Yessi Tidak menduga ada seseorang yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Pria yang datang di tengah malam. Pria yang berhasil membuat Yessi menyukainya dan jatuh cinta begitu dalam.
Tapi, bagaimana jika pacar dari masa lalu sang pria datang membawa gadis kecil hasil hubungan pria tersebut dengan wanita itu di saat Yessi sudah ternodai dan pria tersebut siap bertanggung jawab?
Manakah yang akan di pilih? Yessi atau Putrinya yang menginginkan keluarga utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby Ara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Wajah Yessi berubah tegang, tapi sebisa mungkin terlihat biasa saja. Degup jantungnya juga berdetak kian cepat. Sahabatnya ini, tipe orang yang akan mengulik sesuatu hingga akar terdalam.
Apa tidak dalam bahaya Yessi, jika salah jawab?
"Tar, gue nggak ngerti maksud lo," ujar Yessi menekan nada suaranya. Jangan sampai kegugupannya terlihat jelas.
Mentari memutar bola mata malas. Tadi, Arga mengatakan alasan Yessi tidak berada di apartemennya semalam dan itu sangat berbeda dengan apa yang Regan sampaikan saat Mentari bertanya keberadaan Yessi.
Jelas, perkataan Regan tidak sinkron.
"Yes ... Kita sahabatan udah berapa lama sih? Gue tahu banget lo bohong. Sekarang jawab jujur atau gue telpon nyokap-bokap lo lalu suruh mereka ajak lo ke dokter kandungan," ancam Mentari dengan wajah garang.
Sontak saja, mata Yessi terbelalak lebar. Ia menarik tangan Mentari yang terlipat namun gadis itu menjauh.
"Tar ... Jangan! Gue bakal ngaku sama lo. Tapi--"
"Gue gak boleh cerita ke siapa-siapa?" Sela Mentari.
Yessi mengangguk dengan kepala menunduk. Tidak berani melihat mata Mentari. Sahabat Yessi itu memijit pelipisnya.
Mentari sungguh takut, Yessi benar-benar melakukan hubungan badan dengan Regan. Meskipun gelagat takut Yessi sudah menunjukan ke arah sana.
"Jadi?"
Yessi mengepalkan tangannya berada di atas paha. Rasanya, wajahnya mulai panas ingin menangis. Yessi takut akan reaksi Mentari nanti.
"Yes--"
"Gue udah lakuin itu dengan Regan, Tar."
Dalam sekali tarikan napas, Yessi mengatakannya.
Tes!
Airmata Yessi meluruh tak terbendung. Sekarang, Yessi benar-benar menyesal karena tidak bisa menahan diri semalam hingga Regan mengambil sesuatu yang berharga darinya.
"What! Yessi, are you crazy?! Otak lo dimana sih? Kok bisa lo lakuin itu? Diluar nikah lagi. Kita ini masih remaja, Yes. Gimana kalo lo hamil, hah?!"
"Hiks ... Hiks ...."
Yessi bersimpuh di kaki Mentari namun lagi-lagi, sahabatnya itu tidak mau di sentuh. Seakan Yessi terkena penyakit menular.
"Tar, gue minta maaf ... Gue khilaf. Semalam tiba-tiba tubuh gue panas gak karuan. Gue nggak ngerti kenapa. Tapi yang pasti saat Regan nyentuh gue, rasa menyiksa itu perlahan mereda," jelas Yessi menangis tersedu-sedu di hadapan Mentari yang mengacak rambutnya frustasi.
Seseorang akan mengetuk pintu toilet menjadi urung hingga tangannya mengambang di udara. Matanya mengerjab lamban karena terkejut fakta tentang Yessi.
Ia datang kesana untuk memberitahu pada sepasang sahabat itu, jika lonceng masuk sudah berbunyi sejak tadi. Pria itu berada di lorong kelas saat Mentari menarik Yessi ke toilet.
"Tunggu, lo minum apa semalam?" Mentari merasa ada kejanggalan dari cerita Yessi.
Yessi ditanya, memilin kedua tangannya.
"Jus ... Tapi, jus itu ternyata di kasi jamu atau entah apalah itu ... Gue lupa."
Mentari langsung mendorong kening Yessi begitu gemas. Kalau tahu sahabatnya itu akan hilang perawan, lebih baik Mentari kurung saja Yessi dalam apartemen. Tidak perlu datang ke acara ulang tahun gedung mereka tinggali.
"Bodoh banget sih lo, Yes! Sekarang gini, lo tahu darimana kalo minuman itu dikasi begituan?"
"Mas Sean yang bilang."
Dahi Mentari berkerut dalam. Kenapa berujung ke Sean? Ini benar-benar sangat aneh menurutnya.
"Sean? Jangan bilang sebenarnya dia yang mau gituin lo. Terus Regan selamatin dan akhirnya lo terpaksa lakuin itu sama Regan?" ujar Mentari menganalisa adegan dari keterangan Yessi.
"Iya, Tar. Benar, gue terpaksa! Huaaa ...."
Tangis Yessi semakin pecah berakhir cairan menumpuk di hidungnya. Yessi menyusut dengan lengan seragam namun ia salah fokus melihat sepasang kaki berbalut sepatu converse di depan pintu toilet dimana mereka berada.
"Ampun deh! Tapi, tetap aja Yessi ... Lo udah gak-hmmpp!"
Yessi berdiri cepat lalu membekap mulut Mentari seraya berbisik pelan di telinga sahabatnya itu.
"Ada orang di depan pintu toilet, njir."
Mata Mentari melotot lalu menepis tangan Yessi. Mentari membuka sedikit pintu toilet dengan tubuh membungkuk ancang-ancang untuk mengintip namun suara bass terdengar keduanya sungguh mengejutkan.
"Gue dengar semuanya."
Brak!
Mentari membuka lebar-lebar pintu toilet, selebar matanya dan Yessi yang melotot.
"BIMO!" ucap keduanya bersamaan.
Yang di sebut menunjukan wajah sendu dan mata yang merah. Melihat itu, Yessi menunduk dan menangis kembali.
Bimo dengan kedua tangan masuk ke saku mendekat ke arah keduanya. Mentari menyingkir, tahu Bimo ingin berbicara dengan Yessi.
"Bima udah sadar, Yes. Pertama buka mata, Dia cari lo. Segitu cintanya abang gue sama lo? Gak kebayang kalo seandainya dia yang dengar berita ini. Gue gak nyalahin lo. Itu ... mungkin musibah. Tapi ... Tolong, jangan lagi kasi abang gue harapan palsu. Ngegantung perasaan dia bertahun-tahun aja udah cukup bikin dia sakit."
Bimo menengadah agar airmatanya tak meluncur di pipi. Hatinya berdenyut nyeri. Bima terbaring di rumah sakit sebabnya karena Yessi. Regan, omnya itu, menyukai wanita yang sama dengan keponakannya sendiri.
"Gue gak maksud nguping pembicaraan kalian. Gue cuman mau kasi tahu, bel masuk udah bunyi dari tadi. Gue duluan ...."
Bimo membalik tubuhnya, saat akan melangkah, suara serak Yessi terdengar memilukan.
"Bim, gue mohon ... jangan kasi tahu siapapun tentang ini, termasuk Bima."
Bimo tertawa lirih. "Padahal itu bisa bikin abang gue jauh dari lo, Yes."
"Bim, lo gila ya?! Itu sama juga lo bikin Yessi malu!" sahut Mentari tak setuju.
Ia bisa melihat dengan jelas tatapan Bimo yang kini berbeda pada Yessi.
Seperti tidak suka dan merendahkan.
"Lebih malu mana kalo Yessi hamil? Iya kalo laki-laki itu serius, Kalo hanya buat pelarian sesaat, gimana?"
Yessi menunduk kembali. Mentari sigap mendekat pada Yessi lalu memeluk sahabatnya yang terlihat rapuh dan menyedihkan tersebut.
"Bimo, udah, Jangan bikin Yessi makin overthinking!"
Bimo menaikan bahu acuh. Ia menatap naik turun Yessi dengan pandangan tajam.
"Dia om gue, Yes. Regan, om kandung gue."
Setelahnya, Bimo berjalan pergi meninggalkan Yessi yang langsung ambruk tak sadarkan diri di tempatnya.
Mentari terkejut luar biasa lekas berjongkok sembari berteriak memanggil Bimo, tapi pemuda yang sudah di luar tersebut terus berjalan tanpa mau perduli lagi. Meskipun telinganya mendengar jelas teriakan Mentari.
'Sorry, Yes. Lo gak salah. Tapi, ini lebih baik. Agar lo sendiri yang jauhin Bima dan Regan yang sinting itu nggak lagi nyakitin abang gue,' batin Bimo dengan gemuruh di dadanya.
Nyaris satu jam Yessi tak sadarkan diri. Ia di bawa ke Uks oleh beberapa gadis yang akan masuk ke toilet. Mentari dengan setia duduk di samping brankar Yessi. Mentari bahkan sudah ijin untuk dirinya dan Yessi pada guru yang mengajar.
"Yes ...."
Yessi memijit pelipisnya. "Gue dimana, Tar? Kepala gue pusing banget," keluh Yessi.
"Lo di uks. Badan lo sedikit anget, Yes. Gimana kalo kita pulang aja?" usul Mentari.
Kebetulan tas mereka sudah Mentari bawa, tapi Yessi menggeleng tak setuju.
"Gue gak apa-apa, Tar. Kita kembali ke kelas aja."
"Lo serius?" tanya Mentari karena mata Yessi terlihat tidak fokus.
"Iya ... Tar, pulang nanti temanin gue jenguk Bima ya?"
Mentari ragu-ragu untuk menjawab. Yessi tahu itu, tersenyum tipis. Pikirnya, Mentari mungkin sudah ada agenda lain.
"Kalo lo sibuk--"
"Nggak, Tar. Nggak sibuk sama sekali. Bima teman kita. Otomatis kita sama-sama dong jenguk dia. Bentar, gue hubungin kak Arga dulu."
Mentari merogoh tasnya lalu sedikit menjauh setelah panggilan tersambung. Yessi menatap lampu diatas kepalanya dengan pikiran bercabang. Ia memikirkan fakta mengejutkan yang Bimo katakan tadi.
'Regan adalah om Bima. Apa Bima bakal benci sama gue setelah tahu apa yang gue lakuin sama om nya? Maaf, Bim ... Gue udah kotor. Lo gak pantas bersama gue yang hina ini.'
"Yes, lo nangis?"
Yessi gelagapan, menghapus airmatanya yang meluruh di sudut mata. Mentari mendudukkan diri sambil meraih sebelah tangan Yessi untuk ia genggam.
"Kita sahabat. Apapun itu, cerita sama gue. Jangan pendam sendiri. Sebesar apapun masalah itu. Gue, kak Arga akan selalu ada buat lo. Masalah perasaan Bima, keputusan ada di lo. Ingat, jangan memaksakan diri hanya karena kasihan sama Bima. Itu akan bikin dia tambah sakit hati. Untuk Regan ... Ada baiknya jauhin meskipun lo udah-ekhm, begitulah. Dia terlalu misterius, Yessi."
Mendengar nasehat Mentari, Yessi mencerna satu-persatu. Tentang Regan, pria itu memang tidak mengatakan dirinya om dari Bima. Anehnya lagi, kenapa Regan bekerja sebagai OB? Sedangkan Yessi tahu betul, keluarga Bima dari kalangan kelas atas bahkan di atas keluarganya.
Andai Yessi tahu, keberadaan Regan disana karena ada dirinya.
Waktu pulang sekolah tiba.
Yessi menunggu sendirian di halte sedangkan Mentari kembali ke sekolah karena ingin buang air kecil. Tempat itu sudah sangat sepi, keduanya sengaja keluar setengah jam setelah bel pulang berbunyi.
Tin! Tin!
Yessi menatap dingin Lamborghini hitam yang baru terparkir di depannya. Padahal, Yessi sudah membalas pesan Regan, mengatakan ia tak ingin di jemput pria itu.
Regan keluar dari mobilnya dengan kacamata hitam, jaket kulit lengkap dengan sepatunya dan celana jeans sobek di lutut.
Rambut hitamnya menjuntai di atas mata, berkibar tertiup angin hingga pria itu harus menyugarnya beberapa kali.
"Masuk," ujar Regan setelah membuka pintu untuk Yessi.
Yang disuruh mengedarkan pandangannya acuh. "Mas amnesia ya? Saya kan udah bilang jangan jemput. Pergi aja sana! Saya pulang sama Mentari."
Regan menghela napas dalam. "Saya maksa, Yessi. Masuk ...."
Yessi mulai tersulut emosi berdiri kasar. "Mas itu bukan siapa-siapa saya, jangan sok ngatur! Masalah semalam, lupain aja. Anggap itu rejeki, mas. Permisi!"
Yessi melintasi Regan namun pria itu menarik lengannya hingga Yessi masuk sempurna dalam pelukan Regan dan di bopong pria itu masuk dalam mobil.
Jelas saja, Yessi berteriak kesal.
"Mas, lepasin saya! Mas itu gak ngerti bahasa manusia ya?!" pelotot Yessi. Napasnya naik turun memburu.
"Ngerti! Tapi, saya mau ngajak kau ke suatu tempat."
Brak!
Regan menutup pintu lalu berlari cepat ke kursi bagiannya dan menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi membuat Yessi ketakutan setengah mati.