermetamorfosis, meski harus melalui kegelapan dalam kepompongnya terlebih dahulu. Proses itu menyakitkan, panjang, dan penuh kesendirian. Namun, dari perjuangan itu, ia muncul dengan sayap indah, siap menghadapi dunia dengan kekuatan baru.
Kupu-kupu yang indah itu adalah simbol kebebasan, kebangkitan, dan keindahan setelah penderitaan. Kalian pun bisa mencapai kebebasan yang sama, asalkan tidak menyerah pada keadaan yang menghimpit. Tetaplah percaya pada kekuatan diri sendiri, pada kemampuan untuk bangkit, dan pada harapan bahwa masa depan bisa berubah menjadi lebih baik.
•••
"Tuhan berkehendak lain, ibu anda telah meninggal dunia." Dokter memberitahu Kiran begitu ia akan menandatangani surat perizinan operasi.
Tatapannya langsung kosong. Dunia di sekelilingnya seakan berhenti sejenak, dan suara-suara yang tadinya ramai berubah menjadi dengungan samar. Kata-kata dokter tadi menggema di kepalanya, menembus hati yang sudah lelah. Tangannya yang memegang pena perlahan gemetar, terhenti di atas kertas yang belum sempat ditandatangani.
Kiran menatap dokter itu, berharap apa yang barusan didengarnya hanyalah salah paham. “Apa… maksud dokter?” suaranya hampir tak keluar, tercekik oleh gelombang emosi yang mulai menerjang.
"Ibu anda sudah tak tertolong lagi, dia meninggal dunia beberapa saat lalu. Kami sudah melakukan yang terbaik." Dokter itu mengulangi kata-katanya dengan nada yang lebih tenang, namun tetap tak mampu meredakan badai di dalam diri Kiran.
Pena jatuh dari genggamannya. Lututnya terasa lemas, seluruh tenaga seolah tersedot keluar dari tubuhnya. Kiran merasa beban yang selama ini ia pikul—segala pengorbanan, harga diri yang terinjak, perjuangan untuk menyelamatkan ibunya—semuanya sia-sia. Ia telah kalah oleh waktu, oleh takdir yang tak memberinya kesempatan sedikit pun.
Air mata yang tertahan mulai mengalir, tetapi Kiran tak sanggup menangis keras. Semuanya terasa kosong, terlalu perih bahkan untuk ditangisi. Hanya perasaan hampa yang mendominasi hatinya.
Dengan suara parau, ia berbisik, lebih kepada dirinya sendiri, “Semua ini… percuma.”
Dalam kesendirian itu ia menangis, tak mampu lagi menahan kesedihan yang begitu menyakiti hatinya. Apalagi kala ia bertemu ibunya yang sudah tak bernyawa.
"Ibu... maafin Kirana ya, ibu jangan pergi karena karma perbuatan Kiran. Ibu...Kiran mohon ampun..."
Tangisnya makin keras, terisak-isak dalam keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, seolah rasa bersalah itu membenamkannya lebih dalam. Segala pengorbanan, segala cara yang ia tempuh, terasa tak berarti. Ia merasa seakan-akan semua yang terjadi adalah akibat dari jalan yang salah yang ia pilih.
"Ibu... Kiran cuma mau ibu sembuh, ibu... Kiran gak tahu apa lagi yang bisa Kiran lakukan..." ucapnya dengan suara lirih, seolah berharap masih ada jawaban, meskipun ia tahu sudah terlambat.
•••
Tata bergegas menuju rumah sakit, jantungnya berdebar tak karuan. Setelah menjemput Tian, adiknya Kirana, ia tak henti-hentinya memikirkan bagaimana kondisi sahabatnya. Begitu tiba di rumah sakit, pemandangan di depannya membuat hatinya serasa remuk. Disana, di ruangan yang begitu sunyi, Kirana terduduk di samping tubuh ibunya yang telah kaku, meringkuk di atasnya, seolah tak ingin melepaskan. Tangisnya tak terdengar, tapi luka itu jelas terlihat di setiap gerakan kecil tubuhnya.
Tata mendekat perlahan, napasnya berat. Ia tahu betapa dekatnya Kirana dengan ibunya, betapa kerasnya perjuangan sahabatnya untuk menyelamatkan sang ibu, hingga mengorbankan banyak hal. Sekarang, semua terasa sia-sia.
"Kiran..." suara Tata bergetar, matanya ikut berkaca-kaca. Ia ingin memberikan pelukan, tapi bingung bagaimana harus menguatkan Kirana yang terlihat begitu hancur.
Kirana tak merespons. Tangannya masih menggenggam tangan dingin ibunya, tubuhnya sedikit gemetar. Tian, yang berdiri di belakang Tata, terdiam dengan wajah pucat. Tatapan kosongnya menatap tubuh ibunya, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Raungan Tian yang tiba-tiba memecah keheningan, menggema di ruangan rumah sakit yang sepi, barulah Kiran kembali pada realita. "Ibu..." suara Tian serak, penuh dengan ketidakpercayaan dan duka yang mendalam. Isakannya mengguncang suasana, membuat udara seolah menebal dengan kesedihan yang tak terkatakan.
"Tian..." suara Kirana nyaris tak terdengar. Air mata mulai membasahi pipinya. "Maafkan Mbak..."
Tata yang menyaksikan semua itu berusaha keras menahan tangis. Ia tahu, tidak ada kata yang bisa menyembuhkan luka ini, tidak ada tindakan yang bisa menghapus rasa kehilangan yang begitu dalam.
Kirana segera memeluk adiknya erat-erat, sungguhan sakitnya bertambah kala melihat jagoan kecilnya menangis seperti ini.
"Ibu..." Tak ada kata lain yang mampu Tian sebutkan selain nama ibunya yang kini sudah tak bisa bersama mereka lagi.
•••
Begitu berita ini sampai ke telinga Tiara, ia segera memboyong suaminya Reihan ke rumah Kiran untuk melayat. Juga Ailard yang mendapatkan berita ini dari ibunya, ia yang baru saja bangun selepas malam begadang segera bertolak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sesampainya dirumah Kirana. Di sana, di sudut ruangan, duduklah Kiran. Ailard menatapnya dari kejauhan, merasakan sesuatu yang berbeda dari sosok perempuan yang telah ia kenal selama tiga tahun ini. Namun, kali ini, di tengah keheningan duka, Ailard melihatnya menangis untuk pertama kalinya.
Air mata Kiran mengalir deras di wajahnya, tanpa henti. Setiap isakan yang keluar dari bibirnya terdengar begitu pedih, seperti mencerminkan luka yang lebih dalam dari sekadar kehilangan. Ailard hanya bisa berdiri di tempat, tanpa kata-kata, merasakan kegelisahan menyusup ke dalam hatinya.
Jam bergerak menuju siang hari dan pemakaman Leyla telah selesai dilaksanakan dengan khidmat. Setelah doa selesai dikumandangkan oleh pemuka agama, satu per satu pelayat mulai meninggalkan tempat itu.
Kiran masih berdiri di samping makam ibunya, menatap batu nisan yang baru saja ditanam. Hatinya terasa kosong, seolah tak ada lagi yang tersisa. Tangannya yang gemetar sesekali menyentuh batu nisan itu, mencoba mencari kehangatan yang pernah ia rasakan dari ibunya.
Tata berdiri di dekat Kiran, memegang bahunya dengan lembut. "Ayo, Kiran kita pulang," ucapnya dengan suara pelan. Tian juga tak jauh dari mereka, berdiri dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Kiran mengangguk pelan, namun saat tatapan matanya tertuju pada Ailard yang berdiri disamping Tiara dan Pak Reihan, ia jadi memikirkan tentang sesuatu.
Begitu mereka sudah keluar dari tempat pemakaman, Kiran memberanikan diri untuk berbicara setelah sekian lama terdiam. Ia memanggil pelan, "Ibu Tiara," tatapannya tertuju pada wanita paruh baya yang berdiri bersama Pak Reihan.
Ibu Tiara menoleh, wajahnya lembut seperti biasa, namun ada keprihatinan yang jelas tergambar di sana. "Ya, Kiran?"
Kiran menarik napas dalam-dalam, hatinya masih terasa berat. "Saya ingin mengucapkan terima kasih atas kehadiran kalian di pemakaman ibu saya. Kalau ibu mengizinkan saya ingin izin ambil rehat sejenak selama satu Minggu kedepan, apa boleh Bu?"
Pertanyaan Kiran tentu saja mendapatkan lirikan tajam dari Ailard, Tatapan dingin dan tak sabar itu jelas menunjukkan ketidaksukaannya. Ailard merasa terganggu karena Kiran langsung meminta izin kepada ibunya tanpa berbicara dengannya terlebih dahulu, mengingat dialah yang mempekerjakan Kiran.
Ibu Tiara tersenyum lembut, penuh pengertian. "Tentu saja, Kiran. Kami memahami situasimu. Ambillah waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Tidak perlu terburu-buru lagipula Rose bisa kami jaga, bapaknya juga pasti mengizinkan, iya kan Ilard?" Tiara menoleh kearah putranya.
Dengan anggukan yang tak seinginnya, iya mengiyakan. Tentu saja Kirana tak peduli soal pria itu.
"Terimakasih bu atas pengertiannya," ia menjeda sejenak. "Ibu mau mampir kembali kerumah saya atau bagaimana?" Tanyanya sesopan mungkin.
"Tidak, Nak," jawab Ibu Tiara lembut sambil menggeleng. "Kebetulan kami ada kesibukan yang lain. Jika ada yang perlu dibantu, jangan ragu menghubungi kami."
Kiran mengangguk penuh rasa terima kasih. "Terima kasih banyak, Bu, Pak dan Mas Ailard."
Ibu Tiara tersenyum lagi sebelum memandang suaminya. "Baiklah, Kiran. Kalau begitu, kami pamit dulu. Ailard, ayo kita pulang."
Ailard, yang sejak tadi tetap diam dan hanya memberikan anggukan singkat, melirik Kiran sekali lagi sebelum berbalik mengikuti ibunya menuju mobil mereka masing-masing. Kiran bisa merasakan tatapan dingin itu, tapi ia tak membiarkan dirinya terganggu. Pikirannya sudah terlalu lelah untuk memikirkan apa yang Ailard rasakan atau pikirkan.