Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Franca
Keheningan memenuhi tempat itu saat Kaivorn mengakhiri kalimatnya.
Setiap orang merasakan sesuatu yang berbeda—keheranan, harapan, bahkan sedikit rasa takut akan perubahan yang tak terduga ini.
Wajah-wajah yang tadi tampak skeptis, kini tersapu oleh pesona Kaivorn.
Aura yang dulu tidak pernah mereka lihat, kini terpancar jelas.
Raelion berada di atas kudanya, tangannya mengencangkan tali kekang.
Tanpa kata, dia menatap sejenak ke arah Kaivorn, namun tidak ada yang bisa membaca ekspresinya.
Wajahnya tetap datar seperti biasa, meskipun matanya sedikit mengeras, menyembunyikan perasaan yang hanya dia sendiri yang tahu.
"Saat Anda kembali nanti..." suara Amon berdenging di kepalanya, namun Raelion tidak menanggapi.
Tanpa sepatah kata pun, dia menghentakkan kudanya, mengarahkannya keluar dari area dengan kecepatan yang terukur.
Beberapa ksatria Vraquos segera mengikuti langkahnya, meninggalkan kerumunan yang masih terpesona oleh momen tadi.
Raelion, dalam diamnya, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Kaivorn... kau benar-benar berbeda kali ini," batinnya, meskipun wajahnya tetap tanpa ekspresi, menyembunyikan keterpesonaan yang tak diinginkan.
Setelah Raelion pergi dengan para ksatria Vraquos, keheningan menggantung di udara.
Setiap orang yang tersisa masih meresapi momen tadi, terpesona oleh perubahan tak terduga pada Kaivorn.
Selvara, yang masih berada di samping Kaivorn, melangkah mendekat.
Matanya masih penuh kebingungan, namun ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan.
Ia menatap adiknya, mencari penjelasan yang lebih mendalam.
"Kaivorn…" Selvara berkata pelan, namun ada keraguan di ujung suaranya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kau bukan seperti yang biasa kulihat. Kenapa sekarang? Kenapa tiba-tiba?"
Kaivorn menatap kakaknya dengan tatapan yang dalam, seolah-olah menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulutnya.
Dia tidak menjawab segera, memberikan jeda sejenak yang tampak disengaja.
Lalu, dengan suara yang lembut namun tegas, ia menjawab.
"Kak, selama ini aku tidak merasa perlu untuk menunjukkan diriku. Bukan karena aku takut, tapi karena aku belajar… mengamati… dan menunggu." Kaivorn tersenyum kecil, sebuah senyum yang penuh keyakinan. "Sekarang, waktunya sudah tiba."
Selvara terdiam, mendengarkan adiknya yang berbicara dengan cara yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
Ada kedewasaan dalam nada suaranya yang jauh melebihi usia Kaivorn.
Dia tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik perubahan ini, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.
Suasana hening seolah merangkul ruangan setelah Kaivorn selesai berbicara, menarik perhatian setiap orang.
Saat itu, Elandra yang sejak tadi diam menyimak, mengarahkan pandangan tegas ke arah Amon.
Dalam matanya ada kebingungan, harapan, dan keraguan yang bercampur aduk, seolah kata-kata Kaivorn telah menyalakan api di dalam hatinya yang lama meredup.
"Sir Amon," kata Elandra, suaranya bergetar, namun ada keberanian yang tak terduga dalam intonasinya. "Saya ingin menanyakan sesuatu. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Saintess of Light dua minggu lalu di sini? Apakah... apakah dia memilih Kaivorn sebagai pahlawan?"
Amon, yang sejak tadi tampak tenang, kini mengarahkan pandangannya pada Elandra dengan senyum tipis.
Senyum yang mengisyaratkan bahwa segala sesuatunya terjadi persis seperti yang ia harapkan.
Dia menggelengkan kepalanya perlahan. "Tidak," jawabnya, satu kata yang menghancurkan harapan yang tampak jelas di wajah Elandra.
Elandra mengerutkan kening, seolah tak percaya, kekecewaan mencuat dari tatapannya yang mendadak hampa.
Tapi sebelum ia sempat meresapi perasaan itu, Amon kembali berbicara.
"Karena," Jeda Amon membuat seluruh orang disana memperhatikannya, "Kaivorn dipilih langsung oleh sang Dewa."
Kata-kata itu menggantung di udara, menggetarkan setiap jiwa yang mendengarnya.
Pilihan dewa bukanlah hal sepele—itu adalah hal yang dianggap sakral, sesuatu yang tidak pernah terjadi selama berabad-abad.
Yang terakhir dipilih adalah Sword God, leluhur keluarga Vraquos, manusia terkuat sepanjang sejarah.
"Peristiwa yang mengubah takdir dunia itu kini terulang lagi." pikir Amon, penuh kebanggaan.
Kaivorn, yang diam di tengah perhatian semua orang, tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Mata merahnyanya yang tajam memancarkan kepercayaan diri yang menuntut perhatian.
Franca muncul dari balik bayang-bayang, wajahnya begitu cantik dan tenang, namun ada aura mengancam yang tak bisa disembunyikan.
"Sir Amon," panggil Franca dengan nada manis yang membuat semua orang bergidik.
Amon menoleh ke belakang, terlihat kaget seolah baru saja tertangkap basah mencuri kue dari dapur istana.
"Eh, Franca... ah, Saintess...?" katanya dengan suara bergetar, matanya melebar.
Franca menghela napas, dan tiba-tiba, aura suci yang tak tertahankan terpancar dari tubuhnya.
Dengan gerakan sederhana, ia melayangkan tangannya ke udara.
"Divine Power, Memory Remover." Seberkas cahaya melayang, memudar dan menyerap ke dalam pikiran setiap orang di sekeliling mereka.
Seluruh orang—kecuali Kaivorn, Amon, Selvara, dan Elandra—seketika lupa bahwa Kaivorn adalah pilihan dewa.
Franca kemudian menoleh dengan tatapan dingin pada Amon, yang sekarang mulai menyadari betapa dalamnya lubang yang baru saja ia gali sendiri.
Namun, Franca belum selesai.
Ia melirik Kaivorn dan yang lainnya, lalu berkata dengan suara penuh ketenangan, "Holy Spell, Teleportation."
Diagram emas terbentuk di bawah kaki mereka, menyinari wajah Amon yang tampak pucat.
Seketika, mereka semua berteleportasi ke taman kastil Vraquos—tempat di mana Kaivorn biasa membaca buku.
Namun kali ini, bukannya menikmati ketenangan taman, Amon malah terlihat ingin segera melarikan diri.
Begitu mereka sampai di taman, Franca menatap Amon tajam. "Sir Amon," katanya dengan suara rendah namun penuh kekuatan, "Aku tidak percaya kau menyebutkan bahwa Tuan Kaivorn adalah pilihan dewa… saat ini!"
Amon menelan ludah, mengangkat tangannya seolah ingin mengelak, "S-Saya… yah, maksud saya... hanya berpikir bahwa—"
"Bahwa apa?" Franca memotongnya dengan suara yang tetap tenang namun mengandung ancaman. "Apakah kau lupa, ada masalah internal di Kota Suci? Kita tidak bisa sembarangan menyebarkan hal ini!"
Amon mencoba tersenyum, meski senyumannya lebih terlihat seperti meringis.
Ia lalu melirik ke arah Kaivorn dengan harapan mendapatkan sedikit bantuan.
"Tuan Kaivorn… bisa bantu saya di sini?" Kata Amon dengan telepati.
Namun Kaivorn hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis, seolah berkata, "Ah, tidak. Kali ini kau sendiri yang urus, Sir Amon." pikirnya
Selvara dan Elandra saling bertukar pandang, mencoba menahan tawa yang nyaris meledak.
Mereka berdua jelas menikmati momen hehe yang terlihat seperti seekor kelinci yang baru saja dipatok seekor elang.
Franca menghela napas, menutup matanya sejenak untuk menenangkan diri, lalu membuka matanya kembali dengan tatapan tajam.
"Baiklah, kau beruntung aku masih bisa menahan diri hari ini. Tapi jika kau berani mengulangi ini—membocorkan sesuatu yang begitu rahasia sebelum waktunya—aku sendiri yang akan memohonkan 'Heavenly Anetema' untukmu."
Amon tertawa gugup, menggaruk-garuk tengkuknya. "Hehe, saya rasa saya sudah cukup berbicara untuk hari ini… iya kan?"
Franca hanya mendengus, sambil berbalik dan pergi meninggalkan Amon yang kini tampak lebih lega, meskipun wajahnya masih pucat.
Kaivorn menatap Franca dengan senyum penuh kepuasan. "Kau menangani itu dengan baik sekali, Saintess," katanya, nyaris mengejek.
Franca hanya menatap Kaivorn sekilas, matanya berkilat penuh makna, "Anda juga berhati-hatilah, Tuan Kaivorn. Anda tak tahu siapa saja yang mungkin mendengarkan."
Amon menunduk dalam, seolah-olah ingin menggali tanah untuk bersembunyi di dalamnya.
Sementara itu, Selvara dan Elandra akhirnya tidak bisa menahan tawa mereka lagi.