Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Dugaan
Seminggu telah berlalu dan hari ini waktunya Samudera bertolak ke Surabaya. Sejak 3 hari yang lalu, Tatiana sering mendapatkan teror sebuah pesan. Pesan yang entah siapa pengirimnya. Pesan itu berisi tentang kebersamaan Samudera, Triani, dan Ariana. Meskipun Tatiana sudah mengetahui tentang kepergian ketiganya ke water park, tapi saat melihat bagaimana Samudera dan Ariana terlihat begitu bahagia menghabiskan waktu mereka di sana bersama Triani, tetap saja memberikan rasa sakit luar biasa pada Tatiana. Sementara saat itu mereka sedang berbahagia, lalu di sini ia sedang kalang kabut hingga berakhir berduka dalam lara dan kepedihan.
Dipandanginya foto-foto itu, hatinya makin terasa sakit mengingat bagaimana sikap Samudera selama ini padanya. Dingin, datar, bagai tak tersentuh. Sebaliknya, ia bisa tertawa begitu lebarnya saat bersama Triani. Tatiana mencoba bersikap baik-baik saja, tapi tetap saja hatinya bagai teriris dan tertancap seribu duri. Begitu perih menghujam hingga ke jantung.
Tak ingin membuat hatinya makin sakit, Tatiana pun mengabaikan foto-foto tersebut. Ia juga tidak memberitahukannya pada Samudera. Beberapa hari kemudian, datang lagi foto yang lebih menyakitkan. Foto itu menampakkan Samudera sedang masuk ke dalam hotel dengan seorang perempuan. Meskipun tampak bagian belakang saja, tapi Tatiana dapat mengenali dengan jelas siapa perempuan itu.
Dada Tatiana terasa kian sesak. Ada lagi foto saat Samudera sedang makan berdua dengan perempuan itu yang Tatiana yakini mereka sedang berada di sebuah restoran hotel.
Beberapa hari lalu Triani memang masih terus mencoba mendekati Ariana. Ia bahkan rutin datang untuk mengantar dan menjemput Ariana sekolah. Namun semenjak dimana Tatiana menjelaskan ia akan tetap menyayangi Ariana sampai kapanpun, Ariana pun kembali dekat dengan Tatiana. Bahkan ia dengan terang-terangan menolak ajakan Triani yang ingin mengantar dan menjemputnya sekolah.
Setelah beberapa hari merasa diabaikan, Triani tidak muncul lagi. Namun ternyata ketidakmunculannya itu karena ia menyusul Samudera ke Bali. Entah sekarang ia ikut Samudera ke Surabaya juga atau tidak, Tatiana tidak tahu dan tak juga mau menerka-nerka.
Sudah beberapa hari ini Tatiana merasa tidak enak badan. Perutnya terasa kembung, namun ia tetap berusaha mengantar jemput Ariana sekolah.
"Heumph ... " Tiba-tiba Tatiana merasakan mual luar biasa. Tatiana yang baru saja hendak mengantarkan Ariana ke sekolah pun gegas berlari ke kamar mandi sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan untuk mengeluarkan apa yang seharusnya ia keluarkan.
Ariana yang melihat itupun sontak khawatir.
"Bunda, bunda sakit?" tanya Ariana khawatir.
Tatiana pun segera berkumur kemudian membasuh mulutnya hingga bersih. Kemudian ia mengambil handuk kecil yang tergantung di capstok untuk menyeka wajahnya yang basah. Karena muntah-muntah tadi, wajah Tatiana terlihat begitu pucat. Apalagi Tatiana memang tidak merias wajahnya sama sekali. Tatiana bukan hanya kehilangan semangat untuk beraktivitas, bahkan sekedar untuk memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik pun ia merasa enggan. Ia pikir untuk apa. Ia sudah berusaha melakukan segala hal terbaik pun merias wajahnya agar tampak menarik di depan Samudera saja, laki-laki itu tidak peduli. Ia tidak terkesan sama sekali. Perjuangannya seakan tak berarti sama sekali. Sungguh perih dan menyakitkan.
Ia tahu, pasti banyak yang mengatakannya bodoh karena masih berusaha bertahan hingga sekarang. Ia hanya sedang menunggu momen dan alasan yang tepat untuknya benar-benar pergi.
"Bunda nggak papa kok. Bunda hanya masuk angin aja jadi bawaannya mual. Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Tatiana sambil mengulurkan tangannya agar digandeng Ariana.
Ariana tersenyum lebar. Ia pun menyambut tangan itu dan menggenggamnya erat.
...***...
Beberapa hari ini mual muntah yang Tatiana alami kian menjadi. Tatiana sudah meminum obat masuk angin, tapi kembung di perutnya tak kunjung mereda. Bahkan rasanya kian menjadi-jadi saja.
"Bik, bibik bisa ngerokin nggak?" tanya Tatiana pada asisten rumah tangga mertuanya yang hampir 2 Minggu ini membantunya di rumah.
"Ngerokin? Wah, itu mah jagonya bibik, Mbak. Mbak masih masuk angin?"
"Iya nih, bik. Nggak enak banget. Makan pun sampai rasanya nggak nyaman banget. Bawaannya mau muntah terus," ujar Tatiana sambil mengurut tengkuknya sendiri.
"Beneran masuk angin, Mbak? Atau jangan-jangan mbak Tiana hamil?" terka bik Una.
Tatiana tersentak. Ia ingat, saat melakukan hubungan terakhir kali merupakan masa suburnya. Tatiana menelan ludah. Bagaimana bila benar? Apalagi memang satu bulan ke belakang ia merasa enggan meminum pil kontrasepsi yang pernah Samudera sodorkan. Terlebih setelah pil yang terakhir habis, ia tidak membeli lagi pun Samudera tidak memberinya. Entah karena lupa atau tidak tahu. Apakah itu petunjuk agar ia terus berusaha bertahan di sisi Samudera?
Tatiana terkekeh sumbang sambil menggeleng.
"Ah, bik Una ada-ada saja. Nggak mungkinlah aku hamil," kilah Tatiana tak mau Bik Una berspekulasi seperti itu. Ia yakin ini hanya masuk angin biasa.
"Lah, kenapa nggak mungkin? Kan mbak Tiana ada suami toh, jadi wajar. Kalo saya yang hamil baru nggak mungkin. Lah, saya ini janda, jadi mana mungkin bisa hamil. Memangnya bibik Siti Maryam yang bisa punya anak tanpa suami," ujar bik Una seraya terkekeh. Ia pun segera mengelap tangannya yang baru saja selesai mencuci piring. "Ya udah, yok, Mbak, bibik kerokin sekarang!" ajaknya.
...***...
Malam harinya, Tatiana terus-terusan gelisah. Memikirkan apa yang tadi bik Una sampaikan. Bagaimana bila benar ia hamil?
Tatiana sebenarnya merasa tidak masalah. Ia justru merasa senang bukan main bila ia benar-benar hamil. Tapi yang menjadi masalah, bagaimana kalau Samudera menolak kehamilannya? Bagaimana bila Samudera menolak kehadiran calon anaknya di rahimnya? Bagaimana bila Samudera tidak menerima anaknya? Dan yang lebih parah, bagaimana bila Samudera memintanya menggugurkan kandungannya?
Tatiana menggeleng cepat. Tidak mungkin Samudera bisa setega itu. Apalagi dengan statusnya sebagai seorang dokter. Mana mungkin ia tega melenyapkan nyawa seseorang, terlebih itu darah dagingnya sendiri.
Setiap hari Samudera selalu menyempatkan menghubungi Tatiana. Namun hatinya yang kadung sakit membuatnya enggan beramah tamah dan berlembut ria seperti biasanya. Tak semudah itu mengobati luka yang terlanjur tergores. Pasti butuh waktu meskipun entah sampai kapan. Tapi Samudera tampaknya berusaha bersabar dan menerima. Entah itu memang karena ia merasa bersalah atau ... untuk menutupi kesalahannya.
Yang mana yang benar, Tatiana tidak tahu. Namun yang harus Tatiana segera pastikan saat ini adalah benarkah ia hamil. Untuk segera memastikannya, Tatiana pun keluar malam-malam menuju apotek untuk membeli alat test kehamilan.
"Bik, Tiana titip Ana sebentar ya. Tiana mau beli sesuatu di minimarket depan."
"Apa nggak sebaiknya besok aja, Mbak? Atau gini aja, biar bibik aja yang beliin. Memangnya Mbak Tiana mau beli apa?" Tawar bik Una. Ariana memang sudah tidur sebab jarum jam sudah menunjukkan jam 9 lewat. Tapi tetap saja bik Una khawatir Tatiana keluar malam-malam begini.
"Nggak usah, Bik. Biar Tiana beli sendiri aja. Bibik pasti capek udah ngerjain kerjaan rumah sepanjang hari. Sedangkan Tiana cuma duduk-duduk terus tiduran aja seharian."
"Ya udah kalau mbak bersikeras keluar sendiri. Tapi hati-hati ya, Mbak. Musim begal. Bibik ngeri."
"Iya, Bik. Lagian cuma minimarket di depan kan nggak begitu jauh. Masih kawasan ramai orang. Mana ada pos polisi pula. Begal mana berani mendekat. Sama aja mau bunuh diri kalo sampai nekat," ujar Tatiana seraya terkekeh.
Setelah mengatakan itu, Tatiana pun segera beranjak keluar.
Sesampainya di apotek, Tatiana pun segera m membeli beberapa alat test kehamilan dengan merk berbeda. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, Tatiana pun segera pulang. Namun di perjalanan, ia melihat penjual sate Padang. Tatiana pun segera menepikan mobilnya untuk membeli dua porsi sate Padang, untuknya dan untuk Bik Una. Setelah mendapatkan pesanannya, Tatiana pun bergegas pulang.
Setibanya di rumah, Tatiana langsung memberikan seporsi sate Padang pada Bik Una. Mereka lantas makan bersama. Setelah makan, Tatiana pun segera masuk ke dalam kamar. Sebagai mantan seorang perawat, tentu ia tahu kapan waktu yang tepat untuk melakukan pengujian urinnya. Tatiana rasanya sudah tak sabar untuk memastikan dugaannya tersebut.
...***...
Maaf, updatenya kemalaman. Hari ini Makmer dan adik-adik ipar othor ngumpul di rumah dan baru balik malam jadi othor baru sempat ngetik.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
menyiksa diri sendiri.