Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil
...Tama...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Enam tahun yang lalu...
Gue elus punggungnya dengan lembut. "Dua menit lagi," kata gue.
Dia mengangguk tapi masih saja menunduk dengan muka menempel di telapak tangannya.
Dia enggak mau lihat.
Gue enggak bilang kalau sebenarnya kita enggak butuh dua menit itu. Gue enggak bilang kalau hasilnya sudah jelas banget.
Gue enggak bilang ke Yesica kalau dia hamil, karena dia masih punya dua menit terakhir buat berharap.
Gue terus elus punggungnya. Pas alarm bunyi, dia enggak bergerak. Dia enggak menengok buat lihat hasilnya. Gue menyandarkan kepala ke samping kepala dia sampai mulut gue dekat ke kupingnya.
"Gue benar-benar minta maaf, Yesica," bisik gue. "Gue benar-benar, benar-benar minta maaf."
Dia langsung menangis.
Hati gue hancur dengar suaranya.
Ini semua salah gue.
Satu-satunya yang terpikirkan buat gue sekarang adalah mencari cara buat bereskan semua masalah ini.
Gue balikkan badannya ke arah gue dan peluk dia. "Gue bakal bilang ke mereka kalo lo enggak enak badan dan lo enggak bisa sekolah hari ini."
"Gue mau lo di sini sampai gue balik."
Dia bahkan enggak mengangguk. Dia terus menangis, jadi gue angkat dia dan bawa ke kasur. Gue balik ke kamar mandi, mengemas tes-peknya, lalu menyembunyikannya di bawah wastafel, paling belakang. Gue buru-buru ke kamar gue dan ganti baju.
Gue pergi.
Gue keluar hampir seharian.
Gue lagi mencoba bereskan semua ini.
Dan akhirnya gue sampai di rumah, gue masih punya hampir satu jam sebelum Bokap sama Mamanya Yesica pulang.
Gue ambil semua barang dari kursi depan mobil gue dan buru-buru masuk buat mengecek dia. Pagi tadi gue tinggalkan HP karena buru-buru, jadi gue enggak bisa mengecek keadaan dia sama sekali, dan jujur saja, gue hampir gila memikirkan itu.
Gue masuk.
Gue ke kamarnya.
Gue coba buka pintunya, tapi terkunci.
Gue ketuk.
"Yesica?"
Gue dengar ada gerakan. Sesuatu jatuh ke pintu, dan gue langsung mundur. Pas gue sadar apa yang terjadi, gue maju lagi dan gedor pintunya. "Yesica!" teriak gue, panik. "Buka pintunya!"
Gue dengar dia menangis. "Pergi!"
Gue mundur dua langkah, terus tabrak pintu pakai bahu gue sekuat tenaga. Pintu terbuka, dan gue buru-buru masuk.
Yesica meringkuk di kepala tempat tidur, menangis sambil menutup muka. Gue dekati dia.
Dia dorong gue.
Gue maju lagi.
Dia tampar gue, terus lompat dari kasur. Dia berdiri, dorong gue mundur, sambil dorong dadanya ke dada gue. "Gue benci lo!" dia teriak sambil menangis.
Gue pegang tangannya dan coba menenangkan dia. Itu malah bikin dia tambah marah. "Pergi aja!" teriaknya. "Kalo lo enggak mau punya urusan sama gue, pergi aja!"
Kata-katanya bikin gue kaget.
"Yesica, stop," mohon gue. "Gue di sini. Gue enggak bakal pergi ke mana-mana."
Air matanya makin deras.
Dia teriak ke gue.
Dia bilang gue meninggalkannya. Gue taruh dia di kasur pagi ini, dan gue tinggalkan dia karena gue enggak bisa menghadapi ini.
Gue kecewa sama diri gue sendiri.
Gue sayang lo, Yesica.
Lebih dari gue sayang sama diri gue sendiri.
"Enggak, sayang," redam gue, tarik dia ke pelukan gue. "Gue enggak ninggalin lo. Gue udah bilang gue bakal balik."
Gue benci karena dia enggak mengerti kenapa gue pergi hari ini.
Gue benci karena gue enggak cerita itu ke dia.
Gue tuntun dia balik ke kasur, dan gue posisikan dia di kepala tempat tidur. "Yesica," kata gue sambil menyentuh pipinya yang basah air mata.
"Gue enggak kecewa sama lo," imbuh gue. "Enggak sama sekali. Gue kecewa sama diri gue sendiri. Makanya gue mau ngelakuin semua yang gue bisa buat memperbaiki ini, buat lo. Buat kita. Itu yang gue lakuin hari ini. Gue nyoba nyari jalan keluar,"
Gue berdiri dan ambil map-map itu, terus gue sebarkan di atas kasur. Gue tunjukkan semuanya ke dia. Gue tunjukkan brosur perumahan yang gue ambil dari kampus.
Semua kemungkinan ada di depan mata dia, dan gue ingin dia lihat meskipun kita enggak inginkan ini, meskipun kita enggak merencanakan ini... kita bisa melakukan ini.
"Gue tahu bakal lebih susah dengan adanya bayi, Yesica. Gue tahu itu. Tapi bukan berarti enggak mungkin."
Dia melihat semua yang gue sebarkan di depannya. Gue perhatikan dia dalam diam sampai bahunya mulai bergetar dan dia tutup mulutnya dengan tangan.
Dia tatap gue sambil merelakan air mengalir dari matanya. Dia maju dan peluk leher gue erat-erat.
Dia bilang dia sayang gue.
Lo sayang gue, Yesica.
Dia cium gue berkali-kali.
"Kita bisa lewatin ini, kan?" bisiknya di telinga gue.
Gue mengangguk dan peluk dia balik. "Iya. Kita pasti bisa lalui ini, Yesica."
...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ini hari Kamis.
Malam ini mereka main PS.
Biasanya, suara mereka bikin gue jengkel. Tapi malam ini, rasanya kayak musik di telinga gue, karena gue tahu Tama harusnya sudah di rumah.
Gue enggak punya bayangan sama sekali apa yang bakal terjadi antara gue dan dia dalam situasi yang kita jalani sekarang. Gue juga belum nge-chat atau mengobrol sama dia selama lima hari sejak dia pergi.
Gue tahu, selama ini gue memikirkan dia, gue enggak seharusnya kayak begini. Seharusnya gue santai saja, tapi ini rasanya jauh dari santai.
Buat gue, ini benar-benar menyita banyak perhatian. Bahkan, dia hampir jadi satu-satunya hal yang gue pikirkan sejak malam itu di tengah hujan, dan ini cukup menyedihkan kalau sampai gue gemetaran pas mau buka gagang pintu buat masuk ke apartemen abang gue sendiri, cuma karena gue tahu dia mungkin ada di dalam.
Gue buka pintu apartemen, dan Amio yang pertama melihat ke gue. Dia mengangguk tapi enggak bilang apa-apa. Ian melambai dari kursinya di sofa, terus balik lagi lihat ke TV.
Mata Jhosi jelalatan melirik badan gue dari atas ke bawah, dan gue berusaha keras buat enggak nge-roll mata gue.
Tama enggak melakukan apa-apa, karena dia enggak ada di sini.
Seluruh badan gue rasanya langsung lemas karena kecewa. Gue jatuhkan tas ke kursi kosong di ruang tamu dan bilang ke diri sendiri kalau ini sebenarnya hal yang bagus kalau dia enggak ada di sini, karena gue punya banyak tugas yang harus dikerjakan.
"Ada pizza di kulkas," kata Amio.
“Sip.” Gue jalan ke dapur dan buka lemari buat mengeluarkan piring. Gue dengar langkah kaki mendekat, dan detak jantung gue langsung makin kenceng.
Ada tangan yang menyentuh punggung bawah gue, dan gue langsung senyum sambil berbalik, berharap itu Tama.
Tapi ternyata bukan Tama. Itu Joshi.