menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Beberapa hari setelah kejadian dramatis itu, perlahan keadaan di Sulawesi mulai membaik. Para penyintas telah diungsikan seluruhnya, dan bantuan dari berbagai pihak terus berdatangan. Saat itu, untuk pertama kalinya, aku bisa ikut berkontribusi langsung bersama kedua orang tuaku. Hal yang selama ini kuimpikan akhirnya terwujud.
Kulihat, ibuku semakin hari kondisinya semakin membaik. Luka-luka yang dialaminya ternyata tidak terlalu serius. Meski harus menjalani pengecekan lebih lanjut, ibuku diizinkan untuk kembali bergabung bersama tim, karena melihat semangatnya yang begitu menggebu.
Ku arahkan pandanganku kepada ayahku; ia terlihat tenang dan percaya diri, senyumnya yang selalu terlihat kuat kini bisa bernapas lega.
"Maafkan kecerobohanku," ucap ibuku sambil menatap ayahku. Ayahku pun tersenyum dan memeluknya.
Kini tiba saatnya kami kembali ke Bandung untuk memulai lembaran baru.
Setelah semua persiapan selesai, perpisahan pun tak bisa dihindarkan. Aku, bersama kedua orang tuaku, berangkat menuju bandara diiringi Pak Mardi dan salah seorang relawan dari warga sekitar. Ibuku terlihat sedikit melemah, namun senyum kecil di wajahnya menunjukkan semangat untuk pulih.
Sepanjang perjalanan menuju bandara, perasaan haru memenuhi hatiku. Tak pernah kusangka bahwa hari-hari yang dipenuhi kecemasan dan ketakutan ini akan berakhir dengan kembali bersama-sama.
Saat kami naik ke dalam pesawat, aku duduk di antara ayah dan ibu. Aku merasakan ketenangan yang begitu dalam setelah semua yang telah terjadi. Perjalanan itu terasa panjang, tapi bagiku, setiap detiknya adalah waktu untuk merenung dan bersyukur.
Di pesawat, ibuku sempat terdiam beberapa saat, lalu menggenggam tanganku dengan lembut. “Ibu pikir… ibu tidak akan bisa kembali lagi,” ucapnya pelan, suaranya bergetar. "Tapi ibu mendengar suara bayi itu… suara itu mengingatkan ibu padamu. Tangisan itulah yang membuat ibu harus bertahan."
Aku pun menatapnya penuh haru. “Bu, aku tidak tahu bagaimana hidupku kalau ibu tidak selamat. Setiap hari aku berdoa supaya ibu ditemukan.”
Dengan santainya, ayahku berkata, “Akhirnya, kita semua masih bisa selamat. Banyak orang di sana yang tidak seberuntung kita.” Aku yang tidak setuju dengan ekspresi ayahku langsung berkata, "Wuuuuuu, ayah tidak ingat? Ayah yang paling panik dan riweuh mencarimu, Bu. Kalau Pak Mardi tidak geplak kepala ayah, ayah mana mungkin bisa tenang."
“Bu, tahu tidak, ayah mewek loh, Bu. Teriak-teriak manggil ibu. Ih, lebay! Sok-sokan tenang padahal paling panik,” ucapku sambil memeluknya. Ibuku hanya membalasnya dengan senyuman, terlihat sesekali ia melirik ke arah ayahku, tetapi ayahku tak berani menatapnya balik.
Keajaiban yang kami alami di tengah bencana itu seolah menguatkan ikatan keluargaku lebih dari sebelumnya. Sepanjang perjalanan, aku terus memeluk ibuku dengan erat, tak ingin melepaskannya.
Setelah beberapa jam di udara, pesawat yang kami tumpangi akhirnya mendarat. Udara pagi yang segar menyambut kami begitu keluar dari bandara. Meski lelah, perasaan bahagia dan haru masih menyelimuti hati kami semua. Kami pun menaiki bus menuju rumah, tempat di mana segalanya dimulai sebelum gempa itu terjadi.
Saat tiba di area sekitaran rumah, perasaan nostalgia yang hangat langsung menyergapku. Kali ini, rumah itu tidak lagi terasa sepi dan dingin seperti saat pertama kali aku pulang dari acara main bersama Ryan.
Kini, kami kembali bersama-sama, dan rumah itu kembali terasa hidup.
Ketika kami masuk ke dalam rumah, ibuku berhenti sejenak di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, seolah ingin merasakan kembali setiap sudut rumah yang pernah ia tinggalkan dalam keadaan genting. “Aku pulang,” bisiknya pelan, penuh emosi.
Aku dan ayahku tersenyum. Kami tahu, meskipun bencana telah mengguncang hidup kami, kami masih diberi kesempatan untuk bertahan. Bersama-sama, kami melewati salah satu ujian terberat dalam hidup.
Hari itu di Bandung, di dalam rumah sederhana yang penuh kenangan, aku duduk bersama kedua orang tuaku di ruang tamu. Tak banyak bicara, tapi kehangatan dan kedamaian mengisi ruangan itu. Tidak ada lagi rasa takut atau rasa khawatir yang menghantuiku. Yang ada hanya cinta, rasa syukur, dan perasaan bahwa kami telah kembali pulang.
Kehidupan mungkin tidak akan selalu mudah, dan mungkin suatu saat nanti, aku akan menghadapi tantangan lain di masa depan. Tapi satu hal yang aku pelajari dari semua ini:
Tidak peduli seberapa besar badai yang datang, selama kami bersama, kami akan selalu menemukan jalan pulang.